Gus Ulil dan Penafsiran Metaforis

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia dibagi menjadi dua kategori, pertama manusia awam (orang pada umumnya awam; awamul halqi), dan kedua manusia an-nuddhar adalah ahli pikir yang suka mendalami hal-hal bersifat konseptual. Karena pada dasarnya, secara garis besar manusia diciptakan oleh Allah dengan dua macam juga, pertama men and women of ideas, dan kedua men and women of actions.

Ada orang sukanya ide, teori dan konsep yang dalam bahasa filsafat Islam disebut dengan istilah “al-umur i’tibariyah” (hal-hal bersifat spekulatif yang ada dalam fikiran). Tetapi, ada juga orang yang maqamnya al-ulum al-Amaliyah (ilmu yang bersifat praktis). Itu artinya, jika kita menjumpai orang yang tidak menyukai hal-hal teoritis (saat kita mengajarkan akidah pada mereka), maka hanya dasarnya saja dijelaskan, tidak dengan lorong pemikiran teoritis dan konseptual.

Baginya, cukup diterangkan ayat dan hadits seadanya dan tidak mentakwil makna dari statemen yang mengandung tasyabuh (keserupaan) dan ambiguitas. Jelasnya, pendekatan yang (wajib) kita gunakan saat menghadapi awamul halqi adalah “al-ittiba’ wa al-kaffu” (mengikuti saja dan tidak mempersoalkan tentang hakikat tangan Tuhan).

Begitupun sebaliknya, jika kita berhadapan dengan orang-orang “an-Nuddhar” ahli pikir, maka, wajib hukumnya menerangkan statemen dan pernyataan menyangkut sifat-sifat Tuhan yang mengandung tasyabuh. Dalam hal ini, yang digunakan adalah pendekatan “qanun al-takwil” (kaidah-kaidah takwil), sehingga tidak terjatuh pada takwil subjektif, bathini dan esoterik seperti yang dilakukan oleh kelompok Syiah Ismailiyah (kaum bathiniyah).

Alih-alih kaidah takwil, kita diperbolehkan menafsir dan memberikan makna ayat dan hadits yang mengandung tasybih. Menafsirkan, dari makna dhahir ke makna yang bersifat metaforis dengan dalil-dalil pasti (burhan qathi’). Dengan catatan, ada alasan kuat untuk tidak memahami ayat-ayat dan hadits secara lahiriyah.

Sudah mafhum, bahwa lawan debat al-Ghazali adalah “ahlu al-ta’lim” yaitu para pengikuti Syiah Ismailiyah. Karena itu, tak heran jika al-Ghazali kemudian menulis kitab Fadhaih al-Bathiniyyah sebagai kritik terhadap takwil bathini (takwil yang dalam pandangan al-Ghazali tidak memiliki kaidah dan parameter). Dimana saat itu, kaum Syiah Ismailiyah menjadi ideologi resmi dari sebuah negara yang berbarengan dengan negara Abbasiyah.

Baca Juga:  Puisi Paskah Ulil Abshar Abdalla Ra Lilur hingga Syair al-Maarri yang Dinilai Ateis

Pada saat yang bersamaan dengan Dinasti Abbasiyah berpusat di Baghdad (Irak), ada dinasti imperium kerajaan lain bertepatan di sebelah utara barat Mesir, yang pada awalnya di Tunisia dan berpindah ke Kairo adalah Dinasti Fathimiyyah (salah satu Dinasti Syiah Ismailiyah yang sebetulnya berdiri setelah Dinasti Abbasiyah tapi satu zaman. Dinasti inilah yang melahirkan Universitas Al-Azhar. Bisa di bilang, Al-Azhar yang sekarang adalah dulunya Perguruan Tinggi Syiah.

Tentang kitab Fadhaih al-Bathiniyyah. Sisi lain, karya ini menuai kritik karena ditulis untuk merespons permintaan Khalifah Abbasiyah yang masih muda usia, yakni al-Mustazhir. Dia meminta al-Ghazali untuk mengarang sebuah buku dengan menggunakan dasar kekeliruan Syiah Ismailiyah atau aliran Bathiniyah.

Bagi al-Ghazali, kampanye secara literal ini, dilakukannya juga untuk membela kesultanan Saljuk yang Sunni yang terancam dengan aliran-aliran dibawah Hasan al-Sabah. Tampaknya, al-Ghazali ingin mengkompromikan Abbasiyah dan Saljuk, yang keduanya Sunni untuk bersama-sama melawan aliran Bathiniyah yang Syiah.

Yang tak kalah menariknya adalah, respons aliran Bathiniyah terhadap kritik al-Ghazali bersumber dari karya al-Ghazali, yaitu Fadhaih al-Bathiniyyah. Karya al-Ghazali ini mendapat respons secara historis-kritis dari kalangan pendukung aliran Bathiniyah atau Syiah Ismailiyah, simpatisan, hingga para ilmuan.

Terkait dengan penamaan Bathiniyah, misalnya, al-Ghazali dipandang kurang memahami konteks sosio-historis pada masanya. Karena, jika yang dimaksud al-Ghazali adalah al-Bathiniyah, maka itu berarti bukan Ismailiyah. Dimana, pada saat al-Ghazali menulis karya polemiknya, Ismailiyah di Iran di kenal dengan istilah “al-Da’wah al-Hadiyah”.

Tak hanya itu, rupa-rupanya al-Ghazali juga menulis kitab Al-Qisthasul Mustaqim, sebuah risalah untuk mengkritik takwilnya kaum bathiniyah. Sekali lagi, takwil itu boleh dikemukakan terhadap orang yang siap menerima takwil, tidak pada orang awam. Karena itu, seharusnya, burhan qathi’ diantara kalangan para ahli pikir merupakan sebuah qanun (kaidah) yang disepakati, terlebih para ahli pikir mengakui akan kaidah-kaidah. Mengapa demikian? Mencegah terjadinya kontra dalam skala parameternya, sehingga kita sendiri yang susah menghadapinya.

Atas dasar itu, al-Ghazali kemudian memberikan macam-macam timbangan dalam kitabnya, diantaranya: at-ta’adul, at-talazum, at-ta’anut. Timbangan at-ta’adul dibagi tiga: timbangan besar, tengah, kecil. Lima timbangan (mawazin al-hamsah) ini adalah tak bisa digambarkan perbedaannya setelah kita memahami. Istilah al-Ghazali adalah, “ia merupakan dalil dan tempat untuk menjumpai suatu keyakinan”.

Baca Juga:  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Mencela Sifat Kikir

Jelasnya, semua orang yang berakal pasti akan menyepakati lima timbangan itu. Misalnya, 1+1=2 semuanya pasti sepakat. Karena secara apriori, pengetahuan itu dengan sendirinya ada bahwa 1+1 sama dengan angka 2. Begitupun juga dengan 2+2 sama dengan angka 4. Iya, semuanya pasti akan sepakat. Timbangan-timbangan seperti inilah, menurut al-Ghazali, yang bisa menjadi kata “putus” untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.

Sudah barang tentu, orang yang sudah paham dan meraih lima timbangan tersebut, akan menjadi mudah ketika dia “inshaf” (bersikap adil dalam mengakui kebenaran orang lain) dan“intishaf” (menerima pengakuan dari orang lain). Bisa mudah misalnya, dalam menyingkap tirai-tirai dan menghilangkan sekat perbedaan antar kelompok.

Namun demikian, meski sudah sepakat sebagai parameter berfikir, tak menutup kemungkinan terjadinya suatu perbedaan dikalangan ahli pikir itu sendiri. Tentu ini terjadi, pertama, adakalanya ketidakmampuan sebagian ahli pikir dalam memahami kesempurnaan syarat-syarat mizan. Kedua, adakalanya kembalinya para ahli pikir dalam berfikir pada murninya insting (naluri) dan kebiasaan. Mereka tidak menimbang pikirannya dengan pikiran sistematis. Ibarat orang Arab yang belajar ilmu arudh, namun tak mampu menggugah syair (menimbang syair) dengan kaidah-kaidah arudh, pada akhirnya ia menimbang menggunakan intuisi saja.

Ketiga, adakalanya perbedaan para ahli pikir dalam ilmu-ilmu yang menjadi pondasi untuk menyusun burhan (prosedur berfikir secara mantiqi). Dalam ilmu-ilmu yang masuk pada bagian “muqaddimah burhan”, karena sebagian dari ilmu-ilmu itu merupakan pondasi dan pokok burhan. Kita tahu bahwa, ada ilmu sifatnya tajribiyyah (empiris) didasarkan pada pengalaman seperti, batu yang dilempar ke atas pasti akan jatuh lagi kebawah.

Ada juga ilmu yang sifatnya tawaturiyah (di kabarkan dari orang lain). Artinya, jumlah yang mengabarkan banyak sekali, sehingga tidak mungkin bohong. Misalnya, kita tahu Ka’bah bertempat di Makkah dan si fulan tidak pernah ke Makkah, tapi karena jutaan yang naik haji mengabarkan Ka’bah di Makkah, maka kabar itu tidak mungkin bohong. Kesimpulannya Ka’bah ada di Makkah.

Baca Juga:  Gus Ulil: Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad (Sebuah Jalan Tengah dalam Beraqidah)

Namun, kadangkala tawatur itu bernilai tawatur disatu sisi, dan tak bernilai tawatur disisi yang lain seperti, portal berita yang memberitakan berita tapi dengan sumber yang keliru. Pun juga, adakalanya sebagian orang yang menyaksikan dan membaca berita itu, menyakininya. Namun yang lain meragukannya. Disinilah terjadi perbedaan dalam menilai suatu pengetahuan, meskipun awalnya dia tahu bahwa parameter berfikir itu ada lima. Tapi, dalam kesimpulannya terjadi perbedaan dalam menilai kualitas pondasi burhan.

Keempat, adakalanya karena ambiguitasnya premis-premis yang bersifat spekulatif. Mengira bahwa, sesuatu yang sumbernya sangkaan itu secara kualitas sama dengan qadiyah-qadiyah aql. Lebih jelasnya, ia memperkirakan qadiyah-nya qadiyah yang aksiomatik berdasarkan nalar yang benar, tapi ternyata qadiyah-nya spekulatif.

Kelima, adakalanya karena keserupaan statemen yang populer, terpuji dengan ilmu-ilmu yang pasti, juga ilmu-ilmu yang bersifat awwaliyat (aksiomatik). Namun demikian, ada juga qadaya mashura yang semua orang menganggap “pasti” akan kebenarannya. Padahal tidak benar. Mereka hanya bermodalkan “viral-isme” lalu dianggap benar, seperti, (mohon maaf) perkataan-perkataan para selebriti. Itu artinya, standar kerterkenalan bukan parameter utama dalam kebenaran suatu pikiran, apalagi artis yang baru terkenal kemaren sore.

Belakangan, dengan bantuan media sosial dan internet murah, banyak orang-orang yang merasa sudah sampai pada level tertentu. Padahal ia baru memulai. Bahkan, tak sedikit pula yang merasa telah dan sudah memulai, padahal ia belum berbuat apa-apa. Nah, kesombongan intelektual semacam ini mulai sangat marak-menyeruak di depan hidung kita. Ketika (maaf) kebanyakan sekolah modern telah mencabut akar-akar kemanusiaan, justru kitab Faishal al-Tafriqah, Pesantren Ghazalian College khususnya, mengembalikan kemanusiaan kita.

Syahdan, hal ini (lima timbangan) kata al-Ghazali, sudah dijelaskan dalam kitab Mihaq al-Nadhar, salah satu kitab yang menjelaskan tentang logika. Terlepas dari itu semua, jika para ahli pikir berhasil mempelajari timbangan-timbangan pikiran dan menverifikasinya, menjadi mungkin bagi mereka akan berhenti, ketika meninggalkan debat kusir (kembali pada timbangan), mereka akan mampu mengetahui tempat-tempat kekeliruan dengan mudah sekali. Wallahu a’lam bisshawab. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini