Mistisisme dalam Dunia Islam II: Pandangan Yazdi dan Tokoh Populer Barat

Mistik dapat juga diartikan sebagai suatu bentuk rasa cinta terhadap Sang Penguasa alam. Dari adanya rasa cinta kepada Tuhan itulah yang menyebabkan manusia dapat menikamati semua apa yang dianugerahkan kepada makhluknya, baik itu bersifat positif/negatif dan mampu menyandang segala penyakit serta penderitaan sekaligus terhadap ciptaannya

Adapun kemiripan atau persamaan dalam pengalaman mistik sertiap insan, tentunya harus ada pembeda utama di antara keduanya, yaitu tergolong sebagai berikut, yaitu Mistik Ketakterhinggaan atau Mysticism of infinity dan Mistik Kepribadian atau Mysticsm of Personality. Dari kedua pembagian tersebut, pertama telah mendapat pengungkapan yang paling tinggi dan dapat dikatakan juga paling murni dalam suatu sistem Plotinus.

Dalam mistik kepribadian seseorang terdapat di dalamnya yaitu hubungan manusia dengan dengan Tuhan. Ibarat budak dengan tuannya, atau juga dalam bahasa cinta diibaratkan si mabuk cinta yang sedang  mendambakan kekasihnya. Hal mistik yang seperti inilah yang muncul lebih awal dalam dunia tasawuf yang mana manusia lebih dekat dengan tuhannya dibanding dengan keduniawian karna sudah mendahulukan dan juga terlanjur cinta pada Sang Pencipta.[1]

Dalam al-‘ilm al-Hudhuri, di dalamnya mengkaji tentang mistisisme dan metamistisime yang dikemukakan oleh Yazdi, ia memperlihatkan otoritasnya sebagai teoritikus dalam hal mistik yang genial. Terlebih dikhususkan dalam menjawab berbagai pertanyaan mendasar dalam tradisi mistik, seeprti contoh: pengalaman mistik itu dapatkah tercakapkan?.

Maka Yazdi mulai untuk menekankan bahwa ada satu jenis mistis dalam tradisi Islam, acap kali disebut dengan sufisme yang berkecimpung dalam dunia tasawuf, dimana ia betul-betul memiliki objek dari bahasa objek yang dirancang lalu ditujukan untuk pengetahuan kepada swaobjeknya.

Yazdi berkata, dari sinilah pengalaman mistik tidak boleh disebut dengan pengetahuan yang tidak bisa tercakapkan, atau pengalaman yang tidak bisa dikomunikasikan. Lantas timbullah sebuah pertanyaan: kenapa mistisisme harus disebut oleh para mistikus dan para pemikir/filsuf yang berminat dalam hal-hal keruhanian esensinya tidak dapat tercakapkan/terkomunikasikan?.

Baca Juga:  Membincang Islam Humanis dalam Konteks Berislam Kekinian

Dengan dasar teori perspektif al-‘ilm al-hudhuri, lalu Yazdi menjawab pertanyaan tersebut. Jawabannya sudah jelas bahwa dikarenakan pengetahuan dengan kehadiran yang pada esensinya yaitu pengetahuan swaobyek dan juga semua dari bentuknya, maka hal itu identik dengan realita eksistensial hal yang diketahuinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari kesadaran mistik/kesadaran akan bersatunya/kesatuan antara kehadiran yang dalam diri (manusia) dan diri dalam Tuhan.[2] Dalam mengkaji pengalaman mistik yang dikemukakan oleh Yazdi sangatlah menarik karena menurutnya hal demikian tak tercakapkan yang artinya tidak dapat digambarkan dan dijelaskan kepada orang yang belum pernah mengalami hal yang seperti itu. Menurut Yazdi sendiri pengetahuan tentang mistik dalam bentuk aslinya pada umumnya dinamakan dengan pengalaman mistik  sebagai suatu contoh pengetahuan dengan kehadiran yang bersifat non-fenomenal.

Hal seperti itu tentunya beda dengan pengetahuan representasional yang berisi tentang objek eksternal, dari pengetahuan dengan kehadiran tidaklah berlaku sebagai dari bagian dari pengetahuan manusia yang sifatnya umum. Maka dari itu, pengalaman mistis tidak dapat dikomunikasikan secara langsung kepada manusia pada umumnya kecuali dengan analogi yang sifatnya metafosis.

Salah satu masalah (problem) atas tak tercakapnya pengalaman mistik itu telah menjadi sebuah kajian dari beberapa filsuf dan juga pemikir. Diantaranya sosok al-Ghazali pada abad pertengahan dan juga William James-abad Modern. Al-Ghazali dalam hal ini menulis: “Tak ada bagi mereka kecuali Tuhan. Mereka menjadi mabuk dengan kemabukan yang telah meluluhkan akal mereka. Salah satu dari mereka berkata (akulah Tuhan “kebenaran”). Sedangkan yang lain berkata, “Mahasuci aku! Alangkah agung kebesaranku” sedangkankan yang lain juga berkata “tidak ada sesuatu apapun di dalam jubahku melainkan Tuhan”.

Baca Juga:  Mempertemukan Dua Kutub

Tetapi, dari beberapa ucapan para pencinta Tuhan, ketika ia dalam keadaan yang mabuk dalam tanda kutip dimabuk cinta pada sang ilahi, maka diharuskam untuk tidak menyebarluaskan kepada yang lain dan disembunyikan secara rapat-rapat.  Dalam pandangan Yazdi bahwa untuk keluar dari perdebatan Russell, apakah pengalaman mistik itu dapat dipercakapkan/dikomunikasikan atau tidak, lalu ia menyodorkan beberapa kategori tentang mystical experience.

Pertama yaitu mistisisme yang tidak bisa dipercakapkan yaitu yang disebut dengan mistik murni, dimana tidak dikonseptualisasikan dalam istilah pemahaman manusia secara umum.  Oleh karena itu sulit untuk menjelaskannya, karena sama sekali tidak terdapat bahasa yang dapat dipahami masyarakat awam.

Kedua yaitu (mistisime yang rekonstruktif dan introspektif sebagai objek/bahasa murni dari mistisisme”. Yazdi mengatakan bahwa pemikiran ini sebagai bahasa dari mistisisme. Termasuk Islam yang dalam ajarannya menekankan pada aspek spiritualitas dalam dunia tasawufnya.[3]

Ketiga yakni yang menjadi dasar dari bahasa knowlage by presence atau al-‘ilm al-hudhuri, yaitu “metamistisme filosofis atau ilmiah”. Berbicara tentang pengalaman mistik, dalam filsafat pada mulanya berangkat dari hal yang sifatnya mistik dan merupakan dasar dari kehidupan sampai saat ini. Dalam hal mistik ini terdapat identitas dari manusia yang tidak bisa mengelak. Disini tidak aka nada perbedaan antara yang disebut “Aku” (subjek) dengan apa yang disebut objek, dan hal ini sudah diakui oleh Yazdi.

Ataupun juga diistilahkan Verhaar, yaitu sebuah penangkapan langsung tanpa adanya perkataan sebagai syarat yang dikatakan mutlak, tanpa adanya fikiran dan tanpa sifat diskursif, terhadap kenyataan/realitas manusia. Sumber dari mistik sendiri yaitu berasal dari sumber yang tak dapat terungkapkan bahkan juga sesuatu yang menjadi dasar dari pengungkapan.

Baca Juga:  Historis Islam: Makkah dan Madinah

Adapun struktur dari pengalaman religius yaitu menurut Rudolf Otto yang menulis dalam karyanya dengan berjudul The Idea of the Holy. Disebut dalam karyanya bahwa ruang sebelah kanan dalam diri manusia terdapat jelas adanya struktur a priori tentang sesuatu yang sifatnya irasional atau non-rasional, seperti halnya yang di paparkan oleh I. Kant tentang struktur a priori tadi terhadap rasionalitas yang terdapat dalam diri manusia.

Kant mengemukakan dalam hasil pemikiran berfilsafatnya tentang akal budi dari manusia. Menurut pendapat Otto sendiri tempat dari a priori sendiri terletak pada perasaan dari hati. Keinsyafan akan yang Kudus, dapat juga disebut dengan keinsyafan manusia dalam beragama atau disebut dengan sensus religiousus. []

[1] Syaifan Nur, Asna Ulil Maizah, “Jalan Illuminasi dalam Mistisisme Hazrat Inayat Khan (1882-1927)”, Refleksi, vol. 19, no. 1, Januari 2019, 108.

[2] Syaifan Nur, Asna Ulil Maizah, “Jalan Illuminasi dalam Mistisisme”, 107.

[3] Yazida Ichsan, Yusuf Hanafiah, “Mistisisme dan Transendensi Sosio-Kultural Islam di Masyarakat Pesisir Pantai Parangkusumo Yogyakarta”, Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya, vol 5, no. 1, Juni 2020, 23.

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini