Kekerasan terhadap anak menjadi agenda rutin disetip bulannya, kasus ini seperti gunung es Terlihat di permukaan laut sangat sedikit, sementara di bawahnya masih sangat banyak yang belum terungkap. Berdasarkan data Simfoni PPA 2024, kekerasan terhadap anak yang terjadi di rumah sebanyak 2.132 kasus, fasilitas umum 484 kasus dan sekolah 463 kasus. Kemudian pelaku terbanyak merupakan teman atau pacar yakni 809 pelaku, 702 orang tua, keluarga/saudara 285 orang, hingga guru 182 pelaku. Baru-baru ini berita pelecehan anak terjadi di panti asuhan yang seharusnya menjadi rumah bagi anak yang tidak lagi memiliki orang tua, lebih miris lagi saat anak akan melaporkan kejadiannya di pantia asuah justru sang polisi mencabuli pelapor. Dua institusi yang sejatinya menjadi garda terdapan dalam gerakan kemanusiaan di masyarakat justru membuat gaduh.
Kepemimpinan Pemuda di Dunia
Mengingat ucapan presiden pertama kita “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” Soekarno (1901-1970). Pada saat pelantikan presiden Soekarno baru berusia 44 tahun, usia yang masih muda untuk sebuah kepemimpinan negera, tentu dari 7 Presiden saat ini beliau paling muda ketika dilantik.
Pemimpin muda juga datang dari berbagai penjuru dunia, seperti filipina, ada Raul S. Manglapus menjadi Wakil Menteri Luar Negeri di bawah pemerintahan presiden Magsaysay pada umur 35 tahun, dan menjadi Menteri Luar Negeri pada usia 38 tahun. Jauh sebelum itu ada Emilio Aguinaldo Presiden Pertama Filipina dengan usia 29 tahun. Semua presiden di dunia itu tidak bertengger sendirian, kerena presiden yang sendirian bukanlah presiden, melainkan anak yatim piatu. Dia dikelilingi oleh pembantu setia, juga anak anak muda yang mampu melompat pajar dengan satu kali ayunan kaki. Mabini berusia 34 tahun, Calderon 30 tahun, Likban 31, dan Albert 31. Remaja- remaja ini memimpi republik yang bibit revolusinya disiram oleh darah sesama remaja pula.
Masih di Negara yang sama, orang itu bernama Jose Rijal, pejuang kemerdekaan nomor wahid bangsa filipina. Dalam usia 3 tahun, ia sudah mahir membaca, 5 tahun memahami kitab injil, 8 tahun pandai menggubah sajak. Memperoleh gelar Sarjana Muda dalam usianya yang ke-16. Meraih gelar Dokter sekaligus Doctor Ilmu Filsafat dan sastra pada usia 24 tahun.
Kabar dari India, tanggal 14 November 1979 di New Delhi diselenggarakan konferensi Anak-Anak dari kelompok umur 12 hingga 16 tahun atas prakarsa Uni Internasional bagi Kesejahteraan Anak Pemerintah India. Diperkirakan berjumah 300-an delegasi memenuhi ruangan. Setiap anak bebas menyatakan pendapat tentang cara penanganan berbagai masalah yang sedang dihadapi dunia saat ini dan tentu saja tentang masa depan mereka sendiri. Dari sekian banyak anak yang berpidato tentang pemecahan masalah dan solusi. Ada seorang anak yang berbadan gemuk hampir terpeleset sewaktu naik tangga mimbar, namun dialah yang pidatonya sangat berkesan “Cita-citaku tidak muluk! Aku ingin jadi Menteri Urusan Anak-Anak. Jika terkabul, semua kalian baik yang berada di gedung ini maupun di ujung gunung tisak perlu khawatir masa depan atau masa kapan saja. Pokoknya beres. Susahnya, sampai sekarang ini aku belum paham persis bagaimana caranya menjadi menteri itu”. Para tamu, panitia dan para hadirin pun tertawa terpingkal pingkal.
Di Indonesia kita punya sejarah tentang pemuda, salah satunya sumpah pemuda, Kalimatun Sawa “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Dibuka oleh peristiwa Rengasdengklok peristiwa penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda antara lain Sukarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh, hingga menciptakan kemerdekaan. Delegasi Indonesia yang ikut dalam Sidang Dewan Keamanan PBB 1947 diantaranya Sutan Sjahrir, Agus Salim, Soedjatmoko, Soemitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambu. Lima pemuda yang disegani di Indonesia dan ditakuti oleh dunia.
Saat ini kepemimpinan pemuda di Indonesia mamasuki tahap baru, aroma segar itu terasa saat Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi wakil Presiden Indonesia, selanjutnya diikuti kepemimpinan di daerah-daerah diisi oleh pemuda yang rata-rata diusia 27 hingga 41 tahun.
Generasi Usia Bupati/Walikota di Indonesia
Kelompok usia lainnya adalah Generasi Y atau Milenial. Data menunjukkan bahwa terdapat 51 kepala daerah yang tergolong dalam Generasi Y atau Milenial ini, atau 9,92 persen dari total kepala daerah di Indonesia.
Cegah kekerasan terhadap anak dan perempuan dengan hukum yang adil tanpa memihak
Penulis berharap predator kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak diberi sanksi seberat-beratnya kerena bukan hanya merusak masa depan anak namun mengubur cita-cita bangsa Indonesia.
Sebagai negara hukum sudah selayaknya kita memagang teguh tiga asas hukum. Pertama, “Presumptio iures de iure” semua orang dianggap tahu hukum. Setiap orang tidak bisa beralasan tidak tahu ada pasalnya atau ada hukum terkait kesalahannya. Karena setiap kita dinggap tahu hukum. Kedua, “equality before the law” semua manusia setara di mata hukum. Tidak boleh ada orang yang dikedepankan dari pada orang lain, Haram hukumnya ada orang yang karena dia penguasa, anak polisi, anak kiai lalu kebal hukum. Sekali lagi saya tegaskan semua sama dihadapan hukum, dan yang trakhir, “Human Rights Protection”, pada mulainya Hak Asasi Manusia hanya pada hak memilih/ hak dipilih, hak budaya sampai kepada hak alam, hak udara bersih, dulu pada tahun 94 gak peduli dengan rokok, kalian naik pesawat dulu boleh merokok, karena tidak ada yang peduli dengan kesehatan, Irlandia adalah negara pertama yang melarang merokok. Yang kini larangan merokok hadir diberbagai tempat.
Tiga hal inilah yang menjadi kunci terwujudnya hukum yang adil tanpa memihak siapa pun, kasus yang terjadi pada kekerasan anak dan perempuan yang dilakukan oleh penguasa, anak polisi atau anak kiai sangat sulit diungkap karena ada kekuasaan struktural (structural sources of power) sehingga membuat hukum seperti pisau yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jika melihat secara teliti pada data diatas, penegakan hukum masih sangat kecil dari seluruh kasus yang terjadi di 2022 yang berjumlah 27.589. itu berarti hanya ada 10.1%. ini menjadi pekerjaan yang tidak mudah dituntaskan oleh kita semua. Namun mari kita mulai dari persoalan hukum. Ada dua undang-undang terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Melihat kedua Undang-Undang ini dari teori hukum Efektifitas Menurut Soerjono Soekanto, Pertama, Faktor hukum. Kepastian hukum bersifat aktual dan konkrit, disisi lain keadiIan sifatnya abstrak. Oleh karena itu, setidaknya pertanyaan tentang keadilan ada di latar depan. Karena hukum tidak hanya diIihat dari sudut pandang hukum tertuIis. Kedua Undang-Undang (UU Perlindungan anak dan UU Tindak pidana kekerasan seksual) sudah disahkan. Namun praktek penerapannya masih saja terhalang oleh sulitnya pembuktian oleh korban.
Kedua, Faktor Penegakan Hukum, masyarakat memiliki kecenderungan yang kuat untuk menginterpretasikan undang-undang menurut aparat atau petugas kepolisian, artinya undang-undang disamakan dengan polisi atau perilaku pejabat yang sebenarnya. Sayangnya, permasalahan dalam pelaksanaan kekuasaan seringkali muncul dari sikap atau perIakuan yang dianggap berIebihan, atau tindakan Iain yang mencoreng nama baik dan kewibawaan lembaga kepolisian. Ini karena buruknya kualitas aparat penegak hukum, seperti kasus yang sudah penulis sampaikan diatas. Namun itu hanya oknum tidak menyeluruh atau tidak semua penegak hukum melakukan hal demikian.
Ketiga, Faktor Sarana atau FasiIitas Pendukung. Menurut Soerjono Soekanto, unsur atau fasilitas pendukung berupa software dan hardware yang penegak hukum tidak dapat berfungsi dengan baik kecuali diIengkapi dengan kendaraan dan sarana komunikasi yang memadai. OIeh karena itu, lembaga dan fasiIitas memainkan peran yang sangat penting daIam penegakan hukum. Tanpa nasihat dan perlengkapan tersebut, lembaga penegak hukum tidak akan mungkin menyelaraskan peraturan yang seharusnya sesuai dengan tugas mereka yang sebenarnya.
Keempat, Faktor masyarakat, kita semua tahu, bahwa masyarakat kita memiliki sikap “bodo amat” terkait pengatahuan hukum, hal ini dimanfaatkan oleh oknum penegakan hukum untuk “membutakan” masyarakat dalam pengatahuan hukum. Maka sosialisasi adalah solusi dari ketidaktahuan ini. Agar segala menjadi terang maka pemerintah seharusnya membuat program sosialisasi hukum di masyarakat desa. Tidak hanya sebatas di perguruan tinggi.
Terakhir, faktor budaya. Kebudayaan pada hakekatnya terdiri dari niIai-niIai yang mendasari hukum-hukum yang berlaku, yaitu pengertian-pengertian abstrak tentang apa yang dianggap baik (yaitu dipatuhi) dan apa yang dianggap buruk (yaitu dihindari). Dengan demikian, kebudayaan lndonesia ialah landasan atau dasar hukum adat yang berIaku. Hukum perundang-undangan harus dapat mencerminkan niIai-niIai yang mendasari common law agar dapat menerapkan hukum secara aktif. Budaya hukum bisa dimulai dengan hal sederhana seperti mematuhi aturan lalu lintas, peraturan di desa atau bahkan peraturan yang ada di rumah. Maka kebiasaan ini akan membentuk generasi kita tidak hanya melek hukum, tapi sudah pada tarap cakap hukum dan taat hukum.
Sem0ga anak-anak dan perempuan dijuahkan dari predator kekerasan seksual, demi menjaga meraka sebagai penerus dan pemimpin masa depan, maka salah satu kuncinya adalah penegakan hukum, jangan sampai ada yang lolos dari jeratan hukum hanya karena dia memiliki kekuasaan. Ingat, korban dari kekerasan seksual tidak dapat disembuhkan hanya dengan permintaan maaf dan pendampingan satu dua bulan saja. Maka atas dasar apa pun pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya. []