Tradisi Pembacaan Manaqib: Upaya Meneladani Para Pendahulu

Banyak sekali tradisi yang berkembang di masyarakat Islam untuk mengenal dan meneladani kisah hidup seorang ulama, salah satu tradisi itu adalah pembacaan manaqib.  Membaca manaqib menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari umat Islam, terlebih umat Islam Indonesia, terutama warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU). Membaca  manaqib dalam arti mempelajari atau mengetahui segala sesuatu yang berkaitan  dengan riwayat hidup orang-orang besar, tokoh-tokoh sejarah seperti pembesar-pembesar sahabat Nabi Muhammad Saw., ulama-ulama, tabi’in, tabiut tabi’in, ulama-ulama madzhab dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk dipetik dan dijadikan  pelajaran segala sesuatu yang baik, adalah sangat besar sekali faedah dan manfaatnya dan termasuk perkara yang dianjurkan oleh agama, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an:

لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ

Artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf [12]: 111).

وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

Artinya: “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulahkembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Luqman [31]: 15)

Tradisi membaca manaqib biasanya dilakukan oleh masyarakat yang berfaham Ahlu Sunnah wal Jamaah, khususnya kaum Nahdhiyyin (NU) dan biasanya dibaca ketika ada hajatan khusus, seperti majlis tahlil, lamaran, akad nikah, walimat al-arusy, walimat al-hamli (7 bulan masa kehamilan), walimat al-tasmiyyah (pemberian nama dan potong rambut), haul (peringatan meninggalnya seseorang), dan juga termasuk miladiyyah (ulang tahun kelahiran) seseorang atau bahkan sebuah institusi (pondok pesantren) menjadikan manaqib sebagai rutinitas. Sebagian dari umat Islam meyakini bahwa membaca manaqib akan mendapatkan berkah.

Pengertian Manaqib

Kata manaqib adalah bentuk jamak dari kata manqabah, yang berarti cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang. Membaca manaqib artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang yang sholih. Oleh sebab itu, kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang yang baik dan mulia semisal: manaqib Sayyidina Umar bin Khattab, manaqib Sayyidina Ali bin Abi Thalib, manaqib Imam Syafi’i, manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang yang berkata manaqib Fir’aun, manaqib DN Aidit, dan lain sebagainya. Karena pada hakikatnya orang-orang mulia: para Nabi, orang-orang sholih, Syuhada, auliya, dan ulama mereka tetap hidup disisi Allah Swt. walaupun secara dzahir mereka telah wafat, sebagaimana penjelasan Allah Swt. dalam firman-Nya:

Baca Juga:  Wacana Calon Tunggal Fatayat NU Jepara, PCNU Tiadakan Calon Alternatif?

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ

Artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 169)

Secara umum membaca manaqib dijadikan sebagai sebuah upaya untuk mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah Swt. dengan cara memahami kebaikan-kebaikan para kekasih Allah Swt. yaitu para Aulia. Sebab para wali dicintai oleh Allah Swt. dan para wali sangat cinta kepada Allah Swt.. Jadi, manaqib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat hagiografis (menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan untuk dijadikan teladan bagi pembacanya disamping juga tujuan mengharap berkah (tabarruk) dan juga dijadikan perantara pembaca untuk dekat dengan Allah Swt. melalui para kekasih-Nya (tawasul), firman Allah Swt. :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al Maidah [5]: 35)

Tradisi Manaqiban: Pembacaan kitab manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilani

Di beberapa daerah di Indonesia, pembacaan kitab Manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilani biasa disebut dengan Manaqiban”. Umumnya pembacaan manaqib seorang ulama dilaksanakan setiap tanggal 11 dari bulan bulan hijriyah, ada juga yang melaksanakan setiap 35 hari sekali –dalam istilah jawa disebut dengan selapanan-, dalam  pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang terdapat dalam kitab manaqib. Sementara  yang lainnya dengan khusu’ mendengarkan. Bagi yang mengerti bacaannya dapat menyelami lebih dalam maksud dan pelajaran-pelajaran dari isi kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidupan, kebiasaan, nasehat dan kelebihan-kelebihan dari Wali Allah Swt..

Baca Juga:  Ashabus Shuffah Sebagai Inspirator Tradisi Santri dan Dilematik Sistem Pendidikan ala Pesantren

Biasanya para jamaah membawa botol yang berisi air dan meletakan botolnya didekat imam atau pemimipin acara tersebut dengan tujuan mendapat berkah dari doa-doa yang dibaca dan sewaktu air itu diminum dapat menjadi air yang berkah dan menyehatkan bagi tubuh. Sebelum pembacaan kitab manaqib dimulai, biasanya imam akan memberikan sedikit pengantar tentang Syekh Abdul Qodir al-Jilani terlebih dahulu, setelah dirasa cukup baru kemudian pembacaan manaqib dimulai. Diawali dengan bacaan surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Rasulullah, para sahabat, para wali Allah Swt., orang-orang sholih, dan orang-orang yang hadir pada majelis tersebut pada khususnya dan seluruh orang Islam pada umumnya, kemudian imam membacakan doa dan qasidah, yang kemudian diikuti para hadirin, baru setelah itu dibacakan manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jilani secara bergantian, sebagian demi sebagian sampai selesai. Setiap nama Syekh Abdul Qodir al-Jilani disebut, maka para hadirin membaca al-Fatihah. Setelah itu dibacakan doa-doa Istighotsah, yang isinya bertawasul kepada orang-orang shalih agar Allah Swt. mengabulkan hajat yang hadir berkat kemulian orang shalih tersebut.

Penyelenggaraan manaqiban yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat pada umumnya didasari adanya maksud dan tujuan tertentu yang beragam, diantaranya adalah:

  1. Untuk bertawasul dengan Syekh Abdul Qodir al-Jilani, dengan harapan agar permohonannya dikabulkan oleh Allah Swt. dan dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah Swt..
  2. Mengharap rahmat dari Allah Swt., keberkahan, serta pengampunan dosa.
  3. Ingin tercapai atau terwujudnya insan hamba Allah yang beriman, bertakwa, beramal sholeh, dan berakhlak yang baik.
  4. Untuk melaksanakan nazar karena Allah Swt. semata, bukan karena maksiat.
  5. Untuk memperoleh berkah dari Syekh Abdul Qodir al-Jilani
  6. Untuk mencintai, menghormati, dan memuliakan para ulama, Auliya’, Syuhada’, dan lain-lain.
  7. Memuliakan dan mencintai dzuriyyah Rasulullah Saw. Ahlul bait atau keluarga dan dzuriyyah Rasulullah sangat dimuliakan oleh Allah dengan menghilangkan dosa-dosa mereka sehingga tetap terpelihara kesuciannya. Dengan demikian, memuliakan, menghormati, dan mencintai Syekh Abdul Qodir al-Jilani adalah termasuk memuliakan dan mencintai keluarga Nabi.
Baca Juga:  Katib Aam PBNU: Halaqah Fiqh Peradaban, Strategi Menguatkan Jamaah dan Jam'iyyah

Salah satu acara ritual yang menjadi tradisi sebagian masyarakat adalah manaqiban. Selain memiliki aspek seremonial, manaqiban juga memiliki aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata ‘manaqib’ (bahasa Arab), yang berarti biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa Indonesia) menjadi manaqiban yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi) Syekh Abdul Qodir al-Jilani, seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia.

Kalau dilihat secara ilmiah kitab manaqib itu memang tidak istimewa. Tetapi tampaknya dalam kehidupan para penganut tarekat, manaqiban merupakan kegiatan ritual yang tidak kalah sakralnya dengan ritual-ritual lain. Bahkan manaqiban ini dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat dan santri pedesaan di Pulau Jawa dan Madura. Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi silsilah nasab Syekh Abdul Qodir al-Jilani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya, di samping itu tercantum juga doa-doa bersajak (nadham) yang bermuatan pujian dan tawassul  (berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala  melalui perantaraan ) Syekh Abdul Qodir.

Harapan para pengamal manaqib untuk mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jilani adalah quthb al-’auliya (wali quthub) yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang. []

Ahmad Irvan Fauzhi
Alumnus PP. Roudlotul Huda Kedungpanji Lembeyan Magetan, saat ini menempuh S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Ponorogo. Dan menghabiskan waktu untuk membaca, traveling dan menikmati kopi.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini