Adab Dalam Menghadapi Perbedaan Madzhab

Berbicara tentang madzhab islam, tentu muncul banyak madzhab yang di jadikan umat islam seluruh penjuru dunia dalam menentukan sebuah hukum. Mulai dari hanabilah, malikiyah, hanafiyah sampai syafi’iyah. Tentu keempat Imam besar kelas atas tersebut mempunyai metode penggalian hukum (istinbath) masing-masing. Lalu bagaimana adab kita sebagai umat muslim menanggapi persoalan tersebut?  Mari simak sedikit ulasan di bawah ini.

Berangkat dari kata madzhab. Apa itu madzhab?  Madzhab adalah mengikuti hasil ijtihad seseorang Imam tentang hukum suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah istinbath-nya[1]Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 1995), 86. Dalam metode penggalian hukum inilah muncul perbedaan pendapat di antara ke empat madzhab tersebut.

Lalu, bagaimana sikap kita dalam menghadapi perbedaan tersebut? Perlu di garis bawahi, bahwasanya madzhab empat di atas masih dalam ajaran islam, bukan agama lain. Dalil dasar hukum madzhab tersebut juga al-quran dan hadist, bukan kitab lain. Perbedaan di sini hanya metode penggalian hukum.

Dilihat secara faktual memang benar, potensi intelektual manusia yang di berikan oleh Allah. Swt jelas berbeda. Dengan adanya potensi itulah menjadi mustahil bahwa seluruh umat manusia dapat menarik kesimpulan yang sama ketika di hadapkan oleh ayat-ayat al-qur’an dan al hadits. Mulai dari nash dalam al-quran, ungkapan dan uslûb (gaya bahasa) al-quran, sampai hadits-hadits nabi yang nota benenya berbahasa arab pasti mempunyai multi interpretasi (ta’wil) baik berupa ungkapan maupun susunan tarkîb-nya.

Adapun tinjauan secara syar’i di lihat dari tsubût-nya di bagi menjadi dua. Dengan perincian Yang pertama yaitu qath’i seperti al-quran dan hadits mutawatir. Dan yang kedua yaitu dzannî seperti hadits ahad. Tentu tidak ada perbedaan untuk menggali argumen (istidlal) dalam konteks dalil-dalil qath’i. Namun tidak demikian dengan penerapan konteks dalil dzannî.

Hal yang serupa juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariah. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah tidak selalu qath‘i. Sebab, ada yang qath‘i, dan ada juga yang dzannî. Dalam konteks dilâlah qath‘i, tentu tidak ada perbedaan pendapat mengenai maknanya, akan tetapi bagaimana dengan dilâlah dzannî? Tentu tidak demikian sobat.

Baca Juga:  Menghadapi Perbedaan Individu

Sebab itulah, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan beberapa madzhab itu merupakan sebuah keniscayaan. Benar. Bukan semerta-merta keniscayaan tersebut menjadi sesuatu yang mutlak dalam segala hal.

Hadits nabi yang menyatakan bahwa “perselisihan (pendapat) antara umatku adalah Rahmat” itu menunjukan bahwasannya perbedaan pendapat adalah Rahmat, bukan kebencian, bukan caci maki, dan bukan cemoohan. Namun tanpa di sadari, kebanyakan umatnya senang memperkeruh permasalahan yang seharusnya menjadi Rahmat kini berubah menjadi benih-benih kebencian.

Tindakan tersebut di sebut memonumenkan fiqh dan fuqaha’(ahli fiqh)  itu melahirkan sikap, bahwa “fiqh-ku” yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah.  “fuqaha’-ku” juga dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap semacam inilah yang bisa berubah menjadi fanatisme mazhab, dan juga menjerumuskannya dalam tindakan mengkafir- kafirkan atau menyesatkan fiqh dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fiqh dan hanya mazhabnyalah yang benar.

Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan umat muslim dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi pada masa silam. Persoalan ini tentu harus di jadikan sebuah pelajaran bagi semua umat ber-madzhab. Bukan hanya umat saja namun mencakup semua khalayak beragama islam. Mulai dari tokoh agama, pemuka agama, Kyai, Ulama, dan para pengikutnya. Dimana madzhab satu sama lain harus saling menguatkan, bukan menjatuhkan. Sebagimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Baca Juga:  Perbedaan Kata رحمة dan رحمت dalam Al-Qur'an, dan beberapa Variannya (Keunikan Simbol dalam Al-Qur'an)

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” QS. Ali ‘Imran[3]:103

Di ambil dari tafsir al-jalalain (Hal.51, Daar Kutub Ilmiah Lebanon, Beirut 2013) dari keterangan ayat di atas adalah Berpegang teguhlah kamu dengan agama allah, kesemuanya dan janganlah kamu berpecah belah setelah menganut Islam, serta ingatlah nikmat Allah (yakni karunia-Nya) kepadamu hai golongan Aus dan golongan Khazraj, ketika kamu (yakni sebelum Islam bermusuh-musuhan), maka dirukunkan-Nya (dihimpun-Nya), di antara hatimu melalui Islam (lalu jadilah kamu berkat nikmat-Nya bersaudara) dalam agama dan pemerintahan, padahal kamu telah berada dipinggir jurang neraka sehingga tak ada lagi pilihan lain bagi kamu kecuali terjerumus ke dalamnya dan mati dalam kekafiran (lalu diselamatkan-Nya kamu daripadanya) melalui iman kalian. (Demikianlah) sebagaimana telah disebutkan-Nya tadi (Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya supaya kamu memperoleh petunjuk).

Mari, adab tersebut kita mulai dari pribadi diri kita masing-masing. Untuk meredam sikap-sikap yang menimbulkan perselisihan antar umat ber-madzhab. Dengan tidak meninggi dan merendahkan satu sama lain. Menyelaraskan kehidupan sesama,  saling menghormati perbedaan. Untuk tujuan islam yang Indah, yaitu islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sekian dan terima kasih. []

Muhammad Nur Afif
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

    Rekomendasi

    Karamah

    Mati Selagi Hidup

    Setiap orang adalah pelaksana dari prinsipnya sendiri. Itu artinya, pihak yang paling bertanggung ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini