Sejarah Money Politic dalam Islam: Dari Menyuap Hakim Hingga Menyuap Rakyatnya

Kisah sejarah suap dari masa ke masa ini kita mulai dari masa Rasulullah. Dahulu, ada seorang laki-laki bernama Ibnu Latibah. Ia terlahir dari suku Azad. Suatu ketika, ia diangkat menjadi petugas amil zakat. Lantas, ia membagi zakat kepada para fakir miskin dengan culas. Ia mengatakan “Ini hadiah untuk kalian, dan ini hadiah diberikan khusus untukku”. Ia menyuap para fakir miskin dengan memberikan sedikit lebihan harta dan ia mengkorupsi sebagian harta zakat.

Kemudian, Rasulullah marah dan mengatakan “Bagaimana mungkin ia mengatakan demikian, seandainya ia menetap di rumah orang tuanya apakah ia akan diberikan harta itu? Tidaklah kalian mengambil bagian dari harta zakat (dengan curang) kecuali akan di datangkan membawa harta tersebut di hari kiamat di leher-leher kalian”(HR.Bukhari).

Dalam kisah ini Rasulullah marah dengan praktek suap yang dikerjakan Ibnu Latibah, meskipun Ibnu Latibah memberikan suap kepada fakir miskin dengan alasan hadiah. Tetap saja, hal ini adalah praktek suap agar ia dengan mudah mengkorupsi harta zakat.

Praktek suap pada masa dinasti Umayyah

Pada masa ini, terkenal seorang gubernur Mesir bernama Yahya bin Maimun al-Hadrami di masa kepemimpinan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ia terkenal dengan praktek culasnya, ia selalu meminta suap dalam setiap kebijakannya sebagai gubernur Mesir. Siapapun yang ingin dimenangkan perkaranya dimudahkan urusan dagangnya di Mesir, harus membayar sekian dinar melalui ajudannya. Akan tetapi, hal ini tidak berjalan lama setelah khalifah Hisyam bin Abdul Malik mengetahuinya maka sang khalifah pun memecat Yahya bin Maimun secara tidak hormat (lihat kitab al-Wullat wa Kitab al-Qudhat karya Abu Amr Muhammad al-Kindi [Dar Fikr Beirut 2003] hal.340).

Praktek suap pada masa dinasti Abbasiyah

Pada masa ini, setiap kandidat pejabat yang ingin mendapatkan pangkat tinggi harus menyuap orang-orang dekat khalifah dimasanya. Mereka tidak segan-segan menyuap para pelayan kerajaan, selir-selir istana, juga para panglima perang untuk mempengaruhi sang khalifah demi jabatan tertentu. Dikisahkan bahwa Yaqub bin Dawud menyuap ar-Rabi, seorang pelayan khalifah al-Manshur dengan harta senilai seratus ribu dinar untuk mensukseskan ambisinya menjadi pejabat kementerian. Hal ini menjadi pemicu korupsi besar-besaran oleh banyak pejabat kementerian karena mereka butuh modal sangat besar untuk menyuap orang-orang penting disekitar sang khalifah.(lihat kitab al-Badl wal Barthalah karya Dr. Ahmmad Abdurrazaq [Haiah al-Mishriyyah lil Kitab Kairo 2003] hal.13)

Praktek suap pada masa dinasti Mamluk

Pada masa ini, praktek suap sudah menjadi budaya untuk memperoleh jabatan tinggi. Bahkan, sultan Muhammad bin Qalawun sudah mematok harga untuk jabatan-jabatan tertentu dalam kepemerintahannya. Ibnu Katsir mencatat ada seorang pejabat bernama Badruddin bin al-Haddad yang membawakan kuda paling mahal dimasanya untuk sultan Muhammad bin Qalawun demi jabatan pengawas pajak. Jabatan ini sebelumnya dimiliki oleh Sulaiman al-Bashrawi (lihat kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir al-Qarasyi [Dar Hijr Kairo 1997] juz.18 hal.137)

Baca Juga:  Tentang Islam: Golongan Eksklusif, Jihad, dan Seruan Toleransi
Dalam hal ini, apakah yang money politic disetarakan dengan suap?

Kasus suap dari masa ke masa dalam berbagai dinasti islam adalah catatan buruk. Penerapan nilai-nilai agama dalam berpolitik tidak dijalankan dengan semestinya. Walhasil, praktek suap menjadi budaya dengan alasan hadiah bagi para penguasa ataupun hakim untuk melancarkan ambisinya. Adapun di tanah air kita sekarang, jabatan pemimpin negara tidak lagi ditunjuk oleh sultan sebelumnya ataupun para hakim. Akan tetapi, dipilih dan dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, rakyat disini bertindak sebagai otoritas tertinggi untuk menunjuk seorang warga negara sebagai presiden.

Hal ini berarti suap kepada rakyat sama halnya dengan menyuap seorang raja ataupun hakim untuk meraih jabatan kepemimpinan seperti jabatan presiden, gubernur, bupati, wali kota, ataupun kepala desa. Suap ataupun risywah (istilah suap dalam ilmu fikih) secara definisi adalah

الرشوة هي ما يبذل للغير ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق

Suap adalah pemberian kepada orang lain agar memberikan hukum yang tidak benar ataupun mencegah hukum yang benar”.(lihat kitab Mughni al-Muhtaj karya Khathib asy-Syirbini [Dar Kutub al-Ilmiyah Beirut 2003] juz.6 hal.288)

Adapun pada prakteknya, money politic adalah suap sebagaimana definisi diatas. Hal ini dikarenakan pemberian suap ini bertujuan agar rakyat tidak memilih pemimpinnya secara obyektif sesuai kinerja dan kredibilitas calon pemimpin. Padahal, harusnya pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang berintegritas dan berkompeten.

Praktek ini sama bentuknya dengan seorang sultan yang memilih seseorang menjadi menterinya karena disuap dengan hadiah tertentu bukan karena kapasitas dan kapabilitasnya. Dan pada akhirnya, menteri yang ditunjuk ini melakukan praktik korupsi untuk mengganti kerugiannya dalam praktek suap.

Apakah money politic sama dengan hadiah?

Hal ini tidak dapat disamakan. Hadiah dalam istilah fikih secara definisi adalah

هبة هي التمليك بلا عوض

Hibah adalah pemberian kepemilikan tanpa (meminta) ganti”.(lihat kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Yahya bin Syaraf an-Nawawi [Dar Kutub al-Ilmiyah Beirut 2003] juz.3 hal.558)

Tentu money politic tidak dapat dikategorikan sebagai hadiah karena money politic memiliki tujuan meminta imbalan tertentu. Sedangkan, hibah tidak boleh terbatasi oleh motif meminta imbalan tertentu seperti agar terpilih ataupun ditunjuk dalam jabatan tertentu.

Baca Juga:  Makna dan Asal Penamaan Dzulqa'dah, Bulan Mulia dalam Islam

Seandainya praktek money politic ini dipaksakan sebagai hadiah karena tidak mengikat dan memaksa rakyat untuk memilihnya tentu tidak lah cocok dari beberapa sudut pandang, yaitu:
1. Praktek money politic dapat menjadi patokan rakyat untuk memilih pemimpin. Ada banyak kasus dimana, rakyat memilih calon pemimpin yang memberikan money politic paling besar nilainya.
2. Budaya money politic tidak mencerminkan kejujuran dalam berdemokrasi. Pada dasarnya, sistem demokrasi adalah memilih calon pemimpin berdasarkan suara mayoritas karena kapasitasnya yang diakui oleh suara mayoritas rakyat. Dan money politic menciderai hal ini karena suara terbanyak hanya milik calon pemimpin yang memiliki dana paling besar.

Apakah semua hadiah dengan motif tertentu adalah suap?

Tentu dalam masalah ini ada beberapa perbedaan. Menurut al-Ghazali, hadiah dengan motif tertentu disebut memiliki beberapa hukum, yaitu:
1. Hadiah dengan motif ingin mendapatkan pahala di akhirat. Maka ini disebut dengan sedekah dan qarabah (upaya mendekat kepada Allah). Dan hal ini dilegalkan oleh syariat.
2. Hadiah dengan motif timbal balik materi di masa yang akan datang seperti serang fakir miskin yang memberikan hadiah kepada orang kaya agar orang kaya tersebut memberikannya hadiah yang lebih besar. Maka ini disebut dengan akad hibbah bi syarthi tsawab. Dan hal ini dilegalkan oleh syariat meskipun tidak tercatat pahala karena tidak ada niatan ikhlas karena Allah.
3. Hadiah dengan motif timbal balik jasa yang haram seperti memberikan hadiah agar berlaku dzalim ataupun jasa yang wajib ain seperti memberikan hadiah agar hakim berlaku adil. Maka, hal ini disebut sebagai suap (risywah) dan haram untuk mendapatkannya.
4. Hadiah dengan motif timbal balik jasa yang diperbolehkan syariat seperti memberikan hadiah agar orang lain mengantarkan suratnya pada tetangganya. Maka hal ini bisa dimasukan dalam akad ju’alah (sayembara) ataupun ijarah (upah) dan dilegalkan oleh syariat.(lihat kitab Ihya Ulumiddin karya Abu Hamid al-Ghazali [Dar Ma’rifah Beirut 2003] juz.2 hal.155)

Walhasil, suap yang diharamkan adalah hadiah dengan tujuan agar rakyat berlaku dzalim dengan tidak memilih pemimpin sesuai dengan kapasitasnya tetapi memilih sesuai dengan nilai suap yang diberikan.

Adapun seandainya ada seorang calon pemimpin yang memiliki kapasitas menjadi pemimpin yang adil. Di sisi lain, ia tahu bahwa kompetitornya adalah orang yang dzalim dan ia menggunakan money politic agar terpilih. Disini, ia berfikir bahwa money politic oleh kompetitornya yang dzalim hanya bisa dilawan dengan money politic juga.

Apakah hal ini diperbolehkan, menyuap demi tujuan menegakkan keadilan?
Dalam hal ini, kita harus mengetahui bahwa hukum asal dari suap adalah haram apapun bentuknya. Adapun ketika suap adalah satu-satunya solusi untuk menegakkan keadilan maka akan masuk ke dalam kaedah

Baca Juga:  Imam Al Ghazali dan Nasihatnya

الضرورة تبيح المحظورة والضرورة تقدر بقدرها

Kondisi darurat dapat melegalkan perkara yang diharamkan, dan (penetapan) kondisi darurat ini harus sesuai dengan kadarnya”.

Dari kaedah ini, dapat diambil kesimpulan bahwa praktek suap menjadi legal ketika ada kondisi darurat yang mengharuskannya. Dan ini tidak boleh digunakan serampangan. Seandainya, ada cara lain menegakkan keadilan maka suap tetap diharamkan. Adapun bagi penerima suap, maka hukumnya haram dalam kondisi apapun karena tidak ada alasan darurat yang mengharuskannya mendapatkan suap.

Dalam hal ini, as-Subuki berkomentar “Suap yang haram adalah pemberian dengan tujuan menolak kebenaran ataupun melegalkan kebatilan. Adapun, suap dengan tujuan mewujudkan hukum yang benar maka huruk haram diberikan kepada orang yang mendapatkan suap. Adapun orang yang dapat meraih keadilan hanya dengan praktek memberikan suap, maka diperbolehkan melakukannya. Seandainya, ia masih bisa meraih keadilan dengan praktek selain suap maka diharamkan melakukan praktek suap”.(lihat kitab Fatawa as-Subuki karya al-Imam Tajuddin as-Subuki [Dar Fikr Beirut 2003] juz.1 hal.254)

Walhasil, Praktek suap menyuap menjadi kekhawatiran bagi berjalannya demokrasi di tanah air. Adapun, solusi untuk menghilangkan money politic adalah
1. Edukasi kepada masyarakat terkait seluk-beluk setiap calon pemimpin dalam bidang integritas, kapasitas, dan kompetensi serta rekam jejak mereka agar rakyat memilih sesuai dengan penilaian yang obyektif.
2. Edukasi kepada para calon pemimpin bahwa money politic adalah praktek pemenangan yang merugikan. Hal ini dikarenakan mereka berpotensi korupsi di masa jabatannya untuk mengembalikan modal money politic yang telah dikeluarkan.
3. Mengawasi jalannya demokrasi oleh pihak berwajib secara ketat agar tidak terjadi money politic khususnya menjelang waktu pemilihan pemimpin.

Adapun bagi para pemimpin yang terpilih hendaknya tidak menerima hadiah dari oknum tertentu karena dikhawatirkan hal ini sebagai tindakan gratifikasi ataupun suap. Hal ini sebagaimana keteladanan khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Suatu ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz menolak hadiah buah-buahan yang diberikan seorang pejabat kaya raya. Lantas, pejabat tersebut menanyakan “Wahai khalifah, mengapa engkau menolak hadiah padahal Rasulullah juga menerima hadiah”. Maka, khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab

بلى ولكنها لنا وبعدنا رشوة

Benar, tetapi hadiah tersebut bagi kita dan setelah kita adalah suap”.(lihat kitab Hilyatul Auliya karya Abu Nuaim al-Asfihani [Dar Fikr Beirut 1996] juz.5 hal.294)

Muhammad Tholchah Al Fayyadl, Wakil Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir.

Muhammad Tholhah al Fayyadl
Mahasiswa Jurusan Ushuluddin Univ. Al-Azhar Kairo, dan Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jatim

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini