Rangkuman sejarah mengatakan bahwa mulanya Islam dan Kristen di Aceh memiliki hubungan harmonis. Hal ini dapat kita lihat dari adanya pembangunan Gereja pertama yang masih terbuat dari kayu di Kuta Karangan. Kayu-kayu tersebut merupakan hasil pertukangan dari seorang Haji asal Aceh sendiri. Tidak hanya itu, di Desa Lipat Kajang (pemukiman Muslim), dan tempat pemukiman Kristiani (Kuta Kerangan), terdapat seorang Raja bernama Dayo.
Raja Dayo setiap tahunnya bertepatan dengan tahun baru selalu mengunjungi umat Kristiani untuk menyampaikan salam supaya hidup rukun. Hal harmonis lainnya yang termuat dalam rangkuman sejarah yaitu, ketika umat Islam menunaikan sholat Ied, para pemuda Kristen-lah yang menjaga keamanan kala itu.[1]
Namun ketika tahun 1979, konflik mulai terjadi antara Islam dan Kristen di Aceh Singkil. Bermula dari adanya pembangunan GTI (Gereja Tuhan Indonesia) serta adanya isu Kristenisasi kala itu. Isu tersebut membuat umat muslim bereaksi, dan tidak lama setelah itu terjadilah aksi pembakaran Gereja. Kaum minoritas (Kristen) tidak bisa berbuat apa-apa, dikarenakan Aceh didominasi oleh penduduk muslim yang kental dengan syariat Islamnya. Aceh juga dikenal merupakan kawasan istimewa dikarenakan masih mempertahankan bentuk krajaan atau tradisi.[2]
Dari peristiwa pembakaran Gereja tersebut, lalu pada 13 Oktober 1979, diakhiri dengan dibentuknya ikrar kerukukan bersama. Setelah konflik pada tahun 1979 selesai, tahun 2001 muncul kembali konflik serupa, meskipun tidak ada kekerasan. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya kuantitas umat Kristen, sehingga membutuhkan tambahan jumlah tempat ibadah Gereja.
Kendati demikian, umat muslim masih memberikan toleransi terhadap kaum Kristen dengan menambah satu Gereja dan empat undung-undung (Gereja kecil). Kemudian, umat Kristen berjanji akan siap membongkar sendiri bangunan Gereja jika jumlah Gereja melebihi kesepakatan yang telah disahkan bersama.
Namun pada tahun 2012, terdapat provokasi pelecehan kepada umat muslim di Singkil, namun tidak upaya tersebut tidaklah. Terdapat isu pula bahwa adanya pembakaran Gereja yang dilakukan umat muslim, namun hal itu tidak benar dan berita tersebut nyatanya tidak ada. Seiring berjalannya waktu, FPI (Front Pembela Islam) melakukan demonstrasi dikarenakan banyaknya pembangunan Gereja yang dipandang melanggar ikrar perdamaian.
Memasuki tahun 2015 tepatnya pada tanggal 13 Oktober, terjadi kembali konflik pembakaran Gereja di daerah Suka Makmur Gunung Meriah. Ketika ketegangan itu berlangsung, terdapat satu korban meninggal dunia dan empat orang mengalami luka-luka dari pihak muslim, tepatnya di Desa Dangguran. Hal ini dikarenakan adanya penembakan dari pihak Kristen menggunakan air-gun rakitan yang biasa digunakan untuk berburu babi hutan.
Sumbu penyerangan dikarenakan umat Kristen termotivasi dari selebaran yang dikeluarkan oleh GKPPD (Gereja Kristen Pakpak Dairi) serta ditandatangani oleh pimpinan pusat GKPPD. Selebaran tersebut berisikan untuk melakukan perlawanan terhadap umat muslim, didalanya sebagai berikut: a). Adanya ajakan bagi umat Kristen untuk melakukan perlawanan terhadap Islam, b). Menghembuskan semangat keberanian dengan kata-kata bahwa Islam Aceh Singkil tidak seperti dulu lagi,
c). Umat Kristen di seluruh Indonesia akan membantu perjuangan dari Kristen di Aceh singkil dalam hal apa saja, d). Ambon yang dahulu hampir 80% muslim bisa kita hancurkan, mengapa dengan Aceh Singkil yang hanya kawasan kecil pun kami tidak takut, dan masih ada beberapa isi selebaran tersebut yang tujuannya untuk memerangi Islam.
Dari adanya konflik bentrok yang menimbulkan ketegangan antara dua agama ini, banyak menimbulkan kerugian, baik berupa material Gereja, korban jiwa, dan luka-luka dari umat muslim. Hal yang perlu digarisbawahi dari konflik tersebut
Dari ketegangan tersebut, langkah dan pelajaran apa yang seharusnya kita petik?. Bahwa kedua agama tersebut sejatinya secara ilahiyah sama sekali tidak mengajarkan permuduhan dan perkelahian. Lalu bagaimana sikap yang seharusnya dihidupsuburkan untuk menjaga keharmonisan?.
Islam sendiri sejatinya datang sebagai agama penyempurna dan penuh kedamaian. Islam sesungguhnya juga tidak menanamkan kekerasan bagi siapa saja dan justru menebar kasih sayang. Masih saja terdapat kelompok-kelompok yang merasa terganggu atas hadirnya umat agama lain dan merasa dirinya paling benar. Namun dilain sisi, juga terdapat golongan Islam lainnya yang justru menanamkan toleransi antar umat beragama.
Dari sini, Khaled Abou el-Fadl membagi Islam menjadi dua kubu besar moderat dan Puritan. Kubu moderat dinilai sebagai Islam yang penuh rahmat, kasih sayang dan cinta, humanistik, jauh dari kata kekerasan.[3] Sedangkan puritan mengaggap bahwa Tuhan telah termanifestasikan dalam syariat Islam. Dengan begitu, mereka berbuat sepuasnya atas dasar mengatasnamakan agama-Tuhan. Ciri khasnya tidak menerima toleransi, bersifat eksklusif dan menganggap seseorang yang tidak sependapat dengan pemikirannya halal dilebeli kafir/sesat baik sesama Islam maupun non-muslim.
Seperti konflik antar agama yang terjadi di Aceh Singkil tersebut merupakan wujud dari tidak adanya toleransi hingga melakukan pembakaran Gereja. Dengan begitu jatuhlah korban dari pihak muslim dan mengalami luka-luka akibat adanya perlawanan dari pihak Kristiani. Pada hakikatnya Islam sangat menghimbau untuk saling mangasihi dan menyayangi sesama manusia. Ruh beragama (Islam) pun sebetulnya menjunjung tinggi toleransi. Mengaca pada kehidupan Nabi Muhammad saw yang berteman dengan seorang kafir Quraish. Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan wujud dari perilaku toleransi terhadap umat agama lain.
Perbedaan merupakan anugrah dari Tuhan yang tidak dapat dielakkan, maka dari itu bagaimana sikap seseorang menaggapi adanya perbedaan tersebut dengan baik. Abou El-Fadl juga mengatakan bahwa Islam sesungguhnya jauh dari kata kekerasan, toleran, inklusif.
Jika melihat dalam teks Qur’an dapat kita temui ayat tentang toleransi dan etika keberagamaan dalam menerima kenyataan perbedaan. Seperti dalam QS Al-Hujurat: 13, dimana intisarinya adalah manusia diciptakan beragam supaya saling mengenal satu sama lain.
Dari ayat tersebut, Islam sendiri menghendaki adanya perbedaan untuk saling mengenal. Seperti dalam konflik yang terjadi di Aceh Singkil yang melibatkan antara Islam dan Kristen. Seharusnya dari kedua belah pihak tidak saling menyerang dan menyakiti antar sesama. Aceh yang dikenal sebagai wilayah yang kental nuansa syariat Islamnya sepatutnya tidak melakukan pembakaran dan melarang pembangunan Gereja. Islam justru menyerukan untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, toleransi dan saling menghargai. []
[1] Haidlor Ali Ahmad, “Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh Singkil dalam Perspektif Budaya Dominan”, Jurnal Multikultural dan Multireligius, vol. 15, no. 3, September-Desember 2016, 51.
[2] Nurjannah, “Strategi Komunikasi Organisasi Humas dalam Menyelesaikan Konflik Antarumat Beragama (Studi Pada Kantor Bupati Aceh Singkil)”, (Tesis—Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan, 2017), 8.
[3] Muhammad Nur, “Problem Terminologi Moderat dan Puritan dalam Pemikiran Khaled Abou El-Fadl”, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol. 11, no. 1, Maret 2013, 85.
[…] negara dan agama mengalami pusung surut. Ada suatu masa dimana agama dekat dengan negara atau bahkan menjadi negara […]