Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada anak-anak dan remaja beberapa waktu terakhir, cukup menyita perhatian masyarakat. Tidak sedikit tindakan-tindakan asusila tersebut kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat kita. Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya pengetahuan anak perihal pendidikan seks, yang seharusnya mereka peroleh kali pertama dari orang tuanya. Sehingga, tanpa adanya pemahaman mengenai pendidikan seks, anak akan sulit untuk melawan perlakuan menyimpang tersebut.
Ironisnya, bagi sebagian orang tua dan masyarakat membicarakan seputar seksualitas kepada anak dianggap sesuatu yang tabu, bahkan tidak pantas untuk dibicarakan. Tak ayal, banyak orang tua yang tidak memberikan pemahaman perihal pendidikan seks pada anak, berdalih seorang anak akan mengetahui dengan sendirinya. Pun juga, pembahasan seksualitas kerap diidentikkan dengan orang dewasa semata.
Padahal, mengajarkan pendidikan seks kepada anak (sejak dini) bisa menjadi power yang akan membantu anak untuk membentengi diri dari risiko kekerasan maupun pelecehan seksual di kemudian hari. Apalagi di era teknologi seperti saat ini, pelbagai informasi dapat dengan mudah diakses lewat internet. Itu artinya, kemajuan teknologi sangat memungkinkan bagi sebagian besar anak dan remaja untuk memanfaatkannya sebagai media penolong dalam memenuhi rasa keingintahuannya seputar seksualitas.
Memang bagi sebagian orang tua, membahas seputar seksualitas pada anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kendati demikian, mengajarkan pendidikan seks merupakan suatu keniscayaan pada anak, agar ia tidak salah melangkah dalam hidupnya. Karena, orang tua adalah “pendidik pertama sekaligus aktor utama” yang paling tepat untuk memberikan pendidikan khususnya pendidikan seksualitas.
Namun demikian, pendidikan seks bagi anak (usia dini) bukan berarti mengajarkan bagaimana cara melakukan seks. Akan tetapi, menjelaskan perihal organ-organ yang dimiliki manusia cum fungsinya. Karena, pendidikan seks adalah upaya memberikan informasi atau mengenalkan (nama dan fungsi) anggota tubuh, pemahaman perbedaan jenis kelamin, penjabaran perilaku (hubungan dan keintiman) seks, serta pengetahuan tentang nilai dan norma yang ada di masyarakat berkaitan dengan gender. (Nawita: 2013)
Sehingga, dengan pemahaman yang dimilikinya, dia (seorang anak) akan mengerti perilaku yang tidak boleh dilakukan yang tergolong kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Pun juga, pengetahuan perihal pendidikan seks dapat mencegah seorang anak melakukan sesuatu hal yang bagi mereka seharusnya belum boleh dilakukan karena ketidaktahuannya. Karena, tujuan dari pendidikan seks adalah untuk “mengedukasi” anak agar berperilaku yang baik dalam hal seks sesuai dengan norma-norma agama, sosial dan kesusilaan, bukan malah sebaliknya (menimbulkan rasa ingin tahu untuk melakukan hubungan seks antar sesama). Dengan demikian, pendidikan seks dapat dikatakan sebagai cikal bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting.
Selain itu, yang tak kalah urgennya adalah pendidikan seks untuk anak sebaiknya diberikan sedini mungkin. Mengingat, saat usia 3 atau 4 tahun, seorang anak sudah mulai memperhatikan dunia di sekitarnya dan dia akan mulai belajar untuk mengenali tubuhnya sendiri dan membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Tanpa kita sadari, seorang anak mungkin akan mulai menyadari bahwa antara perempuan dan laki-laki itu berbeda.
Maka, saat anak mulai mengeksplorasi lingkungannya, di sinilah kesempatan bagi para orang tua untuk memberikan pemahaman dasar mengenai seksualitas (pendidikan seks). Tak hanya itu, pendidikan seks untuk anak juga sebaiknya diberikan secara bertahap selama anak masih berada di bawah asuhan dan pengawasan orang tua. Karena, para ahli psikologi menganjurkan agar anak-anak sejak dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seks yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaan mereka.
Dengan demikian, memberikan pemahaman tentang pendidikan seks bagi anak, adalah suatu keniscayaan yang harus selalu digalakkan oleh orang tua dan masyarakat sedini mungkin. Agar, hasrat untuk melakukan hal yang serupa (perilaku kekerasan seksual dan pelecehan seksual) dapat diminimalisir, sebab dia sudah memiliki bekal (pemahaman) yang utuh tentang pendidikan seks dalam dirinya. []