Tulisan saya akan mengulas mengenai fenomena sosial tentang radikalisme yang tumbuh subur di kalangan anak-anak muda. Persoalan ini tidak langsung muncul secara kebetulan langsung, tetapi ada proses yang menyebabkan radikalisme menghatam generasi muda. Untuk itu menjelaskan fenomena tersebut, saya akan mencoba menggunakan perpektif sosiologis untuk membaca fenomena radikalisme pada golongan anak-anak milineal.
Saya mencoba menyamaikan persepsi mengenai apa yang disebut pemuda lebih dahulu. Jika berkaca dari sejumlah kajian psikologis yang mendefinisikan pemuda atau remeka sebagai mereka yang berada dalam usia transional dalam perkembangan keberibadian, yakni berada usia 12 hingga 22 tahun. ( Atkirson(et.all) 11 th. ; Panuju & Umami 1999 : 7 ).
Berbeda dengan pendekatan pskologis menurut Taufik Abdullah (1974:1) sudut pandang sosologi dan ilmu sejarah lebih menekankan pada nilai subyektif yakni perumusan istilah pemuda yang didasarkan pada tanggapan masyarakat berikut kesamaan pengalaman historis. Dalam refleksi sosiologis dan historis yang dilakukannya, Taufik Abdullah berpendapat bahwa istilah pemuda atau generasi muda kerap “diboncengi” nilai-nilai tertentu, sebagai misal untaian kalimat seperti “pemuda harapan bangsa”, “Pemuda pemilik masa depan” dan lain sebagainya. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh istilah pemuda yang lebih menemui bentuknya sebagai terminus ideologis atau kultural ketimbang ilmiah.
Di masa “Orde Baru” muncul sejumlah kajian yang secara khusus dan sistematis menjadikan pemuda sebagai subjek kajia seperti yang dilakukan oleh Taufik Abdullah dkk. Dalam pemuda dan perubahan sosial yang diterbitkan oleh Penerbit LP3ES pada tahun 1974. Salah satu wacana yang dominan yang berkembang pada waktu itu adalah bagaimana pemuda menjadi agen pentin perubahan sosial di dalam kerangka pembangunan sosial di kerangka kaum muda di era tersebut bias pada studi gerakan mahasiwa yang muncul sebagai gerakan kritis dan gerakan alternatif perlawanan terhadap rezim otoriter pada waktu itu.
Dari pendapat beserta kajian beberapa penelitian diatas, saya menyimpulkan. Pemuda itu secara usia rentang 12 hingga 30 tahun. Sikapnya dipengaruhi lingkungan sekitar, kecendurungan mempunyai idealis tetapi kondisinya masih transisi, sehingga mudah terpengaruh. Lebih suka mencoba hal baru. Itu merupakan gambaran umum pemuda.
Membincangkan Radikalisme kaum muda Muslim di Indonesia, setelah mengetahui tipologis tentang pemuda lebih mudah dalam membingkainya mengapa pemuda menjadi agen terpenting dalam radikalisme di Indonesia.
Fenomena radikalisme yang melanda di Indonesia selalu saja menghubungkan dengan tindakan kekerasan, intoleransi, terorisme, saling mengkafirkan. Tentu, ini sebagai wacana yang mengemuka di publik. Acap kali pelaku dalam melakukan fenomena tersebut rata-rata usianya dikategorikan “Pemuda”.
Terminologi “radikal” yang membentuk istilah “Radikalisme” berasal dari bahasa latin, radix yang berarti “akar”. dengan demikian, “berpikir secara radikal” sama artinya degan berpikir hinga ke akar-akarnya, hal tersebutlah kemudian bakan menimbulkan sikap sikap anti kemapanan. Menurut Simon Tormey dalam international Encyclopedia of Social Sciences (Vol 7, hal 48), radikalisme merupakan konsep yang kotekstual dan porsional dalam hal ini kehadiranya merupakan antitesis dari ortodoks atau arus utama (mainstream), baik bersifat sosial, sekuler saintifik, maupun keagamaan.
Menurutnya, radikalisme tidak mengandung seperangkat gagasan dan argumen, melainkan lebih memuat posisi dan ideologi yang dianggap merpesoalkan atau menggugat sesuatu (atau segala seusatu yang dianggap mapan, diterima atau menjadi pandangan umum.
Jika ditilik dalam persoalan radikalisme agama di Indonesia, menjadi “radikal” bisa jadi pada posisi “mainstrem” atau ortokdoks di era yang lain. Misalnya, konsepsi negara khilafah transnasional sebagai tawaran baru yang menggugat kenyamanan paham demokrasi. Dalil-dalil pun diperkuat, untuk menentang bahwa konsep yang dijalankan oleh sebuah paham pemerintah yang sah, tak sesuai nash al-Quran dan Hadis. Itu, proses radikalisme agama yang terus berkembang di Indonesia.
Konsep teoritis mengenai “radikal” di Indonesia yang dilakukan anak-anak muda Indonesia. Mengapa anak-anak muda rentan pada gerakan radikalisme ?. Pertama, saya setuju pernyataan Muhmmad Najib Azca dalam tulisan Yang Muda, Yang Radikal : Refleksi sosiologis terhadap fenomena radikalisme kaum muda Muslim di Indonesia pasca orde baru mengatakan, pemuda (Youth) sebagai agensi memiliki kecenderungan kuat dan kemungkinan besar untuk terlibat dalam gerakan sosial radikal dibandingkan dengan, misalnya orang dewasa.
Hal ini dilandasi oleh fase transisi dalam pertumbuhan usia yang dialami pemuda membuat mereka rentan dmegalami apa yang disebut oleh ahli pskikologi Erik. H. Erikson (1968) sebagai krisis identitas, Mereka yang berada dalam pertumbuhan dan dinamika pskologis individu yang berada dalam fase trasisi dan masa kanak (childhood) menuju ke fase dewasa (adulthood). Mereka dalam fase tersebut, acap kali mengalami kerancuan identitas.
Kedua, lingkungan sekitar, memang radikalisme agama tumbuh subur di kampus-kampus, sekolah-sekolah umum. Ini disebabkan karena paham lingkungan tersebut dipengaruhi wacana-wacana keagamaan. Jika proses internalisasi oleh sebagian pemuda untuk mengikuti arus pemikiran tersebut. Maka, nilai-nilai tersebut akan menjadi tindakan yang mempengaruhi cara berfikir oleh seorang pemuda. Ini bisa dilihat, ketika masjid kampus menjadi sarana utama sebagai pusat dakwah, banyak dari segolangan mereka mengadakan monitoring atau kajian rutin. Pusat dakwah ini menjadi ruang publik untuk melakukan internalisasi atau doktrinisasi kepada pemuda.
Demikianlah, dua alasan mengapa pemuda sangat rentan mengalami radikalisasi agama. Yang terpenting, saya kira proses wacana keagamaan yang sesuai tentang culture keagamaan indonesia. Moderasi umat beragama terus di upayakan untuk memperbanyak ruang wacana publik. (IZ)
Yogyakarta, 19 September 2020