Pernikahan beda agama bukan lagi menjadi isu baru tetapi tetap menarik untuk di simak dan diperbincangkan. Apalagi munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang pencatatan perkawinan umat yang berbeda agama menambah sengkarut dalam perdebatan antar kalangan. Kemunculan SEMA tersebut menambah daftar kebijakan Mahkamah Agung yang kontroversial yang sebelumnya juga mengeluarkan SEMA Nomor 3 tahun 2018 tentang penolakan isbat nikah poligami siri.
Kendati demikian yang perlu kita pahami bersama adalah sebelum keluarnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, persoalan perkawinan beda agama sudah di perdebatkan di ruang publik. Duaslime pemikiran antara pendukung (pro) dan penentang (kontra) perkawinan beda agama di Indonesia masih terjadi dengan berbagai macam benturan argumentasi khususnya terkait interpretasi teks agama (al-Qur’an dan Hadis). Akan tetapi terdapat alasan lainnya yang menjadi dasar polemik perkawinan beda agama di Indonesia, lantas apa saja itu?
Benturan Pemahaman Hukum Perkawinan
Hal pertama yang menjadi dasar polemik perkawinan beda agama di Indonesia adalah distraksi pemahaman hukum perkawinan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menimbulkan multi interpretasi di kalangan penentang (kontra) dan pendukung (pro) perkawinan beda agama. Pasal tersebut berbunyi “(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Bagi kalangan yang mendukung perkawinan beda agama, pasal 2 UUP tidak menunjukan adanya larangan kawin beda agama, bahkan segelintir kelompok ini memberikan interpretasi bahwa perkawinan beda agama di bolehkan menurut UUP dengan cara melaksanakan berdasarkan tata cara masing-masing agamanya sebagaimana yang dilakukan oleh Ayu dan Gerald pada tahun 2022 silam.
Tidak hanya itu, kalangan yang pro juga mengemukakan bahwa UUP tidak mengatur kawin beda agama, sehingga membuka ruang untuk melakukan perkawinan beda agama yang diakui oleh negara (tercatat). Prinsipnya adalah selama tidak ada peraturan yang mengatur maka perkawinan beda agama dinilai sah-sah saja. Hal ini juga di dukung dengan celah hukum untuk mengakui kawin beda agama melalui putusan pengadilan yang terpampang dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) serta yurisprudensi Mahkamah Agung tentang perkawinan beda agama Nomor 1400/K/Pdt/1986.
Sedangkan kalangan yang menolak perkawinan beda agama memahami bahwa pasal 2 UUP merupakan bagian yang integral dengan filosofi UUD sebagai living law bangsa Indonesia. Sehingga perkawinan bisa dikatakan sah apabila memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) yaitu sah menurut agama dan negara yang memiliki akibat hukum yang sah juga. Hal ini ada kaitannya dengan pasal 8 huruf f UUP yang dikategorikan sebagai syarat mutlak melaksanakan perkawinan.
Jadi kalangan yang kontra terhadap kawin beda agama berargumentasi bahwa pasal 2 UUP sudah sangat jelas (plain meaning) sehingga tidak mungkin di lakukan reinterpretasi, ditambah, ataupun dikurangi. Belum lagi PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP pada pasal 10 yang kembali menguatkan bahwa tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai legal formil juga memperbincangkan syarat perkawinan tidak boleh melanggar UUP, sehingga pasal 39 sampai 44 tentang larangan perkawinan sebagai lex specialist dari UUP.
Benturan pemahaman tersebut mengakibatkan gemuruh dalam diskusi kawin beda agama di Indonesia. Antara kalangan yang mendukung dan menolak memiliki basis argumentasi sendiri yang menguatkan pendapatnya. Keduanya juga membenturkan UUP dengan UUD 1945 yang dari kalangan pendukung kawin beda agama menyatakan terjadi shifting paradigm (penyimpangan paradigma), sehingga muncullah pernyataan UUP tidak sesuai dengan pancasila, dan UUD 1945 pasal 28 ayat (1), pasal 28 huruf e, pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2). Berbeda dengan kalangan penentang yang menyatakan bahwa hukum materil UUP dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) dan pasal 8 huruf f tidaklah berlawanan dengan UUD 1945.
Antara Universalitas HAM dan Relativitas Budaya
Dasar polemik kawin beda agama selanjutnya adalah terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan relativitas budaya lokal, bagi kalangan pendukung mereka berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan bagian dari HAM yang di jamin oleh konstitusi. Karena itu negara harus hadir memberi perlindungan hukum terhadap perkawinan beda agama. Kalangan ini menilai universalitas HAM tidak memiliki perbedaan, dan harus sama dimanapun dan kapanpun dalam pelaksanaannya. Mereka memposisikan HAM sebagai nilai-nilai yang universal seperti yang terdapat dalam international Bills of Human Right yang menyatakan bahwa HAM secara alami dimiliki oleh setiap orang.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (UDHR) yang diumumkan oleh PBB tahun 1948 menjadi rumusan dasar yang tidak boleh dibantah dan diganggu gugat. Pasal 16 menjadi tendensi utama terkait perkawinan beda agama yang memiliki persamaan hak dalam perkawinan dan bebas pilihan serta persetujuan kedua belah mempelai. Kalangan pendukung juga menyimpulkan bahwa universalitas HAM sudah diakomodir oleh legal materil berupa UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya pada bagian kedua tentang hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan serta bab kelima terkait hak atas kebebasan pribadi.
Akan tetapi paham universalitas HAM terhadap kawin beda agama di tentang oleh kalangan yang kontra. Kalangan ini mengkritik bahwa HAM tidak bisa secara penuh memiliki sifat universal sebab terdapat budaya yang menjadi suatu resepsi dari sekelompok masyarakat. Mereka beranggapan bahwa budaya merupakan sumber mutlak keabsahan hak dan moral. Inilah mengapa HAM sangat penting untuk dipahami berdasarkan konteks lokalitas budaya. Sehingga penerapan HAM harus relevan dengan irisan sosial budaya bangsa Indonesia, sebab setiap kebudayaan memiliki hak untuk hidup dan memiliki martabat yang harus dihargai.
Bagi kalangan ini, mereka tidak menerima HAM ketika bertentangan dengan relativitas budaya. Sebab dalam konteks budaya, perkawinan beda agama bukan merupakan identitas nilai dan moral bangsa Indonesia yang memiliki prinsip ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalangan ini menyatakan perkawinan yang dibenarkan dalam lokalitas budaya adalah apabila menikah dengan sesama agama dan satu iman berdasarkan prinsip keyakinan dan tata caranya masing-masing.
Dengan demikian dapat dipahami disamping perdebatan soal teks agama tentang kawin beda agama, terdapat persoalan lain yang menjadi dasar polemik, yaitu tentang pemahaman UUP dan universalitas HAM terkait dengan perkawinan beda agama. Terlepas dari itu, kontestasi antara kalangan pro dan kontra menambah khazanah wawasan keilmuan kita tentang hukum keluarga di Indonesia, serta membuka ruang diskusi selebar-lebarnya pada fenomena aktual yang berkembang di masyarakat. []