Apakah Semua Muslim Kontra Dengan Tasawuf?

Seorang Da’i muda yang dulu pernah merasakan jeruji penjara yang bernama Drs. H. Abdul Qadir Djaelani akibat dari menentang asas Pancasila pada masa kepemimpinan Soeharto. Ia menulis sebuah buku tentang pendapat dan kritikannya yang begitu tajam terhadap tasawuf yang berjudul Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Ia menentang para Ulama tasawuf karena dianggap melenceng dari ajaran Islam seperti halnya Al-Hallaj yang dibunuh oleh ulama dan Ibn Arabi yang turut dikafirkan.

Dalam isi bukunya, Abdul Qadir Djaelani ini mengkritik dengan tidak baik yang dianggapnya metode yang ada dalam tasawuf itu sesat, diantaranya: bai’at, zuhud, washilah rabithah, uzlah dan juga khalwat. Tidak hanya itu, ia juga menghujat tentang praktik ekstase (junun) yang dilakukan oleh sufi. Dengan tegas Abdul Qadir dalam mengawali isi bukunya dengan perkataan dan ungkapan yang menyentak, karena ia berpendapat teori yang ada dalam tasawuf itu sifatnya panteistis, semisal: teori wihdatus syuhud, wihdatil wujud, al-ittishal, al-ittihad, al-hullul dan juga al-liqa’.

Menurutnya ajaran ini ujung-ujungnya terpengaruh dari ajaran Buddha, Hindu dan juga berpengaruh pada Yunani Kuno yang kemudian diserap dalam ajaran tasawuf Islam melalui penerjemah-penerjemah. Demikian mayoritas dilakukan oleh orang Kristen zaman kekhalifahan abad ke-dua Hijriah. Begitu keras dan tidak sukanya Abdul Qadir Djaelani ini terhadap tasawuf hingga dalam bukunya ia sampai menghujat tasawuf.

Sedangkan ada juga komentar Ulama dan ilmuwan yang mengatakan tasawuf itu berasal dari luar Islam. Dari sisi pertentangan di atas, namun ada pula pendapat para Ulama dan cendikiawan muslim yang justru setuju dengan adanya konsep tasawuf. Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah berpendapat bahwa, “ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran tasawuf (sufi) yang pertama dan terakhir, serta pendapat yang juga dikutip oleh mereka dalam kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan al-Qur’an dan al-Sunnah”.

Baca Juga:  Tasawuf Millenial: Mewujudkan Ekonomi Islam Berperadaban

Begitu juga tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan sahabat-sahabat beliau yang mana mereka itu sebaik-baiknnya pilihan Allah dari kalangan mahluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan agama Hindu, Buddha, Yahudi, Nasrani, dan kezuhudan agama Buddha.

Dari berbagai pendapat para ulama dan ilmwuan, maka Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan, “jelaslah bahwa sufi adalah ajaran dari luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing dan juga aneh dalam agama Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘azza wa jalla. Yang dimaksud kalangan sufi tadi yaitu sufi yang sudah banyak berisi tentang kebohongan. Sedangkan sufi terdahulu masih tetap dalam keadaan netral, seperti al-Junaid.

Sedangkan Syaikh Nawawi Al-Bantani seorang penyair dari Bahrul Basiith berkata: “Tasawuf adalah bila engkau jernih tanpa kekeruhan, dan mengikuti kebenaran al-Qur’an serta agama, dan bila engkau terlihat khusyuk kepada Allah SWT, dan susah atas dosa-dosamu sepanjang masa dan bersedih.”

Dari ungkapan di atas sejalan dengan pendapat para Ulama terkait definisi tasawuf. Seperti dalam kalimat “bila engkau jernih tanpa kekeruhan”. Sejalan dengan pendapat dari Al-Jurairi. Ia mendefinisikan tasawuf masuk ke dalam segala aspek budi pekerti atau akhlak mulia serta keluar dari budi pekerti yang rendah. Pada kalimat “bila engkau terlihat kepada Allah dan susah”, sependapat dengan Ahmad Zaruq bahwa tasawuf itu ilmu yang bertujuan untuk memfokuskan hanya untuk Allah semata dan membersihkan hati.

Juga pada kalimat “mengikuti kebenaran al-Qur’an serta agama” menunjukkan tasawuf dari Syaikh Nawawi al-Bantani menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pondasi dasar dari ajaran tasawuf. Tasawuf yang macam ini juga dicontohkan oleh al-Ghazali. Dari al-Ghazali sendiri memilih tasawuf Sunni yang berlandaskan pada al-Qur’an, Sunnah dan juga doktrin dari ahlussunnah wal jamaah.

Tasawuf menurut Abu al-Qasim al-Qusyairi adalah penerapan secara konsekuen terhadap ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw, berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi perbuatan bid’ah serta tidak meringan-ringankan ibadah. Sementara itu, al-Ghazali mengatakan bahwasanya tasawuf itu adalah makanan yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan dan perintah rasul yang tercantum di dalam sunnahnya.

Baca Juga:  Para Ulama dan Pilihan Pekerjaaannya

Lalu kata al-Ghazali selanjutnya bahwa siapa yang tidak bisa memahami isi dari al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw tidaklah perlu diikuti ajarannya, karena ajaran tasawuf adalah berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan pendapat dari Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi mengatakan baahwasanya tasawuf itu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk dalam budi pekerti yang terpuji.

Dari berbagai pendapat para Ulama diatas yaitu bisa disimpulkan bahwa tasawuf itu tidak betentangan dengan al-Qur’an dan Hadis. Tasawuf mengajarkan kebaikan yang juga dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Dari definisi tasawuf sendiri sudah jelas bahwa tasawuf itu menyucikan diri dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara beribadah.

Jadi tasawuf juga termasuk ke dalam ajaran Islam yang baik. Dengan bertasawuf kita bisa menikmati indahnya beribadah dan juga mendekatkan diri kepada Allah SWT dan juga terhindar dari sifat kikir, dengki, iri dan sifatnya keduniawian yang berlebihan. Dengan mengamalkan ajaran tasawuf yang bersumber dari al-Qur’an dan juga Hadis, kita bisa tahu apa tugas hidup kita di dunia, yaitu hanya untuk beribadah semata karena Allah dan akan kembali kepada-Nya.[BA]

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini