Akhir-akhir ini muncul fenomena dimana banyak selebriti beralih profesi menjadi Youtuber, dengan adanya wabah Covid-19, maka fenomena ini semakin marak. Meski, tidak sedikit dari mereka yang menjadikan aktivitas nge-YouTube hanya sebagai sampingan. Kontennya, ada yang berbicara seputar musik, podcast, daily vlog, sampai drama yang dibumbui dengan gimik sehingga memberikan efek klimaks.
Sayangnya, demi konten, ada beberapa Youtuber yang justru sering memamerkan harta di kanal YouTube-nya, baik itu mobil high class, rumah mewah, hingga tas-tas branded. Mereka membuat konten demikian karena ada traffic, atau segmentasi penonton tersendiri, disamping memang ada kepuasan batin, dan telah menjadi simbol kesuksesan. Meminjam istilah filsafat abad modern, tindakan para Youtuber yang suka pamer harta ini termasuk tindakan materialisme.
Materialisme merupakan gabungan dari dua kata, materi dan isme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), materi berarti benda, bahan, atau segala sesuatu yang tampak, sedangkan isme berarti paham. Secara sederhana, materialisme dapat dimengerti dengan pandangan yang menilai segala sesuatunya dari materi. Maka orang-orang materialis merupakan orang-orang yang hanya mementingkan aspek kebendaan/duniawi semata.
Bagi beberapa orang, perilaku pamer para Youtuber ini bukanlah suatu persoalan, karena hal ini dianggap bagian dari cara mereka berekspresi. Namun, beda soal ketika kita melihatnya dari sudut pandang teologis. Islam memiliki pandangan tentang materialisme, dan esensi materialisme dalam Islam justru dijadikan jalan untuk menggapai ridha dan pertolongan Allah swt., bukan untuk dipamerkan kepada orang lain. Allah berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imron/3: 14)
Di dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka mengutip pendapat dari Ar-Razi, dimana, konteks ayat ini diturunkan berawal dari cerita seorang bangsawan Arab Nasrani bernama Alqamah. Melihat saudaranya masuk Islam, Alqamah pun tergugah hatinya, namun ia takut harta bendanya akan di ambil oleh Raja Ramawi, yaitu Raja Heraclius. Kala itu, Raja Heraclius yang berkuasa di negeri Syam mengeluarkan sebuah maklumat untuk mengambil semua harta benda rakyatnya jika berpindah dari agama asal.
Lebih lanjut, Hamka menjelaskan terkait makna kata (زُيِّنَ) yang secara harfiah berarti “Diperhiaskan” atau “Dijadikan indah”. Menurut Hamka, kata tersebut bermakna setiap barang itu pada hakikatnya terdapat kebaikan dan keburukan. Sedang, ketika manusia telah menginginkan suatu barang, maka dalam barang tersebut yang terlihat hanyalah kebaikan.
Berbeda dengan Hamka, Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Mishbah membagi antara “Yang diperindah” dan “Yang dijadikan indah”. Menurutnya, yang diperindah di dalam ayat tersebut adalah (الشَّهَوَاتِ) yaitu kecenderungan hati untuk mencintai sesuatu yang bersifat indrawi atau materi. Sedangkan yang dijadikan indah adalah kecintaan (حُبُّ), yang di dalam ayat tersebut disebutkan ada enam materi.
Maka, perempuan, anak-anak, perhiasan, kuda, binatang ternak, dan sawah/ladang merupakan enam materi yang dijadikan indah oleh Allah swt. Dari apa yang dijadikan indah oleh Allah swt., kemudian diciptakan syahwat. Jika dicermati, diciptakannya syahwat memiliki hubungan erat dengan tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh. Keinginan untuk memiliki dan mencintai sesuatu yang bersifat materi merupakan bagian dari naluri manusia agar tetap hidup.
Setelah menyebutkan enam materi yang dijadikan indah oleh Allah swt., dilajut dengan kalimat (مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا) yang berarti itulah kesenangan hidup di dunia. Quraish Shihab menafsirkan kata (مَتَاعُ) dengan kesenangan yang bersifat sementara. Senada dengan penafsiran tersebut, Hamka juga menafsirkan bahwa kalimat ini secara eksplisit hendak memberitahukan, materi yang dijadikan indah itu hanya sekelumit kebahagiaan yang diciptakan oleh Allah swt. di dunia, dan tidak akan dibawa sampai ke akhirat.
Di akhir ayat, terdapat kalimat (وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ) yang berarti dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Kalimat ini menunjukkan dua makna; 1.) bahwa tujuan utama diciptakannya hubb al-syahawat dan enam materi tersebut adalah untuk kembali kepada Allah swt. 2.) mengisyaratkan bahwa hubb al-syahawat dan enam materi tersebut pada hakikatnya baik, bukan hanya dalam arti asalnya tetapi juga pada wujud tindakannya.
Terkait poin kedua, memang, syahwat itu jika dilakukan sesuai dengan yang digariskan oleh Allah swt., yaitu untuk memperindah, maka wujudnya akan baik. Namun ketika syahwat itu dilakukan dengan dasar hendak berbuat buruk, maka wujudnya pun akan buruk, dan syahwat semacam ini telah mendapat campur tangan dari bangsa jin.
Dalam konteks para Youtuber yang suka memamerkan harta benda, maka perilaku semacam ini tergolong riya’. Hal ini merupakan bentuk syahwat yang tidak dikehendaki oleh Allah swt. Lantas bagaimanakah kita dapat menghindarinya? Tentunya dengan menyeimbangkan antara pandangan materialisme dengan tindakan spiritualisme.
Dengan meningkatkan kualitas ibadah, maka akan muncul ketakwaan, dan diantara cerminan seorang yang bertakwa adalah akhlaq al-karimah. Singkatnya, Allah swt. tidak melarang manusia untuk mencintai harta, asal manusia dapat memanfaatkan harta dengan baik dengan memberi kemanfaatan bagi orang lain dan dirinya.
Akhir kalimat, semoga Allah swt. selalu menjaga kita dari fitnah dunia-akhirat, dan memberi tempat terbaik di surga kelak. Aamiin Ya Robbal Alamin. [HW]
Semangat berkarya kakak 🙂
MasyaAllah 👏