Sebelum memutuskan ‘hijrah’ dan mengikuti kajian yang isinya halal-haram serta meyakini bahwa semua hal yang tidak dilakukan Rasulullah itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka, ada baiknya dipahami setidaknya dua kerangka dasar ini terkait hukum Islam.
Pertama, Al-Qur’an itu bukan kitab hukum dan misi utama dari risalah Nabi bukan penegakan hukum, tetapi penyempurnaaan akhlak.
Ini penting saya utarakan meminjam kalimat favorit Gus Baha’ karena ajaran pertama yang akan diterima kaum ‘muhajirin’ biasanya jargon: kembali kepada Qur’an dan Hadis, tidak ada hukum selain hukum Allah, dan hukum manusia itu thaghut.
Perlu diketahui jumlah ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam) di dalam al-Qur’an, menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitab ‘Ilm Ushul al-Fiqh (1956: 35-6), hanya 500 atau 8 persen dari keseluruhan ayat al-Qur’an sebanyak 6.236. Dari jumlah itu, sekitar 228 ayat atau 3.5 persen berkaitan dengan urusan sosial kemasyarakatan.
Muatan hukum itu pun bersifat mujmal (umum), tidak mufassal (rinci). Ada memang yang dijelaskan cukup terperinci seperti soal waris (mawârits), tetapi sebagian besar bersifat global. Dari jumlah bilangan dan karakteristik ayatnya, al-Qur’an bukan kitab hukum positif dengan maksud tunggal dan kategoris, kecuali yang terkait prinsip-prinsip akidah dan syariat (ushūl al-aqîdah wa ushūl al-syarîah).
Sunnah Nabi menjelaskan hal-hal dari kitab suci yang perlu penjelasan. Namun, misi utama Nabi bukan menegakkan hukum, tetapi mendidik moral dan etika umat. Penegakan hukum hanya salah satu instrumen, tetapi bukan satu-satunya dan yang paling utama dalam proses penyempurnaan akhlak. Karena itu, contoh dan putusan Nabi seringkali tidak tunggal. Dalam satu kasus, Nabi menyontohkan atau memutuskan X. Di kesempatan lain, untuk kasus serupa, Nabi menyontohkan atau memberi putusan Y. Kenapa? Karena fokus Nabi adalah pembelajaran moral dan kesadaran etis, bukan semata penegakan hukum.
Perbedaan contoh dan putusan ini diulas Imam Syafi’i dalam bab al-Tanaqudz fil Adillah (pertentangan dalil). Karena itu, banyak madzhab lahir karena perbedaan metode instinbath (pengambilan dalil hukum). Madzhab-madzhab ini, yang merupakan produk ijtihad, menjadi pilar syariat.
Jadi, kalau ada ucapan tidak ada hukum selain hukum Allah, kita perlu bertanya, hukum Allah menurut penafsiran siapa? Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, atau lainnya?
Adakah argumen untuk mengatakan pernyataan ini? Ada! Ibn Abbas, sepupu Nabi, penulis buku tafsir pertama dalam Islam, menyodorkan dua dalil. Dalil pertama QS. Al-Maidah/5: 95, dalil kedua QS. An-Nisa/4: 35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ
Dua dalil ini, menurut Ibn Abbas, adalah bukti bahwa sebagian hukum Allah didelegasikan kepada manusia, melalui putusan hakim yang adil. Jadi, tidak benar statemen “tidak ada hukum selain hukum Allah dan hukum buatan manusia itu thaghut.” Hukum manusia, yang dijiwai dengan hukum Allah, itu sah. Ijtihad hakim sah. Madzhab-madzhab fikih sah. Kecuali dalam sebagian kecil, hukum Islam tidak tunggal. Sebagian besar lahir dari ijtihad. Ini saya kutip pernyataan Imam Haramain Al-Juwaini, gurunya Imam Ghazali, dalam Kitab Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (2011, Vol. II: 819):
فان معظم الشريعة صدرعن الاجتهاد والنصوص لا تفي بالعشرمن معشار الشريعة
“Sesungguhnya sebagian besar hukum Islam itu lahir dari ijtihad dan nash tidak sampai sepersepuluh dari syariat.”
Ijtihad melahirkan banyak pendapat. Pendapat melahirkan banyak madzhab. Madzhab satu tidak bisa menganulir madzab lain. Ada kaidah berbunyi: “Al-Ijithad la yunqadzu bi al-ijtihad (Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain). Jadi, kalau ustadz kajian bilang: “tidak ada dalilnya itu,” tahan dulu! Jangan-jangan maksudnya “tidak ada dalil yang dipegangi menurut madzhabnya.”
Keragaman madzhab ini, menurut saya, membuat hukum Islam tidak perlu diformalisasi ke dalam hukum positif. Sebab, jika dijadikan hukum positif, ada madzhab yang dijunjung, ada madzhab yang dibuang. Ini mengingkari prinsip rahmat perbedaan (ikhtilâf al-aimmah rahmat al-ummah). Jika pilihannya kompilasi, ada risiko talfiq yang tidak boleh dilanggar. Al-hasil, hukum Islam tidak monolitik, karena itu tidak perlu dipositivisasi.
Kedua, tidak semua dasar perbuatan Muslim adalah perintah, tetapi tidak adanya larangan. Perintah adalah dasar perbuatan Muslim terkait ibadah yang bersifat mahdlah. Ibadah mahdlah adalah ibadah yang perintah dan petunjuk pelaksanaannya bersifat tauqify alias baku.
Di sini berlaku kaidah: “Semua hal dilarang, kecuali yang diperintahkan.” Tata cara salat tidak boleh ngarang sendiri, tetapi harus menyontoh Nabi. Begitu juga puasa, zakat, dan haji. Adapun terkait ibadah muthlaqah, ibadah yang tidak baku, kita boleh improvisasi asal tidak terlarang oleh nash yang sharîh.
Di sini berlaku kaidah: “Semua boleh, kecuali yang dilarang.” Jadi, dalam perkara ibadah muthlaqah, kalau ada orang tanya mana dalilnya, kita bisa balik tanya, mana dalil larangannya? Kalau orang bilang: “Musik haram, tahlilan bid’ah, masuk gereja kafir,” kita santai saja. Selagi tidak ada dalil sharîh, yang tidak diperselisihkan kesahihan dan maknanya, anggap saja itu omongan orang naif dan kurang piknik.
[…] berbeda mazhab, namun keduanya sepakat bahwa negara Islam (Muslim) harus sepenuhnya terikat kepada hukum Islam dan dalam negara yang demikian, maka supremasi syariah sebagai sumber dari segala sumber hukum […]