Ruwat Desa Dusun Suruh, Kabupaten Sidoarjo Dimulai dengan Istighosah Bersama, Ditutup Pagelaran Wayang Kulit

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang dihuni sekitar 1.340 suku bangsa. Sehingga tak heran jika yang masing-masing memiliki sejuta kearifan lokal,baik dari segi budaya maupun adat-istiadat yang berkembang di masyarakat. Salah satunya yang masih berkembang hingga saat ini yaitu tradisi Ruwat Desa di beberapa daerah di Jawa Timur. Meskipun, dederapa deerah sudah banyak yang meninggalkan meninggalkan tradisi ini, tidak hal nya dengan warga dusun Suruh kabupaten Sidoarjo.

Tradisi ruwat desa/ ruwat deso (dalam bahasa jawa) merupakan tradisi yang tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan di kabupaten Sidoarjo. Masyarakat di pedesaan masih mempercayai adat istiadat yang di wariskan oleh sang babat alas desa tersebut. Dalam bahasa jawa “Ruwat” berarti “ luwar” yang berarti melepaskan atau membebasakan, dimana yang dimaksud dengan melepaskan/membebaskan menurut kepercayaan warga setempat yaitu membebaskan dari malapetaka yang tidak diinginkan melanda desa.

Dengan kata lain Ruwat Desa oleh masyarakat dimaknai dengan sedekah bumisebagai bentuk syukur dan bertujuan untuk mendo’akan para tokoh pendiri desa juga memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar diberikan perlidungan desa dari hal buruk dan juga  agar hasil pertanian warga dijauhkan dari hama perusak.

Di setiap desa di Sidoarjo yang melaksanakan tradisi ini tentunya memiliki cara uniknya tersendiri. Salah satunya Desa Suruh yang ada di kabupaten Sidoarjo,Jawa Timur yang hingga saat ini masih mempercayai dan melaksanakan tradisi ini . Desa Suruh terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Prumpon, dusun Suruh, dan dusun Lengki. Ketiga dusun tersebut juga memiliki keunikan sendiri dalam melaksanakan tradisi Ruwat Desa.

Istimewanya, disetiap dusun memiliki makam pembabat alas atau makam keramat tersendiri yang digunakan untuk melaksanakan ritual Ruwat Desa yang meliputi punden mbah Putri Kuning di dusun Prumpon, punden mbah Dermo Laku di dusun Suruh, dan punden Mbah Wiropati di Dusun lengki.

Baca Juga:  Asyuro Dan Tradisi Masyarakat Madura

Prosesi tradisi Ruwat Desa di dusun Suruh, desa Suruh kabupaten Sidoarjo,Jawa Timur

Tradisi atau ritual yang diadakan pada bulan Ruwah (dalam kalender jawa) atau bulan Sya’ban (dalam kalender Hijriyah) ini identik dengan digelarnya wayang kulit. Mengapa wayang kulit? Karena selain sudah ditetapkan sejak zaman leluhur terdahulu, digelarnya wayang kulit diharapkan tidak hanya sebagai tontonan akan tetapi juga tuntunan bagi wara karena dalam setiap cerita yang ditampilkan tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan.

Alasan lainnya yaitu pada penokohan wayang kulit seperti semar sebagai simbol ketentraman dan keselamatan hidup yang sejalan dengan tujuan dari kegiatan tradisi ruwat ini. Sehingga besar kemungkinan itulah alasan dari mengapa digelar wayang kulit pada ritual/tradisi ruwat desa di dusun Suruh, desa Suruh kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Pada mulanya ritual ini masih dilakukan sesuai dengan yang dilakukan nenek moyang berupa pemberian sesaji untuh roh leluhur yang dianggap sebagi juru selamat tanpa adanya prosesi keislaman tertentu, akan tetapi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir islamisasi di dusun Suruh semakin berkembang sehingga ritual ini di kombinasikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan ajran-ajaran Islam yaitu  istighosah bersama, tanpa mengurangi adat istiadat yang telah ada.

Tradisi ini dilaksanakan selama dua hari dengan rangkaian acara yang meliputi istigosah bersama warga dusun di masjid, mengeluarkan syukuran atau asahan, dan pagelaran wayang kulit.

  1. Istighosah bersama

Kegiatan istighosah bersama dilaksanakan pada malam hari pertama saat ruwat desa diadakan, bertempat di masjid utama dusun. Dilaksanakan seperti istghosah pada umumnya. Seperti membaca surat yasin dan juga diselingi shalawat nabi dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapat perlindungan-NYA. Pada rangkaian ini semua warga desa berkumpul di masjid baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak semua turut andil.

  1. Mengeluarkan syukuran atau asahan

Setelah rangkaian istghosah, pada pagi harinya dilanjutkan dengan syukuran yang dilaksanakan di punden dusun dengan membawa asahan yang berisi nasi tumpeng dan jajanan untuk dimakan bersama di punden . Tujuan daripada rangkaian ini mendoakan leluhur pembabat alas.  Pada rangkaian ini kebanyakan di lakukan oleh para lelaki. Akan tetapi tak jarang juga para kaun wanita yang hadir dalam rankaian ini.

  1. Pegelaran wayang kulit
Baca Juga:  Tradisi Pembacaan Manaqib: Upaya Meneladani Para Pendahulu

Pagelaran wayang kulit ini dilaksanakan setelah syukuran pada pukul 09.00 pagi sampai waktu ashar yang dilaksanakan di punden kemudian berhenti dan dilanjutkan pada pukul 09.00 malam di balai desa. Dimana pada pagi hari nya hanya gending-gending yang dimainkan yang kemudian pada malam harinya barulah wayang kulit yang sesungguhnya sebagai rangkaian inti dari tradisi ruwat desa. Biasanya pada rangkaian ini seluruh warga dari ketiga dusun hadir di balai desa untuk menghadiri wayang kulit hingga pukul 03.00 subuh .

Dalam pelaksanaan ritual ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi, biaya tersebut ditanggung bersama dengan iuran warga setempat dengan harapan ritual/tradisi ini tidak luntur akan zaman yang semakin modern. Ritual ini dilaksanakan tanpa adanya pantangan-pantangan tertentu layaknya acara adat yang lainnya. Akan tetapi, ritual ini tetap berjalan dengan hikmat.

Dengan terus dilaksanakannya tradisi turun-menurun ini pemerintah daerah setempat tentunya berharap agar anak-anak muda dapat mengetahui dan mengenal tradisi dari daerah mereka untuk terus dikembangkan dan dijaga kelestariannya. Selain tetap menjaga kelestarian budaya, diharapkan masyarakat setempat juga tetap menghargai menghormati dan nilai-nalai leluhur. []

Prawesty Oktavia Vadella
Mahasiswi S-1 Pendidikan Agama Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini