Film Guru-Guru Gokil

Seperti pepatah Jawa, urip iku mung mampir ngombe alias hidup itu hanya sebatas mampir untuk minum, film Guru-Guru Gokil ibarat pelepas dahaga bagi penikmat film di masa pandemi. Maklum, sejak bioskop tutup akibat wabah Corona, otomatis jarang atau bahkan tak ada lagi film Indonesia yang rilis.

Film Guru-Guru Gokil mulai tayang sejak 17 Agustus 2020, tepat dengan peringatan Indonesia merdeka. Menariknya, film ini menjadi debut Dian Sastrowardoyo sebagai produser, selain sekaligus sebagai pemain. Sedangkan Simmaria Simanjuntak dipercaya sebagai sutradara.

Guru-Guru Gokil mengisahkan Taat (Gading Marten), seorang pemuda yang bingung akan masa depannya. Taat, hanya suka 1 hal yaitu uang dan benci pada 1 profesi, yaitu guru. Sialnya, ayah Taat adalah seorang guru. Taat benci dengan profesi guru karena selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran bahasa Indonesia, padahal ayah Taat seorang guru bahasa Indonesia.

Taat sempat pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib. Taat ingin membuktikan pada orang tuanya bahwa ia bisa lebih sukses dari seorang guru. Berbekal tekat, Taat pergi ke kota.

Nahas, sudah mencoba berbagai pekerjaan, Taat tak jua berhasil. Setelah melewatkan sepuluh idulfitri tanpa pulang kampung, Taat akhirnya menyerah. Ia kembali pulang ke kampung halaman. Ia memutuskan menjalani profesi yang sebelumnya ia benci setengah mati, menjadi guru.

Ketika menonton film ini, sepertinya jarang sekali ada lonjakan emosi. Pengembangan karakter yang ada terkesan buru-buru dan kurang mendalam.

Dari awal film, misalnya, kurang terlihat adanya alasan kuat dari Taat untuk keluar dari kampung halamannya. Selain itu, alasan ayah Taat memarahi karena nilai jelek juga kurang kuat. Bagian saat Taat berjuang di kota pun kurang greget.

Baca Juga:  Review Film Hati Suhita

Hubungan Taat dengan salah satu tokoh, Rahayu (Faradina Mufti), juga berubah instan. Rahayu yang awalnya galak minta ampun pada Taat, tak lama berubah ramah dan biasa karena Taat membantunya mengejar perampok dan mengajaknya makan meski sekali.

Adegan Taat dengan murid sekolah juga bisa dibilang minim. Tidak terlihat pergolakan emosi antara Taat dengan murid-murid. Meski nantinya murid-murid Taat jadi salah satu kunci menyelesaikan masalah pada akhir film. Seperti pembangunan hubungan yang terkesan dipaksakan.

Sisi lain dari film ini sepertinya ingin mengatakan bahwa kondisi guru-guru kita, secara finansial tidak baik-baik saja. Apalagi, dalam film ini, dikisahkan bahwa uang sekolah dirampok dan membuat seluruh guru tidak mendapat gaji. Hal itu tentu memberi pukulan hebat.

Beberapa adegan yang ada mendukung betapa ngenesnya kondisi guru, khususnya guru honorer. Adegan ayah Taat yang menyuruh Taat untuk mencari tambahan penghasilan pasca uang sekolah dirampok, kiranya cukup menggambarkan hal itu. Ditambah, adegan Rahayu yang agak putus asa setelah perampokan, disusul salah satu guru yang mengundurkan diri setelahnya, Rahayu hanya bisa berucap:

“kalau pak gagah aja nyerah, kira-kira nanti abis Lebaran, tinggal berapa guru yang bertahan? Dan kalau dibiarin aja, mungkin nanti Lebaran Haji, udah enggak ada lagi guru yang mau ngajar”.

Bila tak ngenes, tentu Nirmala (Dian Sastrowardoyo) tak bingung dengan biaya lahiran, bu Manggar tak perlu jualan bando di sekolah untuk menambah biaya hidup, atau Manul (Boris Bokir) tak perlu nyambi jadi pencuci motor.

Judul Guru-Guru Gokil di atas sebenarnya membikin bingung, sampai saya tak tahu apa yang gokil. Kondisi ngenes para guru yang harus nyambi sana-sini untuk nambah biaya hidup. Atau kegokilan pemerintah yang tak peduli dengan profesi ini, khususnya guru honorer. Gokil emang. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini