Teknologi berkembang begitu pesat. Demi meringankan pekerjaan manusia, berbagai macam teknologi tercipta, baik teknologi baru atau terbarukan.
Dalam perkembangannya, teknologi tidak pernah absen dalam meringankan atau membantu pekerjaan-pekerjaan manusia di segala bidang. Seperti halnya pada sektor pertanian.
Dulu para petani membajak sawah hanya dengan bantuan tenaga sapi, menggunakan bahan bakar rumput sebagai pakan, dan air yang dicampur dedak sebagai minuman sapi. Saat bekerja, sesuai arahan petani, sapi-sapi itu dengan kuatnya akan menarik alat penggaruk tanah, untuk meratakan tanah atau dalam bahasa Jawa disebut alat garu.
Tidak heran jika para petani akrab dengan sapi ternaknya. Sebab sapi bukan hanya dipekerjakan olehnya, tapi para petani juga merawat sapi-sapi itu dengan baik. Hingga boleh dikata sapi adalah sahabat dari para keluarga petani.
Sedikit mengajak nostalgia, waktu libur sekolah, saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sebagai anak petani saya sering diajak ke sawah. Saat waktu membajak sawah tiba, itu adalah salah satu momen yang tidak terlupakan hingga sekarang.
Dari rumah berangkat ke sawah, menaiki sapi sebagai kendaraannya. Sampai sawah ikut ayah membajak sawah, meski pada hakikatnya sebagai seorang anak adalah bermain dengan lumpur. Selesai membajak sawah, sapi-sapi itu dimandikan ke sungai yang jaraknya tak jauh dari sawah, sebagai bentuk memanjakan sapi setelah lelah bekerja. Hal itu juga dilakukan oleh petani yang lain. Sedangkan saya dan anak-anak yang lain asyik berenang, di tengah kesibukan para petani sedang memandikan sapi-sapinya.
Namun, kini suasana dan aktivitas seperti itu tidak bisa saya jumpai lagi di desa saya. Setelah tenaga sapi digantikan dengan teknologi alat pembajak sawah bermesin, seperti traktor. Sekarang sapi-sapi itu hanya sebagai hewan komoditas, yang diperjual belikan, bukan dipekerjakan.
Masa Depan Buruh Tani
Teknologi bisa membantu pekerjaan petani, salah satu contohnya seperti di atas, mesin traktor yang menggantikan sapi.
Petani di desa saya, mayoritas merangkap sebagai buruh tani. Tapi kemajuan teknologi di bidang pertanian pun kini nasib buruh tani juga kian terancam. Bagaimana jika peran buruh tani digantikan dengan teknologi? Seperti aktivitas menanam padi, digantikan oleh mesin penanam. Saat tiba waktu panen, sudah ada mesin perontok padi yang canggih.
Bayang-bayang itu terjadi di desa saya, tapi keberadaan dan peran teknologi mesin perontok padi untuk memanen jumlahnya baru hitungan jari. Meski sedikit, tapi buruh tani sudah cukup terancam. Sebab dibalik kemunculan teknologi tersebut, ditawarkan pula kemudahan, kecepatan dalam hal memanen padi. Hal itu akan membuat pemilik sawah, akan berpikir dua kali, menggunakan jasa buruh tani atau jasa alat teknologi mesin perontok padi tersebut. Pemilik sawah akan mengkalkulasikan, dan mempertimbangkan segala tawaran dari hasil kerja teknologi dengan hasil kerja buruh tani, serta biaya pengeluaran untuk membayar jasanya.
Saya akan mencoba memberikan gambaran saat menggunakan jasa buruh tani di desa saya. Harga menggunakan jasa buruh tani untuk memanen padi, dari memotong padi, merontokkan padi, memasukkan padi dalam karung, hingga mengantarkan hasil panen sampai ke rumah pemilik sawah, buruh tani dibayar sekitar Rp80 ribu. Dengan dua kali makan, pagi dan sore hari, ditambah aneka cemilan yang disediakan oleh pemilik sawah. Hitungan harga dari jasa buruh tani ini, menggunakan sistem waktu, dari jam setengah delapan pagi hingga jam empat sore. Kalau melebihi waktu tersebut, dan ternyata pekerjaan memanennya belum selesai, karena faktor luas lahannya maka harga jasa yang dibayarkan dihitung naik, sampai total sekitar Rp100 ribu per orang. Biasanya dalam setiap kelompok buruh tani saat memanen sekitar lima hingga sepuluh orang, tergantung luas lahan dan permintaan pemilik sawah.
Sedangkan, untuk alat teknologi mesin perontok padi yang berukuran besar itu, dalam desas desus tetangga, harga jasanya lebih murah jika dibandingkan dengan harga jasa buruh tani. Lebih murah, lebih mudah, dan lebih cepat.
Para buruh tani mulai terancam dengan itu, padahal jika diakui perputaran uang di desa, juga berasal dari menggunakan jasa buruh tani, yang saling bergantian itu. Namun jika peran buruh tani digantikan teknologi, maka perputaran uang hanya pada golongan orang kaya dan pemilik mesin tersebut. Lantas bagaimana nasib buruh tani jika lahan pekerjaannya diambil alih oleh teknologi itu? Sedangkan harga mesin perontok padi itu harganya mahal, para buruh tani tidak sanggup untuk membelinya. Dan hanya orang-orang kaya, yang mampu membeli mesin itu.
Sedangkan kebutuhan mereka cukup banyak, mereka harus tetap bekerja untuk bisa menyambung hidup bersama keluarganya. Mereka harus membiayai anak-anak nya untuk sekolah, bagaimanapun caranya. Meskipun harus, menjual tanah pertanian miliknya.
Dalam hal ini titik poinnya adalah jika kemajuan bidang pertanian hanya diukur dari skala teknologi yang canggih, maka bersiaplah untuk melihat para petani atau buruh tani kehilangan sawah, ladang atau pekerjaannya. Alam pun kian terancam, jika masuknya teknologi tidak dibarengi dengan sikap cinta dalam menjaga dan merawat keasrian bumi pertiwi ini.
Teknologi itu netral, ia bisa merusak, merebut, atau membantu tergantung siapa yang menjalankan, di tangan siapa dia ada. [HW]