Paradigma Hermeneutika Quraish Shihab dan Relevansinya Dalam Perkembangan Penafsiran Al-Qur’an

Shalihun likulli zaman wal makan merupakan ungkapan yang sering disematkan kepada Al-Qur’an. Bukan hanya karena keyakinan umat islam yang menerima penuh validitas Al-Qur’an berdasarkan maklumat wahyu yang dikandungnya sendiri, melainkan karena muatan dan pembuktian  nyata yang telah dilakukan baik dari kalangan muslim sendiri maupun para orientalis yang konsen dalam kajian Al-Qur’an.

Pernyataan dan realitas inilah yang selama ini memantik adanya aneka macam penafsiran,  bagaimana pun model tafsir dan latar belakang mufassir nya. Kajian dan diskursus ini sangat relevan bagi karakter Al-Qur’an  yang tak kenal  kata “berhenti” dalam menerima setiap interpretasi baru. Al-Qur’an diumpamakan seperti laut dan langit yang luas dan dalam yang tidak pernah mengalami kekeringan atau tak terbatas walaupun telah, sedang dan akan terus dikaji dari berbagai diskursus keilmuwan apapun.

Satu dari sekian disiplin keilmuwan yang digunakan, muncullah term Hermeneutika yang lahir dari rahim keilmuwan barat. Hermeneutika menurut para pakar berasal dari kata Hermenium (Yunani) yang artinya penjelasan, penafsiran dan penerjemahan. Lebih lanjut lagi, metode ini diartikan sebagai seni untuk memahami dan menetapkan sebuah makna teks. Secara singkat, metode hermeneutika ini merupakan suatu hal yang harus ditempuh oleh siapa pun yang hendak memahami sebuah teks, baik yang sifatnya implisit maupun eksplisit, bahkan apa yang tereduksi oleh perjalanan sejarah, pengaruh ideologi maupun kepercayaan sekalipun.

Dalam perjalanannya, hermeneutika muncul dari respon ilmuwan barat   yang menyayangkan otoritas gereja yang membatasi  penafsiran terhadap Bible. Sehingga pada saat itu, segala makna dan muatan yang dikandung oleh Bible hanya boleh dipahami melalui pemahaman dan tafsiran pihak gereja. Seperti apa yang akui cendekiawan Kristen sendiri, bahwa bible/perjanjian lama atau perjanjian baru sudah tidak autentik lagi, seperti apa yang  diturunkan pertama kali. Bible yang sekarang ini, dulunya ditulis ulang setelah 2000 tahun setelah era pewahyuannya. Oleh karenanya problema ontologis terkait kritik sejarah atas Bible tidak terelakkan lagi. Belum lagi kenyataan bahwa versi bible juga beraneka macam, sesuai penulisnya masing masing.

Baca Juga:  Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 44-45

Sebagai mukadimah bahasan terkait hermeneutika, Quraish Shihab dalam bukunya “Kaidah Tafsir” mengetengahkan dua kutub besar madzhab hermeneutika yang dinilainya sebagai corak hermeneutika yang memiliki pengaruh besar dalam masanya bahkan setelahnya. Pertama, disematkan nama Hermeneutika Romansis, madzhab ini didalangi oleh Friedrich Schlemeicher dan Wilhem Dilthey. Perhatian hermeneutika ini menyangkut tujuan, makna yang dimaksud penulis teks, pengucap, atau pencipta karya.

Pengusung madzhab ini mengharuskan seorang penafsir  masuk dan menyelami diri, pikiran pengarang teks. Lebih jauh lagi penafsir harus mempelajari kondisi, latar belakang budaya, bahkan sosio politik pengarang saat menuliskan teksnya. Setiap aspek ini dipelajari dengan tujuan agar penafsir mampu mendapatkan makna final dan paling benar sesuai apa yang dikehendaki pengarang teks.

Kedua, yakni aliran Hermeneutika Filosofis yang dipelopori Martin Heddeger dan muridnya Hans George Gadamer. Perhatian madzhab hermeneutika ini bisa dikatakan bertolak belakang dengan madzhab Romansis. Jika Hermeneutika Romansis menekankan kesesuaian penafsiran dengan apa yang dikehendaki pengarang teks, maka aliran Hermeneutika Filosofis justru berusaha memahami teks dengan substansi teks itu sendiri, mereka berusaha mengeksplor makna teks sesuai pengetahuan, kecenderungan dan kondisi mereka. Terlepas dari maksud si pengarang atau tidak. Mereka berpendapat, jika acuannya hanya berkiblat kepada maksud pengarang, maka teks telah dibelenggu oleh makna tertentu, tidak lebih dari itu. Padahal “pengarang telah mati“.

Dari kedua madzhab besar hermeneutika di atas, Quraish Shihab mencoba mengkolaborasikan dan mencari relevansi hermeneutika dengan metode penafsiran para ulama terhadap Al-Qur’an, beserta turunan ‘ulumul qur’an  lainnya.

Menurutnya tidak semuanya dari semua ide yang diketengahkan oleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika, merupakan ide yang keliru dan negatif. Pasti diantaranya ada yang positif, bahkan bisa memperkaya khazanah penafsiran Al-Qur’an. Oleh karenanya tidak wajar bagi yang tidak setuju akan penerapan hermeneutika dalam Al-Qur’an lalu menolak mentah-mentah secara keseluruhan. Beliau berpendapat bahwa apa yang telah dikemukakan para ahli hermeneutika sebenarnya sedikit banyak sudah tersistematis dan termuat dalam karya-karya para ulama terdahulu, bahkan bisa dikatakan pakar-pakar muslim lebih detail dalam metodologi dan kualifikasi penafsir.

Baca Juga:  Kearifan Sya’ban dan Wejangan Bershalawat untuk Kanjeng Nabi perspektif Tafsir Al-Qur’an

Pertanyaan yang sering muncul bagi penggiat kajian Al-Qur’an adalah: Samakah Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir Al-Qur’an? atau Perlukah seorang mufassir mengadopsi metode- metode Hermeneutika dalam prosesi penafsirannya ?. tentu tidak bisa dijawab secara hitam putih “Ya”  atau “tidak”.

Jika hermeneutika didefinisikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang digunakan untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah, maka tidaklah keliru jika hermeneutika sebenarnya sudah familiar dikalangan para ulama mufassir jauh sebelum bangsa barat memunculkan hermeneutika ini sendiri. Lebih jauh lagi jika arah bahasannya berkutat pada makna kosakata, konteks terdalam, majaz, sinonim, jelas atau samar, umum dan khusus lafad sebuah kitab suci. Maka kesadaran akan pentingnya disiplin ilmu ini telah lama dibahas para ulama lewat disiplin ilmu Ushul Fiqhnya. Bahkan mereka telah menentukan kriteria secara  ketat bagi ulama-ulama yang ingin menafsirkan Al-Qur’an.

Berpagi-pagi perlu disampaikan, bahwa apa yang menjadi objek kajian para pakar  hermeneutika dan para ulama tafsir sangatlah berbeda. Al-Qur’an sebagai kalam Allah sangat diyakini kebenarannya ,tidak tersentuh oleh kebatilan dan kesalahan dari aspek manapun.  Sehingga pada aspek-aspek tertentu seperti relativitas kebenaran sebuah teks dalam metode hermeneutika tidak dapat digunakan untuk menafsirkan nash-nash Al-Qur’an. karena memang objek kajian hermeneutika tidak hanya kalam Tuhan, tapi karya-karya manusia juga.

Mengacu kepada dua madzhab besar hermeneutika di atas, maka akan didapati beberapa hal yang  tidak relevan jika diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an. Pertama, penegasan mereka bahwa seorang penafsir harus masuk ke dalam diri sang pemilik teks/pengucap untuk membantu memahami apa yang dimaksud. Ini berarti bahwa ide yang ditawarkan tidak berlaku kecuali teks-teks yang dikarang manusia, bukan teks yang diyakini sebagai firman Tuhan. Dia mustahil berlaku pada Allah. Seorang makhluk tidak akan mampu  menyelami hakikat Allah. Pengetahuan Allah hanya sebatas apa yang telah Ia maktubkan dalam firman-firmannya, terlepas dari semua itu, manusia tak punya kemampuan dan otoritas untuk mengetahuinya.

Baca Juga:  Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 17 dan Bahaya Ego Trap: Sering Terjadi Tapi Tidak Kita Sadari

Kedua, tentang kemandirian teks. Dikatakan al ibrah bi umumi al lafdzi laa dibihususis sabab  (setiap teks berkesimpulan sesuai tekstual lafadnya bukan karena latar belakangnya) itupun meskipun secara umum ide ini benar. Tetapi dalam beberapa hal,  ayat-ayat Al-Qur’an justru saling menafsirkan, beberapa ayat saling bermunasabah dalam membentuk pemahaman yang utuh. Belum lagi hadis-hadis nabi yang salah satu fungsinya juga sebagai bayyinah bagi ayat-ayat Al-Qur’an.

Pemahaman ini menghasilkan satu paradigma baru terkait relevansi hermeneutika terhadap penafsiran Al-Qur’an, bahwa nilai-nilai positif yang tawarkan hermeneutika sebagai pemantik munculnya penafsiran baru bagi masalah kontemporer patut diapresiasi penuh. Makna- makna segar atas Al-Qur’an harus terus dimunculkan, demi mewujudkan relevansinya. Sikap penganut paham hermeneutika yang tidak kaku dan rigid dalam menafsirkan sebuah teks, kiranya  perlu diakomodasi secara proporsional oleh para mufassir kontemporer saat ini dengan tetap memerhatikan kaedah-kaedah tafsir yang telah mapan.

Seperti apa yang disampaikan Al Ghazali pada bukunya  al-Iqtishad fi al-I’tiqad bahwa “ Janganlah seseorang berkutat pada teks hingga mengabaikan peran akal, dan jangan juga mendewakan  akal sehingga mengorbankan teks. Yang berpegang dengan nash-nash keagamaan saja tak ubahnya seperti orang yang menatap matahari secara langsung. Maka saat itu, dia seperti orang buta. Oleh karenanya perlu ada proses “sedemikian rupa” sehingga menerangi jalan dan mengantar ke tujuan yang diharapkan”. Hal serupa juga berlaku dalam proses penafsiran, semua  harus disertai beberapa ilmu yang mendukung. Dan pada akhirnya, apapun yang dipahami dari Al-Qur’an  bisa terus berkembang dengan apapun paradigma yang digunakan, termasuk dengan metode hermeneutika. []

Abdillah Amiril Adawy
Santri PP. Munawwir Krapyak sekaligus Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. Udh bagus nih, silakan dikembangkan lagi, mungkin tentang isu internasional kali ini ataupun problematika nasional juga oke. Semangatt berkarya bang!!

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini