Tawakal Mediasi Diri Menuju Penghambaan yang Hakiki

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini, dikarenakan Allah SWT meletakkan akal pada diri mereka. Dalam ilmu mantiq, manusia diistilahkan dengan hayawan annatiq (hewan yang bisa bicara dan punya akal) sedangkan selain manusia diistilahkan dengan hayawan ghairu annatiq (hewan yang tidak bisa bicara dan tidak punya akal). Seorang filosof Yunani, Aristoteles juga mengakui bahwa yang mengistimewakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah akal dan pikirannya sehingga dia menyebut manusia sebagai thinking animal (hewan yang berpikir).

Akal berfungsi sebagai pengendali kehidupan manusia, apabila akal difungsikan secara maksimal dan baik maka akan menuju langkah yang lebih positif, menjadikan orang bisa mendekatkan diri kepada Allah, pasrah diri (tawakal) setelah berusaha kepada Allah dan mengerti bahwa segala sesuatu yang telah terjadi baik yang bagus atau yang jelek adalah dari Allah.

Dalam buku Logika Agama, Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan, melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-‘aql al-wazi’, yakni akal pendorong. Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al-’aql al-mudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan).

Adapun ikhtiar dan tawakal merupakan dua prinsip yang harus dilaksanakan dalam diri manusia. Arti ikhtiar adalah berupaya dan berbuat, tidak diam, juga tidak fatalistis. Keyakinannya cukup kuat dan stabil. Sebesar dan semaksimal ikhtiar, sebesar itulah hasil. Tawakal adalah suatu sikap mental seorang hamba yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segalanya. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya selalu tenang dan tentram serta tidak ada rasa curiga sedikitpun, karena Allah maha tahu dan bijaksana.

Baca Juga:  Biografi dan Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf 

Dalam masalah tawakal, tidak semua orang bisa bertawakal dengan model yang sama, mengingat karakter manusia yang berbeda-beda, ada yang dalam tahap pemula dan ada pula yang sudah sampai dalam tingkatan tawakal yang sebenarnya. Sehingga Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin nya membagi derajat tawakal itu menjadi tiga bagian.

Pertama, keadaan seorang hamba hanya tergantung kepada Allah dan percaya bahwa Allah selalu menanggung dan menolongnya seperti halnya dia percaya betul pada wakil. Kedua, keadaan seorang hamba diibaratkan seorang bayi dengan ibunya, dia hanya tergantung pada ibunya terutama dalam hal menyusui, dia tidak kenal kecuali pada ibunya dan tidak mau berpegangan kecuali kepadanya. Ketiga, keadaan seorang hamba dalam diam dan bergeraknya diibaratkan seperti mayat yang berada di depan orang yang memandikan, dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bisa pasrah. Tingkatan yang ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam derajat tawakal.

Beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh kita untuk menjadikan sifat tawakal sebagai mediasi diri menuju penghambaan yang hakiki. Pertama, keimanan seseorang tidak dapat terpisahkan dari yang namanya tawakal dengan hati yang ikhlas, tulus tanpa dorongan atau paksaan dari pihak manapun.

Kedua, seseorang belum pantas disebut orang yang beriman sedangkan segala tindakannya dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat tidak didasari oleh sifat tawakal. Tawakal membutuhkan hati yang sabar, berbesar hati dengan apa yang telah terjadi atas dirinya dan senantiasa berusaha untuk bangkit kembali dari kegagalan ataupun keterpurukan agar memperoleh apa yang diridai Allah SWT.

Ketiga, banyak orang yang melakukan tawakal tetapi tidak ingin berusaha untuk melakukan ikhtiar. Orang-orang tersebut hanya yakin jika bertawakal karena Allah tanpa usaha apapun, Allah akan memenuhi segala yang mereka inginkan, padahal Allah telah menegaskan dalam Alquran bahwa sesuatu yang dilakukan tanpa kerja keras sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasibnya.

Baca Juga:  Apakah Semua Muslim Kontra Dengan Ajaran Tasawuf?

Keempat, masih banyak orang bertawakal dan melakukan ikhtiar tetapi tidak diimbangi dengan adanya doa. Mereka bekerja keras untuk bisa sukses dan bertawakal setelahnya tetapi tidak ada satu doapun yang dia panjatkan kepada Allah. Ini sama saja tidak baik karena tidak adanya keseimbangan antara tindakan manusia dengan bertawakal.

Kelima, bertawakal kepada selain Allah adalah tindakan yang berdosa dan dilaknat oleh-Nya. Pada zaman sekarang ini masih ada yang menyerahkan dirinya pada hal-hal yang berbau gaib, seperti percaya dan berdoa pada pohon besar yang berusia ribuan tahun, percaya dan berdoa pada benda-benda warisan yang berusia jutaan tahun dan lain-lainnya. Sesungguhnya semua yang mereka percayai itu tunduk pada Allah dan tidak perlu disembah atau dimintai pertolongan. Jika kita memohon pertolongan atas dasar jujur, sabar dan dengan tawakal yang tulus tanpa dorongan dari pihak manapun, maka segalanya akan terwujud dengan sendirinya.

Mengajak banyak orang untuk memiliki sifat tawakal adalah perbuatan yang disukai Allah SWT, dimana sifat tawakal itu adalah bagian dari sifat orang-orang yang beriman. Pelajaran dan pengalaman tentang sifat tawakal dapat diberikan pada anak-anak usia dini sehingga pada saat mereka beranjak dewasa, mereka sudah memahami dengan benar bahkan telah memiliki sifat tawakal tersebut yang nantinya dapat dibawa bersama cita-citanya dimasa depan.

Seandainya kita benar-benar dapat bertawakal kepada Allah dengan mengamalkan hakikat tawakal yang sesungguhnya, maka insya Allah kita akan mendapatkan rezeki yang secukupnya. Lain dari itu, tawakal juga merupakan salah satu sarana terkuat diantara sarana-sarana yang bisa mendatangkan kebaikan serta menghindari kerusakan. Disebutkan dalam Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur’an dan Hadits jilid 3, Ibnul Qayyim berkata: Tawakal adalah sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya. [HW]

M Rofii
Santri Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Mahasiswa STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah