Nahdlatul Ulama dan Etika Pesantren

Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Dakwah Diniyah wa Ijtima’iyyah[1] yang didirikan tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah bertepatan tanggal 31 Januari 1926, merupakan sebuah Jam’iyyah yang didirikan oleh para Kyai Pesantren yang kala itu dianggap sebagai golongan “Islam Tradisional” dan benar-benar berangkat dari kesederhanaan serta keprihatinan. Keprihatinan akan nasib bangsa dan negara serta keprihatinan akan derasnya arus pembaharuan Islam yang ditengarai dapat mengancam keutuhan persatuan sesama umat Islam.

Perjalanan dinamika organisasi Nahdlatul Ulama sejak berdirinya, tidak hanya menjalankan fungsi dakwah ke-agama-an semata. Nahdlatul Ulama terbukti dapat berjalan bersama kepenfingan negara yang kala itu membutuhkan peran penting Kyai Pesantren. Bukan hanya peran spiritual untuk melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, tapi juga peran menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama berjuang meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

NAHDLATUL ULAMA TERBENTUK DARI PESANTREN

Berkumpulnya para Kyai Pesantren Jawa-Madura yang didasari pemikiran dan pengalaman merasakan hal yang sama pada masa kolonialisme merupakan titik awal terbentuknya Nahdlatul Ulama. Jam’iyyah ini memang digagas oleh Kyai Pesantren, seperti yang dijelaskan dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama bahwa Nahdlatul Ulama didirikan oleh ulama pondok pesantren[2] (PBNU 2022).

Para Kyai Pesantren tersebut adalah para Kyai Pesantren Salafiyah[3] yang memegang tradisi etika pesantren dari hasil akulturasi dan inkulturasi budaya Jawa yang berakar pada ajaran Hindu-Buddha. Nilai-nilai tradisi pesantren sangat kental di dalam jam’iyyah besutan para Kyai Pesantren ini. Dapat terlihat dari bagaimana sosok Kyai yang sangat dihormati oleh para anggota dalam organisasi ini, yang diposisikan sebagai Santri dari para Kyai Pesantren.

Hubungan Kyai-Santri tersebut dapat terlihat salah satunya dalam administrasi organisasi, khususnya dalam hal kepemimpinan. Kepemimpinan dalam Nahdlatul Ulama dipercayakan kepada sosok Kyai karismatik seperti yang umum dijalankan dalam Pesantren (meski tidak sepenuhnya seperti itu). Etika kepemimpinan tersebut dianggap oleh sebagian kalangan sangat tidak modern, meski nyatanya Nahdlatul Ulama masih eksis hingga saat ini. Pola kepemimpinan ala Pesantren ini memang tidak mencerminkan pola administrasi dan manajemen organisasi modern. Meski demikian, Nahdlatul Ulama dapat terus eksis hingga kini dengan pola kepemimpinan Kyai Pesantren tersebut, yang menurut Nurcholis Madjid[4] menjadikan organisasi tidak dapat menentukan visi dan tujuan sehingga perlu dibenahi.

Baca Juga:  Resmi Berdiri, STITMA Siap Mencetak Mahasiswa yang Alim, Saleh, dan Kafi

Model kepemimpinan ala Pesantren yang secara otomatis berlaku menjadi iklim ber-organisasi dalam Nahdlatul Ulama juga terlihat jelas dengan ditetapkannya Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar. Hal tersebut sejatinya tidak terlalu berlebihan jika dilihat dari latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh para Kyai Pesantren. Beliau Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah tokoh pemikir dan pencetus berdirinya Nahdlatul Ulama yang juga merupakan tokoh ulama karismatik. Pola kepemimpinan Pesantren sangatlah jelas ditunjukkan oleh beliau. Setidakya, dapat kita lihat pada dawuh[5] yang masyhur di kalangan Nahdlatul Ulama ; “Sing sopo wonge gelem ngopeni NU tak anggep santriku, sing sopo wonge dadi santriku tak dongak ake husnul khatimah sak anak putune”. Menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama berakar pada etika Pesantren, dimana Kyai sebagai pemimpin dan para anggota/warga di dalamnya adalah Santri.

Nahdlatul Ulama memang berangkat dari gagasan besar para Kyai Pesantren. Begitu halnya kemudian dengan model ber-organisasi di dalamnya yang kental dengan etika pesantren. Kepemimpinan dalam Nahdlatul Ulama bukan hanya sekedar pimpinan sebuah organisasi. Lebih dari itu, pemimpin di Nahdlatul Ulama dalam berbagai tingkatan merupakan sosok seorang guru/kyai yang tidak hanya dihormati sebagai pimpinan namun disegani karena karismanya sebagai seorang Kyai.

ETIKA PESANTREN DALAM NAHDLATUL ULAMA

Etika Pesantren yang tumbuh dan berkembang di Nusantara [Indonesia], dapat disepakati berasal dari hasil akulturasi dan inkulturasi penyebar agama Islam yang masuk ke Nusantara khususnya Jawa. Mereka memasukkan Islam ke Jawa tidak menggunakan pola futhuhat[6], namun lebih pada pendekatan akulturasi serta inkulturasi budaya serta kepercayaan yang telah ada sebelumnya di Jawa yakni pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Banyak peninggalan naskah kuno di Jawa yang jika dicermati merupakan nilai-nilai etika yang dipraktekkan pesantren salafiyah pada umumnya.

Baca Juga:  Pengolahan Sampah Plastik Menjadi Paving

Etika Pesantren yang merupakan hasil akulturasi dan inkulturasi Hindu-Buddha tersebut, bukan berarti Islam menjadi “anak budaya” (subkultur) Jawa atau Islam di Pesantren menerapkan sistem sinkretisme atau bahkan merendahkan Islam. Justru semakin menguatkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang dipraktekkan umat Hindu-Buddha di Jawa merupakan nilai-nilai yang diajarkan Islam.

Penggunaan istilah Kyai untuk menyebut seorang guru merupakan istilah yang digunakan masyarakat Jawa. Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh Kyai-kyai Pesantren pun menggunakan penyebutan tersebut di dalam pergaulan ber-organisasi nya sehari-hari. Bahkan lebih jauh dari hanya pemaknaan Kyai sebagai seorang yang dihormati, sosok Kyai dalam Nahdlatul Ulama pun menempati posisi sebagai gurubhakti[7] yang sangat ditinggikan derajatnya. Gurubhakti yang di-akulturasi kan dalam etika Pesantren dan dipraktekkan dalam Nahdlatul Ulama juga dapat dilihat dari re-generasi yang terjadi dalam Nahdlatul Ulama. Seorang Kyai yang aktif dalam Nahdlatul Ulama, akan menurunkan seorang anak hingga beberapa generasi selanjutnya yang tetap akan diperhitungkan dalam dinamika ber-organisasi di Nahdlatul Ulama.

Etika Pesantren yang berakar pada inkulturasi nilai-nilai ajaran Hindu-Buddha juga akan selaras dengan sebuah kalam hikmah yang masyhur di kalangan Nahdlatul Ulama, yakni ; al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik). Bahwa kemudian Nahdlatul Ulama berjalan dengan etika pesantren hingga saat ini, merupakan sebuah penghormatan atas sosok para pendirinya dan pola ber-organisasi menggunakan etika pesantren tersebut masih dianggap yang terbaik dalam Nahdlatul Ulama.

Dengan demikian, sejauh manapun Nahdlatul Ulama akan mengikuti perkembangan zaman dalam dinamika organisasinya maka Nahdlatul Ulama tetaplah sebuah organisasi khidmat (pelayanan) yang tidak akan jauh dari etika pesantren. Silih bergantinya kepemimpinan serta lalu lalangnya kemajuan pemikiran para kadernya pada setiap zaman yang dilaluinya, Nahdlatul Ulama tetaplah sebuah organisasi yang memegang etika pesantren. Hal tersebut sekaligus memberi signal dan peringatan pada para kadernya untuk tidak lalai dalam ber-khidmat dalam Nahdlatul Ulama bahwa organisasi ini bukanlah organisasi yang didirikan dan dijalankan seperti halnya organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang “luarbiasa”[8], yang tetap meneguhkan eksistensi di Indonesia bahkan dunia sebagai organisasi yang kuat dan semakin kuat. Memasuki abad kedua keberadaannya, Nahdlatul Ulama membuktikan bahwa organisasi yang terbangun dengan etika pesantren ini, dan dianggap tidak modern dalam administrasi dan manajemennya ternyata semakin “digdaya” dan semakin besar di berbagai belahan dunia. []

Baca Juga:  UU TPKS: Sarana Menghanguskan Kekerasan di Lingkup Pesantren

 

[1] Organisasi Dakwah Agama [Islam] dan Sosial Kemasyarakatan

[2] Anggaran Dasar NU Bab I Pasal 1 Nomor (2) Nahdlatul Ulama didirikan oleh ulama pondok pesantren di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 Masehi untuk waktu yang tidak terbatas.

[3] Salafiyah berakar pada kata “salaf” yang artinya “yang telah lalu”. Salafiyah berarti “mengikuti golongan yang telah lalu”.

[4] Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 2010).

[5] Dawuh adalah ucapan/ungkapan seseorang yang mengandung perintah.

[6] Pola expansi militer dan penaklukan melalui perang.

[7] Seseorang yang dihormati karena ilmu dan karismanya. Bukan hanya yang bersangkutan, namun hingga anak keturunannya akan dihormati. Istilah ini banyak disebutkan dalam naskah-naskah Jawa kuno seperti dalam Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana.

[8] Baca Muhammad Arief Albani, Memahami Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Cipta Media Nusantara, 2021)

Muhammad Arief Albani
Penulis adalah alumni Pesantren Tebuireng, saat ini berdomisili di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dan aktif sebagai Pengurus Cabang LTN NU PCNU Banyumas serta ISNU Banyumas. Sebagai Ketua Koperasi Nusantara Banyumas Satria (NUMas) yang bergerak di bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Pertanian di Kabupaten Banyumas. Penulis saat ini aktif ber-Khidmat pada Pondok Pesantren Bani Rosul Bantarsoka, Purwokerto Barat, Banyumas, Jawa Tengah yang didirikan oleh Si Mbah KH. Zaenurrohman bin KH. Ahmad Fauzan (Jepara) bin KH. Abdul Rosul (Penggung).

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini