Keberagaman dalam Keberagamaan Adalah Sebuah Keniscayaan

“…Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”. Penggalan terjemah surat al-Hujurat ayat 13 tersebut dengan gamblang memaparkan bahwa perbedaan adalah sebuah fitrah yang tak mungkin dipungkiri. Perbedaan di sini bukan semata perbedaan dalam segi ras maupun suku, ia juga merambah ke dimensi yang lebih luas―termasuk di sini perbedaan dalam hal agama. Indonesia sendiri juga mempunyai keragaman dalam hal agama, hal tersebut masih ditambah oleh eksistensi aliran-aliran kepercayaan lainnnya.

Tak berhenti di situ. Keragaman tak hanya ada pada agama, melainkan juga pada praktik beragama. Misalnya dalam bidang fiqh, terdapat mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi‘i, mazhab Hanbali. Setiap dari mereka memiliki ciri khas fiqh-nya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Keragaman tersebut disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam memahami dan menginterpretasikan teks (al-Qur’an dan hadis).

Dalam problematika persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya menyatakan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudlu. Hal ini disebabkan oleh pemaknaan mereka terhadap frasa أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ (al-Nisa’ ayat 43) dengan “Atau kamu telah berhubungan badan dengan perempuan”. Artinya, hal yang bisa membatalkan wudlu―menurut mazhab Hanafi―bukan persentuhan kulit melainkan berhubungan badan. Lain halnya dengan Imam Syafi‘i dan para pengikutnya. Mereka memaknai frasa tadi dengan “Atau kamu telah menyentuh perempuan”. Oleh sebab itu, mazhab Syafi‘i menyatakan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan bisa membatalkan wudlu.

Bukan hanya dalam bidang fiqh, perbedaan juga terdapat pada seluruh sisi perilaku beragama. Dalam buku “Abdurrahman Wahid: Keislaman, Kemanusiaan, dan Kebangsaan” yang ditulis oleh Ahmad Salehudin diungkapkan bahwa wajah agama tergantung di mana dan bagaimana agama dalam berdialektika dengan masyarakat. Dari sini bisa diketahui mengapa banyak perbedaan dalam perilaku beragama antara wilayah satu dengan lainnya―meskipun agamanya sama.

Baca Juga:  Santri, Keberagaman dan Persatuan

Salah satu contohnya adalah pernikahan. Gagasan Islam terhadap rukun pernikahan sebenarnya cukup sederhana yakni meliputi mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, dan ijab-qabul. Namun, dalam realitas sosial terjadi banyak perbedaan interpretasi terhadap hal tersebut―tentunya menyesuaikan konteks yang ada. Di suatu wilayah, mahar bisa cukup dengan seperangkat alat sholat, tapi di wilayah lain mahar bisa bernilai hingga puluhan juta rupiah. Fenomena tersebut selaras dengan kaidah al-‘adah muhakkamah (adat kebiasaan bisa dijadikan sebagai sandaran hukum).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa antara agama dan masyarakat terjadi komunikasi dua arah. Maksudnya, bukan hanya wajah agama yang ditentukan oleh dialektikanya dengan masyarakat, tapi juga perilaku masyarakat ditentukan oleh agamanya. Masih dalam buku “Abdurrahman Wahid: Keislaman, Kemanusiaan, dan Kebangsaan” dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu referensi utama para pemeluknya dalam bertindak, menyikapi, merespons kondisi sekitarnya, dan memberikan makna atas tindakannya.

Dengan demikian, maka bisa diketahui bahwa pluralitas dalam praktik beragama adalah bagian dari realitas yang tak bisa disangkal. Mau-tidak mau, sepakat-tidak sepakat, itulah yang memang terjadi. Di tengah pluralitas tersebut, nampaknya kita perlu memikirkan ulang bagaimana konsep perspektif kegamaan kita. Masihkah kita menganggap mereka yang berbeda―baik dalam hal praktik beragama maupun dalam agama itu sendiri―adalah musuh?. Apabila kita memiliki hak untuk membunuh mereka yang berbeda (padahal mereka tidak memiliki kesalahan apapun pada kita), bukankah mereka juga punya hak membunuh kita dengan dalih yang sama?. []

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini