Ulama Falak (Biografi K.H. Moh. Murtadlo Amin)

Tidak banyak yang tahu, masa kecil K.H. Moh. Murtadlo Amin ternyata penuh dengan warna. Mulai dari kepolosannya, kegemarannya bermain layang-layang, hingga tragedi yang hampir merenggut nyawanya.

Bukan hanya itu, tanda-tanda bahwa beliau kelak akan menjadi orang yang diperhitungkan, rupanya telah ada sejak masa kandungan. Bahkan, sebelum janinnya ada. Beliau juga hampir tidak pernah bercerita tentang kemuliaan nasab dan kejadian-kejadian di luar nalar pada masa kecil. Sehingga kita, para santri, cukup ngelus dada manakala tahu begitu istimewanya beliau, namun saat jasadnya telah tiada. “Kok nggak biyen-biyen ngerti,” ‘(Kok tidak dulu-dulu mengerti),’ kira-kira itulah ungkapan yang dapat mewakili.

Kita juga perlu belajar bagaimana masa muda beliau dihabiskan. Mulai dari remaja hingga lulus kuliah. Tidak terhitung rentetan prestasi yang menyertai. Bisa dibilang, beliau adalah paket komplit dari sosok kiai. Sampai ada yang mengatakan, “Kiai Murtadlo itu manusia tanpa cacat. Dari muda kalau mengenang beliau itu yang diingat hanya tentang kebaikan.” Perjuangan menuntut ilmu dan mengamalkannya juga luar biasa. Kata-kata motivasi yang sering kita dengar, “Seorang santri harus berjuang sekuat tenaga demi mendapat rida dan menaati segala perintah kiai. Jangan sampai sedikitpun menyakiti hati dan mengecewakan guru (kiai).” Ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Betul-betul beliau praktikkan, hingga setelah purna (secara dhohir) menjadi santri, beliau tetap dikenang oleh guru-gurunya.

Perjalanan memperjuangkan cinta tak kalah istimewa. Jatuh berkali-kali rupanya tidak hanya milik santri, kiai pun mengalaminya. Tentu cinta yang dimaksud bukan urusan nafsu atau birahi. Lebih dari itu, beliau menyadari bahwa setelah perilhal ilmu cukup, tidak ada perhiasan terindah kecuali istri salihah. Upaya memelihara keharmonisan dalam mengarungi bahtera rumah tangga sayang untuk dilewatkan. Penuturan-penuturan istri tercinta patut diabadikan agar dapat menjadi teladan bagi kita semua. Begitu pula cara beliau mendidik, melalui rekam memori putra-putrinya kita dapat belajar bagaimana menjadi sosok ayah yang baik.

Baca Juga:  Menjadi Indonesia

Tentang perjuangannya, sahabat-sahabat dekat almarhum juga tidak mau ketinggalan. Saat dihubungi, mereka begitu antusias mencerita-kan sosoknya, kenangan-kenangan bersamanya, dan teladan-teladan yang diajarkannya. Menceritakan beliau merupakan kebahagiaan tersendiri. Mempunyai kenangan dengan beliau seperti anugerah yang layak untuk disyukuri. Ada sebuah kebanggaan di dalamnya. Masing-masing punya kenangan yang khas nan membekas.

Buku Ulama Falak (Biografi K.H. Moh. Murtadlo Amin) ini disusun oleh 18 santri Pondok Pesantren Sabilurrosyad dengan melibatkan 70 narasumber dari berbagai daerah. Namun, konsentrasi penelitiannya ada di empat tempat, yakni Lamongan, Gading, Gasek, dan Unisma. Kata demi kata disusun dengan sangat hati-hati dalam kurun waktu 7 bulan 29 hari untuk meminimalisir kesalahan penulisan. Naskah juga telah ditashih berulang kali sebelum benar-benar dirilis, baik dari keluarga Lamongan, Unisma, dan lainnya, khususnya keluarga ndalem dalam hal ini, Bu Nyai Hj. Hidayatul Hikmah.

Tak ketinggalan, saat-saat terakhir sebelum beliau dikebumikan juga telah kami rekam. Melalui para narasumber kunci yang langsung bersentuhan dengan almarhum, cerita-cerita itu kami bagikan agar dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa, “Setiap orang akan memperoleh apa yang ia niati.”  Kagem beliau, K.H. Moh. Murtadlo Amin, alfatihah. []

Akhmad Khukmi Ilmana
Tim Abdi Literasi PP Sabilurrosyad, Gasek

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama