Alhamdulillah. Bisa berjumpa dengan sahabat Facebook, Ustadz Amrizal alias Tgk Ma Taqulu, di Kantor PCNU Kencong.
Dia adalah santri kelana. Berangkat dari Bireun Aceh, 30 September 2020. Berjalan kaki selama 20 hari sampai di Medan. Di kota ini, ada pengasuh majelis taklim yang memberinya sangu yang kemudian dibelikan sepeda. Dan moda transportasi roda dua ini yang kemudian dipakai keliling Sumatera, Jawa dan Madura. Jadi, total 14 bulan ditempuh dengan berjalan kaki dan bersepeda.
Karena masih jomblo, Ustadz Amrizal enjoy saja keliling gowesan menjelajah pulau. Ziarah ke makam para wali di Jawa dan Madura, termasuk menziarahi pusara para Mursyid Syattariyah.
Tak lupa, tentu saja, sowan ke beberapa ulama, meminta sanad ilmu sekaligus mencatat transmisi ruhaniah Tarekat Syattariyah. Secara khusus Ustadz Amrizal mencatat sanad-sanad Mastur yang transmisinya belum masyhur. Di Madura, dia sowan ke KH. Luqman Haris, Saronggi, Sumenep, salah satu pemilik sanad tarekat Syattariyah dari empat jalur langka: melalui (1) Sunan Ampel, (2) Syekh Muhyi Pamijahan (1640-1715) melalui jalur Syekh Faqih Ibrahim dan Raden Kiai Bagus Saparwadi [nama ini cocok dengan jaringan ulama Syattariyah di sekitar Pangeran Diponegoro. Faqih Ibrahim Ba’abud alias Pekih Ibrohim Madiokusumo adalah Sayyid bermarga Baabud. Ayahnya Hasan Munadi bin Alwi Ba’abud, menantu Hamengkubuwono II]; (3) Syekh Yusuf al-Maqassari.
Di Banyuwangi, yang dia kunjungi seminggu silam, dia mencatat transmisi sanad Syattariyah yang berporos pada jalur Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, serta Tarekat Akmaliyah di wilayah timur Jawa.
Apa yang memotivasinya? Ingin menelusuri jaringan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah di Nusantara. Itu saja. Dan, pria berusia 27 tahun ini enteng saja menjelajah sekujur pulau Sumatera, Jawa, dan Madura.
Sebagaimana diketahui, Tarekat Syattariyah dibumikan oleh Syekh Abdurrauf Assinkili (1615-1693), mutfi Kesultanan Aceh, yang mendapatkan sanad ini dari Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, yang mendapatkan sanad dari Syekh Ahmad Assyinawi. Jaringan murid Syekh Assinkili menyebarkan tarekat ini melalui jejaring Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1704) Pariaman Sumatera Barat. Sedangkan di Jawa disebarkan oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (1640-1715). Sisanya disebarkan oleh Syekh Yusuf al-Maqassari (1626-1699).
Tarekat Syattariyah adalah di antara tarekat yang mulai masuk dan tersebar paling awal di era kerajaan Islam di Nusantara. Dalam email tertanggal 15 Agustus 2015, Prof. Oman Fathurahman, filolog UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan kepada Peter Carey, bahwa Ratu Ageng, nenek buyut Pangeran Diponegoro, adalah penganut Tarekat Syattariyah.
Menurut Prof. Oman, berdasarkan penelitian atas naskah Jav. 69 [Silsilah Syattariyah] dari koleksi Colin Mackenzie di British Library, London, Ratu Ageng–yang disebut ‘Kangjeng Ratu Kadipaten’ dalam naskah– disebutkan dalam empat bait sebagai penganut setia yang memiliki pertalian langsung dengan para mursyid utama Tarekat Syattariyah di Jawa Barat, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (1640-1715) melalui empat silsilah ulama.
Anggota kesultanan lain yang disebut sebagai penganut Syattariyah adalah Permaisuri Hamengkubuwono II (bertakhta 1792-1810/1811-1812/1826-8), Ratu Mas, dan ayahnya Pangeran Pakuningrat, menak keturunan Mataram yang menikah dengan anak Pakubuwono II (bertakhta 1726-1749) dan Ratu Alit dari Kertasura. Pakuningrat dibaiat dalam Syattariyah oleh Kiai Abdullah (Kiai Muhammad Kastuba) dari Pesantren Alang-Alang Ombo di Bagelen. Selain itu bangsawan lain yang menjadi pejalan Syattariyah adalah Raden Ayu Kilen, selir Hamengkubuwono II.
Pangeran Diponegoro juga menganut Tarekat Syattariyah melalui gurunya hingga bertalian pada jalur sanad Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Sang pangeran mempelajari Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syaikh Muhammad bin Fadhlullah a-Burhanpuri. Kitab ini menjelaskan falsafah sufisme tentang ajaran “martabat tujuh” yang klop dengan pemikiran manusia Jawa manakala merenungkan Allah, dunia dan kedudukan manusia.
Karena banyak dianut oleh para menak Jawa, di hingga Tarekat Syattariyah lebih banyak berkembang di wilayah bekas kekuasaan Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Di wilayah Mataraman (eks Karesidenan Kediri), saat ini jaringan tarekat ini masih bertahan.
Bahkan, ketika pada Maret silam saya ikut dalam Ekspedisi Banda Neira, yang melacak jaringan ulama Jawa yang dibuang di Pulau Banda Neira era 1920/1930-an, saya menemukan jaringan Tarekat Syattariyah di pulau ini.
Tarekat Syattariyah di pulau ini disebarkan oleh KH. Muhammad Bukhori, Jatinom, Blitar, yang dibuang ke Banda Neira dalam kurun 1928-1938. Kakek Gus Ahmad Khubby Ali R ini mendidik beberapa kader ideologis. Termasuk anaknya, Kiai Shofwan, yang mendampinginya di pengasingan. Kiai Shofwan membaiat dua penduduk lokal, Haji Marjais dan Haji Rabi’un, dimana nama terakhir ini membaiat Haji Ali Ahmad Uba, sesepuh Banda Neira yang juga imam masjid Al-Muhlisin, salah satu masjid tertua di pulau ini.
(Cc Abah Banda Mutiara, Dr Farid Muhammad, Ustadz Aditya Basir, Bang Isra Al-Amin )
Tradisi santri kelana ini, baik bermukim pada kurun bulanan hingga tahunan di sebuah pesantren, lantas melanjutkan ke pesantren lain, maupun pisowanan ke para ulama yang telah menjadi target sowan (puluhan hingga ratusan nama) dalam durasi tertentu telah menjadi kebiasaan dalam tradisi Islam.
Dalam tradisi Jawa, keberadaan santri kelana ini ditulis oleh Ranggasutrasna, Yasadipura II, dan Sastradipura (Kiai Muhammad Ilhar) dalam mahakaryanya Serat Centhini. Jayengresmi, keturunan Sunan Giri, yang berkelana di sekujur Jawa, berguru ke para cendekia Jawa: dari kiai, tokoh gaib dalam mitologi, hingga juru kunci makam-makam keramat. Rekaman atas pengelanaan intelektual dan spiritual ini yang dikemas secara indah dalam Serat Centhini. Sebuah karya ensiklopedis Jawa yang ikonik dan apik.
Begitu pentingnya perjalanan semacam ini, pada zaman dulu di depan rumah penduduk biasanya disediakan gentong besar. Fungsinya, untuk air minum para Ibnu Sabil ini.
Mereka pantang meminta-minta, tapi jika diberi juga tidak menolak. Untuk kebutuhan makan minum, sebagian membawa bekal uang, ada juga yang tidak. Tapi, selalu ada kata rezeki yang digelontorkan oleh Allah bagi mereka.
Soal pejalan kaki dan tujuan spiritual-emosional yang hendak dirasakan, saya teringat film The Way (2010). Tentang Thomas Avery (Martin Sheen), seorang ayah keras kepala yang memutuskan menjelajahi
Camino de Santiago, sebuah rute peziarahan yang dalam tradisi Kristiani juga dikenal sebagai “Jalur St. James”.
Diawali dari Prancis, Camino de Santiago memanjang ke bagian barat daya Eropa hingga berakhir di The Cathedral of Santiago de Compostela yang terletak di Kota Galicia, Spanyol.
Thomas rela berjalan kaki menempuh rute ini untuk melanjutkan keinginan putranya, Daniel, yang tewas dalam peziarahan Camino de Santiago. Perjalanan panjang yang membuatnya bisa merenungkan makna hidup, relasi keluarga, persahabatan sesama pejalan, hingga hakikat dari “bercapek-capek” yang telah dia tempuh dengan mengandalkan sepasang kaki.
Saya kira, The Way adalah salah satu pintu memahami jalan pikiran dan prinsip para pejalan kaki, santri kelana dan para penempuh jalan sunyi.
Eh, kok malah mblakrak mbahas film ya. Hahahaha.[BA]