Idul Fitri, Momentum Memudikkan Cinta Kasih

Setiap menjelang Idul Fitri, terjadi ritus gelombang manusia yang bergerak secara massal menuju ke tempat di mana dulu mereka lahir, menetap, dan dibesarkan. Gelombang pergerakan manusia itulah kemudian dikenal dengan istilah “mudik”. Sebagai tradisi yang telah mengakar kuat, mudik mustahil untuk dihilangkan. Karena mudik tak sekedar dimaknai sebagai kepulangan jasmani, tetapi juga kepulangan rohani.

Mudik, secara spiritual mengandung makna pembebasan diri dari sistem kehidupan yang minimal selama setahun belakangan telah begitu angkuh menekan atau menindas diri atas nama ekonomi, politik, sosial, bahkan agama. Dengan kembali ke kampung halaman, mereka dapat membebasan diri dari tekanan unsur-unsur duniawi tersebut. Merajut kebersamaan dalam hubungan kekeluargaan yang bermuara pada ketenangan spiritual. Artinya, mudik juga mengandung unsur cinta kasih terhadap sesama.

Selama dua tahun kemarin, pemerintah sempat melarang masayarakat melakukan mudik karena pandemi Covid-19 yang semakin mengganas. Tentu saja, larangan pemerintah tersebut didasarkan pada kewajiban pemerintah untuk menjaga keselamatan rakyatnya. Berbagai pembatasan dilakukan, mulai dari menutup akses jalan raya, pembatasan alat transportasi umum, pemeriksaan di pintu masuk setiap kota, hingga sanksi keras bagi masyarakat yang melanggar aturan. Meskipun demikian, sebagian masyarakat tetap nekat mudik, segala cara dilakukan. Mulai dari kucing-kucingan dengan aparat kepolisian, menerobos gang-gang sempit, mengelabui petugas, hingga memalsukan surat jalan atau sertifikat vaksin.

Kini, setelah negeri ini mulai pulih dari pandemi, masyarakat mendapatkan kembali kebebasannya, mereka kembali bergembira menyambut mudik lebaran, melepaskan kerinduan pada kampung halaman. Bagi pemudik, kerinduan itu jauh lebih berharga dari apapun, termasuk hitung-hitungan nilai ekonomi. Sayangnya, sisi manusiawi berupa kerinduan dan kebutuhan batin itu, dalam pemenuhannya justru sering berbenturan dengan sisi kemanusiaan yang lain, bahkan dengan makna spiritualitas itu sendiri.

Baca Juga:  Hilda dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka

Tentu saya tidak bermaksud menaruh prasangka buruk kepada para pemudik, karena kita tidak pernah tahu makna mudik bagi setiap individu. Saya meyakini bahwa setiap dari mereka punya dinamika dan urgensi yang berbeda. Akan tetapi, mudik juga menyimpan ironi. Ternyata manusia juga tidak berdaya saat berhadapan dengan tradisi yang mereka ciptakan sendiri. Mudik seolah menjelma menjadi sebuah kewajiban. Muncullah narasi bahwa para perantau yang tidak mudik justru dipertanyakan moralitas dan komitmennya terhadap habitat sosial dari mana mereka berasal. Bahkan mereka dituduh sebagai mata duitan karena lebih mementingkan pekerjaan dibanding pulang ke kampung halamannya. Bukankah ini kontradiktif dengan nilai-nilai cinta kasih mudik itu sendiri?

Dalam Islam, nilai cinta kasih merupakan buah dari akhlakul karimah (perilaku terpuji). Tradisi mudik sebagaimana disebut di awal, bukan hanya sekedar pulang kampung. Lebih dari itu, mudik merupakan proses ritual yang mencerminkan cinta kasih kepada sesama manusia, juga melambangkan keterikatan manusia terhadap latar belakang sosial budaya serta asal sejarahnya.

Sayangnya, di balik cerita mudik, tidak sedikit pula terselip sisi keganjilan yang lain. Keganjilan itu berupa sebongkah harga diri dan gengsi sosial. Banyak pula para pemudik pulang kampung tidak hanya untuk melepas kerinduan kepada sanak famili. Momentum mudik malah dijadikan ajang untuk unjuk kesuksesan, pamer materi dan segala atributnya, di mana hal tersebut justru dapat mempertajam kecemburuan dan kesenjangan sosial. Suatu perilaku yang sejatinya berlawanan dengan makna puasa dan kesucian Idul Fitri itu sendiri.

Maka, momentum mudik Idul Fitri harus disertai dengan memudikkan cinta kasih kepada sesama manusia. Perwujudan nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari itu jauh lebih penting terutama dalam ekosistem masyarakat yang justru semakin gersang akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pesan utama agama untuk memuliakan manusia dengan cara memudikkan cinta kasih harus menjadi tujuan utama dari tradisi mudik.

Baca Juga:  Seperti Apa Kamu Mendefinisikan Cinta?

Tanpa memudikkan cinta kasih, ibadah puasa akan gagal menyampaikan pesannya, perayaan Idul Fitri akan kehilangan maknanya. Oleh karena itu, tradisi mudik sudah semestinya kembali difokuskan pada memudikkan kasih sayang bagi sesama, bebas dari sekat kultural, struktural, perbedaan etnis, maupun perbedaan keyakinan. Dengan demikian, tradisi mudik menjadi sebuah prosesi kembalinya manusia kepada jati diri dan hakikat kemanusiaan yang sejati. Wallahu a’lam. []

Muhammad Makhdum
Alumni Magister Pendidikan Sains Universitas Negeri Malang, Pengurus PC LTN NU Kabupaten Tuban dan Ahlul Ma'had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.

Rekomendasi

Opini

Pendidikan Era Covid19

Covid-19 menciptakan problem baru pendidikan dan berpotensi mendorong inovasi pendidikan dan pembelajaran” – ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini