Bahasa Arab ‘Amiyyah: Kita Masih “Terjebak” Pengaruh Propaganda Inggris Di Mesir

Bahasa arab merupakan alat komunikasi manusia atau bahasa hasil produk budaya bangsa Arab. Bahasa arab bukan bahasa malaikat apalagi bahasa Tuhan, mesikipun kalam Alloh dalam kitab suci (al-Qur’an) yang diwahyukan (12 Rabi’ al-Awal 53 sH sampai 12 Rabi’ al-Awal 11 H atau Senin, 30 Agustus 570 M sampai Senin, 7 Juni 632 M) kepada Muhammad SAW melalui malaikat dikutip dalam bahasa arab.

Kesalahan awal bagi pembelajar bahasa arab salah satunya adalah stigmatisasi terhadap bahasa arab itu sulit dan rumit dipelajari. Pandangan dan pengesanan seperti ini bukan hanya menjadi hambatan psikologis akut bagi pembelajar, akan tetapi menjadi langkah awal “keliru” yang berimplikasi terhadap tidak tercapainya tujuan proses belajar mengajar.

Sebagai produk budaya (subsistem budaya) ia memiliki sisi bentuk (dimensi) akademik, humanistik dan pragmatik. Bahasa arab berkembang dibawah sistem linguistik yang telah menjadi kesepakatan para penutur arab (Nathiq bil al-‘Arabi), baik subsistem fonologi (shautiyyah), morfologi (shorof), sintaksis (ilm al-nahw) ataupun semantik (balaghah). Oleh sebab itu, studi kajian bahasa arab (produk budaya) yang begitu penting baik bagi akademik maupun nonakademik tidak seharusnya “dihantui” oleh pandangan bahasa arab itu sulit dan rumit.

Fakta sosial ini, membangunkan kesadaran dan mengharuskan para ahli pendidikan bahasa arab untuk melakukan evaluasi dan kajian bahasa arab. Sebab, ini merugikan bagi umat islam dan dunia pendidikan islam khususnya di indonesia. Bagaimana mungkin tujuan pembelajaran dapat tercapai, jika sikap “alergi” sudah terlebih dahulu menghantui mereka para pembelajar ?

Fathi’ Ali Yunus (1936-sekarang) dalam penelitiannya di Mesir 1977 menunjukan bahwa responden (mahasiswa) menyatakan bahwa bahasa arab itu sulit. Kemudian, ditanya lanjut: “mengapa bahasa arab itu sulit ?”, jawabanya: “masyarakat sudah terlanjur memiliki “keyakinan” bahwa bahasa arab itu sulit walaupun dipelajari berpuluh-puluh tahun”.

Baca Juga:  Bahasa Arab Terjebak Skeptisisme Semu Pasca Penaklukan Bagdad

Lebih jauh lagi, penelitian Fathi’ akhirnya menemukan kesimpulan bahwa pandangan negatif terhadap bahasa arab itu muncul sejak akhir abad ke-19, ketika kolonial barat memasuki (baca;menguasai) wilayah Mesir. Bahkan pada abad ke-20 kolonial barat (Inggris dan Perancis) tahun 1881 mengeluarkan kebijakan larangan masyarakat Mesir menggunakan bahasa arab Fusha (formal atau baku) digantikan dengan bahasa arab ‘Amiyyah (nonformal atau pasaran).

Kekalahan Turki juga dialami Mesir, setelah Ali Bey (penguasa Mesir) mengizinkan ekspedisi Inggris melewati laut Merah (1778). Hal itu membuat Perancis yang lebih dulu menanamkan kekuasaan di Mesir merasa terancam. Akan tetapi tidak lama kemudian (tiga tahun), Inggris menguasai penuh wilayah Mesir.

Bahasa arab fusha merupakan bahasa al-Qur’an yang dianggap mengancam kedudukan Inggris. Sehingga Abdul Malik bin Marwan al-Umawy menutup sekolah-sekolah Islam (kajian al-Qur’an) dan larangan menggunakan bahasa fusha (Lughah al-‘Arabiyyah al-Fusha) diganti bahasa ‘Amiyyah (Lughah al-‘Arabiyyah al-‘Amiyyah) yaitu bahasa pasaran atau campuran dari berbagai bahasa negara lain.

Awalnya penggunaan bahasa fusha memudahkan komunikasi rakyat seluruh bangsa arab, akan tetapi adanya bahasa ‘amiyyah menghasilkan perubahan besar karena setiap daerah memiliki bahasa berbeda. Tujuan kebijakan ini adalah pemecahbelahan sikap mental bangsa arab dan tradisi kulturnya. Sehingga dengan menjauhkan mereka dengan bahasa arab fusha, paling tidak mengurangi semangat membaca dan kajian al-Qur’an.

Kebijakan tersebut dipropagandakan untuk membangun prespektif mereka bahwa “bahasa arab itu rumit dan tidak dapat menjadi kajian yang mengekspresikan dunia modern”.

Pencitraan negatif terhadap bahasa arab semakin menguat dan mengakar pada masyarakat luas, ketika bahasa inggris terbukti lebih dominan dan mendunia daripada bahasa arab. Jika umat islam semakin menjauh dari bahasa al-Qur’an, maka dapat dipastikan umat islam akan mudah terpengaruh dan “disekulerisasikan” dengan budaya barat. Oleh karena itu, tugas awal kita adalah merubah stigma negatif terhadap bahasa arab agar tidak “terjebak” pengaruh propaganda inggris.

Baca Juga:  Syekh Yusri al-Hasani dari Mesir: Ulama yang Dokter

Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsudin dan Mahdi Mas’ud terhadap 30 responden (mahasiswa) ilmu politik (humaniora) di International Islamic University menyatakan bahwa kesulitan belajar bahasa arab itu bukan sepenuhnya pengaruh substansi materi bahasa arab itu sendiri, melainkan ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latarbelakang bahasa (87%), kurikulum madrasah (83%), substansi materi (57%), lingkungan kelas (50%).

Bukan hanya itu, ternyata 80% penyebab kesulitan belajar bahasa arab yaitu faktor psikologis, 77% dari mereka memiliki kesan negatif terhadap bahasa arab dan 33% herregistrasi mata kuliah-pun berpengaruh. Jadi, substansi materi bukan sepenuhnya menjadi faktor kesulitan pembelajaran bahasa arab, melainkan faktor psikologis, edukatif dan sosial.

Oleh karena itu, beberapa aspek yang perlu dikaji kembali dalam pembelajaran bahasa arab ialah menghilangkan prespektif negatif terhadap bahasa arab supaya tidak terus terjebak oleh pengaruh propaganda inggris. Kedua, metodologis (linguistik) berkaitan dengan bagaimana substansi itu dikemas, dipilih dan ditransformasikan kepada peserta didik sehingga mudah dipahami dengan efisien. Ketiga, formulasi sistem bahasa arab mengkorelasikan kajian metodologi sesuai realita sosial-budaya, sehingga mudah diasumsi pembelajar dan mendarah daging bagaikan budaya. []

Muslihudin
Mahasiswa IAIN Surakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini