Keinginan dikenal dan terkenal kiranya tidak bisa dinafikan dimiliki oleh pribadi setiap orang. Begitupun juga dengan yang dialami sebagai seorang penulis. Ia dikenal dengan buah karya tulisannya.
Hingga kemudian, fenomena orang sering mencoba mengirimkan tulisan ke media mainstream adalah sebuah kewajaran yang mutlak. Terkhusus dikalangan mahasiswa.
Dalam proses menjadi penulis yang ingin tulisannya dimuat pada media yang diinginkan, kiranya sebuah penolakan adalah bumbu pedas yang harus dimakan setiap waktu. Ada yang ditolak dengan cara halus dan mendapat catatan perbaikan dari redakturnya lewat email. Ada pula yang ditolak dengan cara cuek, yakni penulis dibiarkan menunggu berbulan-bulan tanpa kabar. Hingga ada juga yang telah mengirimkan dua puluh tulisan ke satu media, dan hanya satu yang berhasil dimuat. Tapi ada yang baru mengirim satu tulisan langsung dimuat.
Masing-masing mahasiswa penulis bervariasi dalam menerima sebuah pengalaman, untuk menjadi seorang penulis. Namun bagaimanapun semua itu pasti dimaknai sebagai sebuah pembelajaran, penempaan diri. Meskipun dengan umpatan kata terpaksa dalam hati yang harus diterima.
Selain itu, alasan menjadi penulis bagi mahasiswa tentu bermacam-macam. Pertama, memang ingin menjadi seorang penulis. Kedua, menulis adalah kerja sampingan untuk mendapat uang tambahan bagi mahasiswa. Ketiga, menulis adalah hobi, Keempat, menyuarakan gagasan. Kelima, keinginan untuk dikenal dengan tulisan (karya), atau alasan lainnya.
Kiranya alasan yang kelima cukup menarik dibahas. Yakni menulis untuk dikenal dan terkenal.
Seorang penulis memang hidup dalam dunia kata-kata. Hingga apa yang dituliskan adalah sebuah amunisi masa depan yang dapat membuatnya hidup selamanya dan abadi. Seperti apa kata Pramoedya, menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Kata-kata Pram kiranya masih cukup relevan hingga hari ini. Hal itu juga dialami pada diri Pram sendiri. Seperti lazim kita ketahui bersama bahwa kita masih bisa mengenal Pram dengan karya fenomenal yang telah dihasilkannya, yang dikenal tetralogi Pulau Buru.
Dengan membaca karyanya, seolah kita sedang berkenalan dengan seorang Pram. Buah pemikirannya tak lekang dari perkembangan zaman. Memang saya tidak bisa mengatakan bahwa Pram menulis untuk dikenal dan terkenal. Tapi kita dapat menarik benang merah, bahwa dikenal dan terkenal adalah bonus.
Paradoks Dikenal dan Terkenal
Meskipun keinginan dikenal atau dipahami adalah satu hal yang masih mengandung perdebatan. Tapi di sisi lain kita memang bukanlah seorang Nietchse yang tidak ingin dipahami oleh orang lain. Sebab ia beranggapan bahwa ketika orang memahaminya merupakan satu problem yang justru dapat mendatangkan masalah bagi orang yang ingin memahaminya tersebut. Namun itu adalah Nietchse bukan sebagian penulis yang ingin dikenal dan terkenal.
Bukan hanya penulis, namun kiranya keinginan untuk dikenal juga ada pada kerja-kerja yang lain. Karyawan ingin dikenal oleh atasan dengan kinerjanya, pengrajin kayu dikenal dengan hasil kerajinan olahannya, seperti kursi, meja dan lainnya, hingga seorang perempuan pun berusaha supaya rasa dalam dirinya dapat dipahami oleh lelaki pasangannya.
Namun penulis tetaplah penulis, yang bergelut dengan kata-kata, dan pemikirannya. Sebab bukan bentuk tulisannya saja yang dikenal. Tapi muatan nilai bahasan yang dapat dikenal dan mengenang disanubari pembaca, hingga keabadian itu ada dalam diri penulis.
Hal itu secara tidak langsung mengandung makna bahwa, kita telah dituntut untuk membuat tulisan yang bernilai gizi (berbobot). Dalam hal ini adalah upaya untuk mengajak pembaca berdialektika dengan tulisan yang telah dibuat. Di mana kemudian tulisan tersebut menjadi asupan intelektual bagi pembaca. Bermanfaat bagi diri dan bagi orang lain.
Selain itu kiranya, sebuah dikenal dan terkenal, jika memahami secara kontekstual dalam hal seorang penulis adalah bonus, atas buah karya pikiran yang dihasilkan. Di mana tatkala kita hanya mengacu pada kata “ingin” dikenal, terkenal, dipahami dan kata ingin lainnya, maka bersiap-siaplah untuk kecewa jika tak kunjung tercapai.
Meski begitu yang paling utama adalah membudayakan menulis. Sebagai upaya untuk menjaga agar nalar kritis dan kemanusiaan kita tetap hidup. Sebab seperti lazim diketahui bahwa seorang penulis tidak jauh dari aktivitas membaca.
Maka dari itu kiranya kita perlu belajar dari eksistensi penulis dari beberapa tokoh ini, Gus Dur, Mahbub Djunaidi. Mereka adalah sekian banyak tokoh yang menurut saya gemar menulis semasa hidupnya, di beberapa media. Hingga kemudian beberapa kolom tulisannya dibukukan. Melalui karya tulisnya dapat diakui ia sekarang masih tetap hidup. Hingga kemudian kita bisa mengenalnya melalui karya-karyanya. Seolah kita sedang berdialog dengan sang penulis.
Selain itu dibuktikan dengan masih sering dikaji hasil dari pemikirannya dalam bentuk tulisannya tersebut, tak henti-hentinya dikaji dari berbagai kalangan. Kiranya Gus Dur dan Mahbub Djunaidi hari ini dan seterusnya sedang menikmati bonus dari kebiasaannya menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan kini Gus Dur dan Mahbub Djunaidi abadi dalam tulisan dan gagasan pemikirannya yang ditinggalkan.
Lahumul fatihah… Untuk beliau Gus Dur dan Mahbub Djunaidi. [HW]