Menolak Radikalisme dengan Moderasi Beragama

Radikalisme agama masih menjadi momok yang mengancam kerukunan dan perdamaian di Indonesia. Kelompok-kelompok radikal kerap mengatasnamakan agama untuk melakukan tindak kekerasan dan makar. Laporan Setara Institute (2021) menyebutkan terjadi peningkatan 53 persen kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia selama 2020 dibanding 2019.

Kekerasan atas nama agama tersebut sangat bertentangan dengan semangat keberagaman dan inklusivisme Indonesia sebagai bangsa majemuk dengan beragam suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Maka diperlukan moderasi beragama untuk menangkal radikalisme agama yang kontraproduktif bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Moderasi beragama merupakan paham keberagamaan yang mengedepankan sikap toleran, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Lawannya adalah sikap radikal atau ekstrem yang hanya mengakui kebenaran tunggal tanpa mau memahami pandangan lain.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sangat penting untuk menunjukkan paham moderasi Islam sebagai “Islam rahmatan lil ‘alamin” yang toleran dan inklusif. Radikalisme justeru bertentangan dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin yang mengedepankan kasih sayang, kerukunan, dan perdamaian.

Pemerintah sendiri gencar mengkampanyekan moderasi beragama sebagai alternatif damai menghadapi ancaman kelompok radikal. Program deradikalisasi di lapas dan pembinaan keagamaan yang toleran menjadi bagian upaya pemberantasan radikalisme. Namun tentu saja, moderasi beragama tidak cukup hanya menjadi slogan, tapi harus benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan nyata

Untuk itu, dibutuhkan kerja sama semua elemen bangsa, baik pemerintah, tokoh agama, akademisi, organisasi masyarakat, hingga masyarakat umum. Pemerintah harus tegas menegakkan hukum dan melindungi kebebasan beragama semua warga negara. Tokoh agama dan organisasi keagamaan harus memberikan ceramah dan pendidikan yang mengedepankan moderasi agama untuk penganutnya.

Selain itu perlu juga ditingkatkan literasi digital agar masyarakat bijak menyaring informasi di media sosial. Sebab banyak paham dan ajakan radikalisme menyebar luas di media sosial. Masyarakat yang berliterasi digital rendah rentan terpapar konten radikal dan provokatif dari kelompok tertentu. Makanya, penting juga mengajarkan etika digital yang baik sesuai moral agama yang toleran.

Baca Juga:  Memaksa Allah Berfikir Seperti Dia

Sisi lain upaya kontra radikalisme juga harus bersumber dari pembenahan internal umat beragama sendiri. Artinya, masing-masing penganut agama perlu introspeksi diri, apakah selama ini sudah berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya yang toleran dan penuh kasih sayang atau belum.

Misalnya, apakah umat Islam sudah bersikap ramah dan adil kepada sesama dan kepada non-Muslim? Atau masih ada sikap egois, merasa paling benar sendiri, bahkan antipati kepada penganut agama lain? Introspeksi seperti ini penting agar dapat memperbaiki sikap menjadi lebih moderat.

Indonesia sebagai rumah bagi ratusan suku dan puluhan agama/aliran kepercayaan, sangat rentan konflik SARA. Maka moderasi dan toleransi antar umat beragama harus selalu dijaga dan dipelihara demi menjaga kedamaian.

Radikalisme tidak boleh dibiarkan atau malah disulut, karena hal ini hanya akan merusak sendi-sendi kebhinnekaan Indonesia. Pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus bahu membahu menolak radikalisme. Inilah PR besar bangsa Indonesia ke depan demi menjaga NKRI.

Di tingkat akar rumput, kerukunan antar umat beragama (UKUB) harus selalu dijaga di setiap komunitas masyarakat. Interaksi dan dialog antar tokoh agama sangat penting dilakukan, tidak hanya pada momen-momen tertentu saja. Berbagai kegiatan sosial yang melibatkan anggota masyarakat lintas agama juga perlu digalakkan.

Dengan dialog dan interaksi rutin, setiap penganut agama bisa saling memahami keyakinan dan tradisi keagamaan masing-masing. Ini akan mendorong toleransi dan mengikis prasangka buruk terhadap perbedaan. Pada akhirnya kehidupan rukun side by side antar umat beragama bisa tercapai.

Anak-anak dan remaja juga perlu diajarkan mengenai pentingnya kerukunan antar umat beragama dan bahayanya radikalisme sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Hal ini penting agar tumbuh menjadi generasi milenial dan Gen-Z yang inklusif, toleran dan cinta damai, tidak mudah terprovokasi isu SARA ataupun terpapar paham radikal.

Baca Juga:  Moderasi Beragama Ala Haji Hasan Mustapa: Sufi Besar Tanah Pasundan

Sedangkan bagi oknum-oknum pelaku radikalisme sendiri, tidak ada ampunan, harus diberantas dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Tindak tegas diperlukan untuk memberi efek jera dan mencegah merebaknya aksi-aksi radikal serupa di kemudian hari. Selain itu, moderasi beragama juga harus ditanamkan dalam program deradikalisasi di lapas agar mereka bisa berubah moderat.

Kebijakan kontra radikalisme memang tidak bisa instan atau sekali jadi. Diperlukan strategi yang jelas dan komprehensif dalam jangka panjang serta kerja keras dan komitmen bersama semua komponen bangsa. Negara harus sigap membendung arus radikalisme yang terus berupaya menghancurkan kerukunan dan perdamaian di Indonesia.

Lewat langkah-langkah di atas diharapkan negeri ini akan tetap kokoh berdiri di atas pondasi Bhinneka Tunggal Ika, tanpa terkoyak oleh ideologi dan sentimen primordial umat beragama yang saling berseteru. Mari tutup celah radikalisme dengan moderasi beragama demi Indonesia damai sentosa. []

Agus Bakharudin Sofa
Mahasantri Ma’had Aly Pesantren Maslakul Huda Fi Ushul Al-Fiqh

    Rekomendasi

    Opini

    Syauqi Empat Belas Hari

    “Jadi nanti kalian belajar dirumah terlebih dahulu, karena himbauan pemerintah yang menginstruksikan untuk ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini