Dekat lokasi makam Mbah Canthing, berdiri Yayasan Nahdhotul Muta’allimin yang diasuh KH Riyanto. Dia adalah tokoh agama yang asli desa Mlorah. Kiai yang hobi memancing ini pernah menimba ilmu lama di Pesantren Sewulan Madiun.
Meski belum memiliki santri mukim, kegiatan lembaga ini sebagaimana pesantren pada umumnya. Baik pengajian kitab secara rutin maupun mengaji al-Qur’an bagi anak-anak dan dewasa. Santrinya diakui ada yang berasal dari luar desa, bahkan dari luar kecamatan.
Lokasi lembaga Islam ini sering disebut pojok’an Desa Mlorah. Secara administrasi, desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk. Wilayah Desa Mlorah dibagi lagi menjadi lima dusun, yaitu Mlorah, Ngrandu, Sugihan, Tugu dan Sugihwaras.
Desa Mlorah berada di lokasi strategis, karena dilewati jalur provinsi yang menghubungkan wilayah Kabupaten Nganjuk dengan Kabupaten Bojonegoro. Desa ini hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari pintu gerbang Nganjuk jalur tol trans Jawa.
Jumlah penduduk Desa Mlorah, berdasar data BPS Nganjuk (2023), sebanyak 6.527 jiwa. Terdiri dari laki-laki 3.238 jiwa dan perempuan 3.289 jiwa. Kesemua warga Desa Mlorah memeluk agama Islam dan mayoritas berasal dari suku Jawa. Mata pencaharian didominasi petani, meski juga banyak yang bergerak di perdagangan, industri, swasta, TNI/Polri, PNS dan sebagainya.
Makin Manfaat
Kawasan pojok’an Desa Mlorah, secara administrasi masuk wilayah RW 01. Tepatnya di ujung barat Jalan Pangeran Diponegoro. Akses masuk hanya berupa gang sempit yang diberi paving. Panjangnya sekitar 200 meter dari jalan desa. Lebarnya hanya mampu dilewati mobil dengan ukuran kecil.
Pekarangan berbatasan langsung dengan sungai kecil dan persawahan di sisi utara. Pada sisi barat, berbatasan dengan wilayah Dusun Jati Desa Jatirejo. Sedangkan di sisi selatan berupa jalan desa yang menghubungkan ke akses luar. Di sisi timur berbatasan dengan pekarangan milik warga sekitar.
Dahulu lokasi ini diakui warga sekitar sangat angker. Meski di siang hari. Ini karena makam Mbah Canthing dikelilingi pekarangan kosong dan bambu lebat. Tidak jarang lokasi ini disalahgunakan hal-hal negatif. Terutama terkait perjudian.
Di pojok’an sekarang sudah berdiri mushala sederhana. Di sebelah utara tidak jauh dari mushala terdapat bangunan beberapa ruang belajar. Termasuk gazebo yang diperuntukkan mengaji anak-anak.
Di timur gazebo terdapat makam Mbah Canthing. Dia adalah penghulu di Kerajaan Mataram Islam yang kemudian bergabung ke laskar Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Pasca perang, dia akhirnya hijrah ke Desa Mlorah. Untuk menghindari penangkapan Belanda, dia berganti nama Mbah Canthing dari nama aslinya Tumenggung Sri Moyo Kusumo.
Sebelah makam Mbah Canthing sudah dibangun sebuah joglo berukuran sekitar 5x6 meter. Di depannya terdapat tumpukan batu sebagai tanda (Jawa: tetenger) bahwa terdapat makam kuno di bawahnya.
Sekitar dekade 1980-an, di atas makam masih ada dua batu nisan kuno. Di sebelahnya juga ada sumur kuno yang airnya sangat jernih. Tapi semua itu sudah tidak ada pada masa sekarang.
Tanah yang berada di sekitar makam awalnya berasal dari wakaf keturunan Mbah Canthing. Menurut penuturan Damis (2017), keturunan kelima Mbah Canthing, inisiatornya adalah Wariyem, generasi ketiga Mbah Canthing.
Hal itu didasari kenyataan bahwa keturunan Mbah Canthing tidak ada yang berani tinggal di situ. Suasana angker dan masih jauh dari permukiman penduduk lainnya menjadikan empat bersaudara Wariyem mewakafkan tanah itu. Oleh pihak penerima wakaf, juga dilakukan perluasan dengan cara pembelian.
Kondisi masa sekarang berbeda di era 1980-an. Lokasi pojok’an sudah ramai sebagaimana pelosok-pelosok lainnya di Desa Mlorah. Sudah berdiri banyak rumah warga di sekitar pojok’an. Aktivitas keseharian warga, baik mencari mata pencaharian maupun beribadah, berlangsung terus menerus setiap hari.
Kini setiap setelah Maghrib, menurut KH Riyanto (2024), juga digunakan mengaji santri putri. Sedangkan yang putra di mushala. Kiai enam cucu ini menambahkan, kegiatan di lokasi ini diakui bisa menghapus aktivitas negatif pada masa sebelumnya. Meski harus secara perlahan dan membutuhkan waktu lama.
Setiap malam Jumat di mushala rutin digelar istighasah, tahlil dan pengajian kitab Ta’lim Muta’allim. Khusus malam Jumat Kliwon, jamaah yang hadir kadang dari luar kecamatan, seperti Berbek. Sukomoro, Loceret, Gondang dan Ngluyu. Juga diisi ceramah oleh Kiai Abdul Azis Syukur, katib syuriah MWCNU Rejoso.
Pengajian bagi anak-anak digelar sore hari dan setelah Maghrib. Metodenya memakai Ummi. Jumlah santri yang sore lebih dari 80 anak. Sedangkan setelah Maghrib tidak kurang 30 anak. Baik putra maupun putri.
Sedangkan setiap malam Jumat Pahing, lokasi istighasah dan tahlil dipindah ke joglo timur makam Mbah Canthing. Ini karena menurut warga di sini, kelahiran desa Mlorah pada hari itu.
Ditambahkan Heri Susanto (2024), para santri yang mengaji di lembaga sini juga dibekali keterampilan. Baik keterampilan mengoperasikan komputer maupun mengemudi mobil. Tentu jadwalnya di luar rutinitas mengaji setiap hari.
KH Riyanto ke depan berharap lembaga yang dikelola bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat. Sesuai tujuan awal para pewakaf tanahnya. Sehingga hasil pengabdiannya bisa dipetik para generasi penerus nantinya.
Penulis: Mukani (Pengurus LTN PWNU Jawa Timur)