Kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh santri di pondok pesantren sejatinya ialah miniatur kemajemukan dalam konteks bermasyarakat dan bernegara. Setiap santri di pondok pesantren memiliki warna kulit, sifat dan karakteristiknya masing-masing. Perbedaan tersebut sama sekali tidak menjadi penghalang kebersamaan antar satu santri dengan santri yang lain dalam menempuh pendidikan. Sama rasa, sama rata, dan sama ratap, sama tangis.

Dalam menempuh pendidikan akhlak, santri dihadapkan oleh dua hal, suri tauladan dan ilmu pengetahuan tentang akhlak. Suri tauladan yang didapat dari akhlak seorang kiai atau guru. Sedangkan ilmu akhlak didapat dari pembacaan sirah nabawiyah dan pemahaman kitab-kitab yang membahas tentang akhlak seperti: Akhlak lil Banin, Bidayatul Hidayah, Ihya ‘Ulumuddin dan lain-lain, yang dibacakan hampir setiap hari. Sehingga adagium “percuma tinggi ilmu tanpa akhlak” sangat terpatri dalam jiwa seorang santri.

Suri tauladan didapat dari akhlak yang dipancarkan oleh seorang Kiai. Tidak mungkin seorang kiai mengolok, bertindak rasis karena perbedaan kulit atau suku. Kiai selalu memberikan tauladan untuk memperlakukan sama setiap orang tanpa membeda-bedakan. Siapapun yang memandang wajah kiai, mereka pasti tahu bahwa kiai tidak pernah menyakiti hati seseorang dengan umpatan kata-kata yang tidak pantas (rasis).

Kiai selalu mengajarkan sifat tawadlu‘ tanpa merasa lebih tinggi derajat, lebih baik, dan lebih terpuji daripada orang lain. Sosok kiai menjadi tauladan untuk tidak memandang rendah orang lain meski berbeda warna kulit atau suku.

Hal ini senada dengan sikap Rasulullah dalam memperlakukan salah satu Sahabat perempuan yang bernama Ummu Mahjan. Perempuan yang miskin, berkulit hitam dan memiliki kegemaran membersihkan masjid. Hingga suatu ketika, saat Rasulullah bersama para sahabat berkumpul, kemudian menanyakan tentang keberadaan Ummu Mahjan.

Baca Juga:  UU TPKS: Sarana Menghanguskan Kekerasan di Lingkup Pesantren

Rasulullah bertanya, “Kemana perempuan ini beberapa hari tidak terlihat?”. Kemudian sahabat menjawab, “Wahai Rasul, maafkan kami Ummu Mahjan telah wafat.” Dengan sedikit kecewa Rasulullah menyahuti jawaban sahabat tersebut. Rasul berkata, “Kenapa kalian tidak memberitahukan kewafatannya kepadaku?”. Sahabat menjawab, “Wahai baginda Rasul bukannya dia hanya perempuan biasa”. Mendengar jawaban sahabat, Rasulullah memerintah para sahabat untuk menunjukkan makamnya, kemudian mengajak para sahabatnya untuk bertakziyah dan mendoakan Ummu Mahjan.

Dari akhlak Rasulullah dalam cerita tersebut, maka santri dapat mengambil ibrah yang sudah semestinya dilakukan oleh semua orang. Yang pertama, bahwa dalam bersahabat dengan siapapun Rasulullah tidak pernah membedakan kasta, warna kulit, dan keadaan ekonominya. Yang kedua, Rasulullah dengan akhlaknya senantiasa memandang istimewa setiap sahabatnya.

Dalam paradigma pesantren. Ilmu terapan lebih diutamakan daripada hanya menguasai sebuah teori. Setelah mendapatkan ilmu pengetahuan tentang suatu teori maka seketika itu pula santri akan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Less talk, do more.
Tak ayal ketika selesai mengampu pendidikan di pesantren dan kembali pada masyarakat umum, santri berperan dengan berbagai profesinya (pedagang, polisi, organisatoris, pengusaha, karyawan, guru, dosen, petani dll) bak payung yang dalam fungsinya adalah menjadi pengayom, pelindung, pencipta keadaan yang damai dan santun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Santri selalu mendahulukan akhlak dalam bergaul dengan siapapun baik teman, saudara, keluarga atau kepada orang yang baru dikenal sekalipun. Sehingga terciptalah suasana yang akrab, menyejukkan, mengutamakan unggah-ungguh, dan tanpa sedikitpun ketersinggungan dan menyakiti hati orang lain. Karena Jika menyakiti hati seseorang, maka sejatinya adalah menyakiti hatinya sendiri. Karena fitrah manusia adalah berkelakuan baik kepada siapapun tanpa memandang apapun dan membeda-bedakan satu sama lain. Wallahua’lam bis showab.

Arif Chasbullah
S1 Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, Santri Ponpes Miftahul Ulum Banyuputih Kidul, Jatiroto, Lumajang.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri