Krisis Keteladanan Pemimpin Bangsa

Tulisan ini lahir atas keprihatinan penulis terkait dengan elit pejabat (politikus?) yang seringkali menghina, meremehkan, merendahkan, dan bahkan mendoakan kejelekan atau kebinasaan bagi pejabat lainnya. Hal ini sangat memicu rasa kebersamaan kita sebagai bangsa yang beradab, menjadi sebuah kondisi yang justru saling merendahkan. Dalam syariat Islam, menghina saudara lainnya dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Karena sebagai manusia kita harus menjunjung rasa persaudaraan dan kesatuan.

Berkaitan dengan menghina, mengolok-olok, mencela, dan lain sebagainya, Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujuraat: 11).

Tidak dibenarkan menghina atau mencela dalam Islam, karena boleh jadi orang yang dihina justru lebih baik daripada orang yang menghina. Dan perbuatan ini akan menyebabkan terjadinya perpecahan dan permusuhan di kalangan diri kita sendiri. Oleh sebab itu, perbuatan mencela, menghina, merendahkan, dan lain-lainnya sangat bertentangan dengan dasar pokok ajaran Islam.

Cebong dan Kampret

Hiruk-pikuk dunia pemilihan presiden (pilpres) sudah usai. Kita harus menerima keputusan siapapun pemenang dari kontestan pemilihan itu. Itu artinya, seharusnya julukan (laqab) di antara para pendukung juga harus diakhiri. Namun tidak sedikit di media sosial, sebutan “cebong” dan “kampret masih terus terjadi. Tidak seharusnya, kita sebagai saudara sebangsa saling memberikan julukan yang tidak baik. Panggilan penghinaan semacam cebong dan kampret adalah dilarang menurut Islam. Kita tidak boleh saling memanggil dengan panggilan yang bersifat menghina.

Baca Juga:  10 Akar Keadilan Pemimpin Menurut Imam Al-Ghazali

Di dalam Al-Qur’an, Allah swt menegaskan bahwa memanggil orang lain dengan julukan tercela merupakan perbuatan yang dilarang. “Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat: 11). Laqab atau gelar yang buruk merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Karena dalam gelar jelek tersebut akan menyebabkan seseorang sakit hati dan melahirkan permusuhan. Oleh sebab itu, tidak boleh terjadi lagi panggilan cebong, kampret, si jelek, si pincang, pelit, dan lain sebagainya.

Dalam sebuah persaingan seharusnya kita harus berbesar hati untuk menerima keadaan. Jika kita menang, tidak perlu terlalu jumawa yang justru akan membuat kita sombong. Sebaliknya, jika kita kalah, kita harus menerima dengan sepenuh hati, bahwa itu hanyalah sebuah kontestati. Sedangkan berjuang demi bangsa masih banyak jalan di dalam kehidupan yang luas ini.

Otak Sungsang dan Doa Kematian

Akhir-akhir ini menjadi viral sebuah statement yang dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi panutan. “Otak sungsang” adalah sebuah gelar yang disematkan oleh seseorang terhadap orang lain sebagai manifestasi atas sebuah ujaran yang tidak disepakati. Bukannya kehidupan itu penuh dengan opini-opini yang beragam dan tidak sepenuhnya diteriam oleh orang lainnya? Maka sangat wajar terjadi perbedaan pendapat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Semestinya, kita harus saling menghargai perbedaan dan menghormati pendapat yang tidak sama. Bukan malah sebaliknya, menghina dengan cara memberikan gelar (laqab) yang jika didengar akan kenimbulkan perselisihan dan perseteruan. Sebagai pejabat publik bukan memberikan contoh yang tidak baik. Tetapi bagaimana bersikap untuk saling menghormati antara yang satu dengan lainnya.

Lebih jauh lagi adalah doa atau keinginan agar seseorang mati atau meninggal dunia. Hal ini benar-benar sebuah ungkapan yang tidak mencerminkan seseorang yang sebangsa dan senegara. Mendoakan kejelekan terhadap hidup orang lain adalah sebuah kejelekan itu sendiri. Tidak seharusnya kita berdoa untuk kematian seseorang.

Baca Juga:  Kenapa Harus Taat kepada Pemimpin?

Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali, menjelaskan, “Dekat dengan laknat adalah mendoakan keburukan untuk orang, termasuk mendoakan orang yang berbuat zalim, seperti doa seseorang, ‘Semoga Allah tidak menyehatkan badannya,’ ‘Semoga Allah tidak memberikan keselamatan untuknya,’ atau doa keburukan sejenisnya karena semua itu adalah perbuatan tercela. Dalam hadits disebutkan, ‘Sungguh, orang yang teraniaya mendoakan keburukan untuk orang yang menganiaya sampai lunas terbayar, tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan hak orang yang berbuat aniaya atas orang yang teraniaya pada hari kiamat”.

Begitu juga dengan Imam Nawawi Al-Bantani, di dalam kitabnya Bidayatul Hidayah, menjelaskan hal senada dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Ghazali. Imam Nawawi mengatakan, “Ketujuh mendoakan) kebinasaan untuk (orang lain. Peliharalah mulutmu agar tidak mendoakan seorang pun dari makhluk Allah sekalipun kamu dizalimi) oleh orang tersebut. (Pasrahkan) serahkan (urusannya) masalah orang yang menzalimi[mu] (kepada Allah). Cukup Allah yang menyelesaikannya. (Dalam hadits disebutkan, ‘Sungguh, orang yang dizalimi mendoakan) kebinasaan (untuk orang yang menzaliminya sampai lunas terbayar) pembalasan dengan kezaliman yang setimpal (tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan) ketambahan (hak orang yang berbuat zalim terhadapnya) terhadap orang yang dizalimi (yang akan dituntut olehnya), maksudnya orang yang zalim kelak akan menuntut kelebihan haknya terhadap orang yang dizaliminya (pada hari kiamat’).”

Krisis Keteladanan

Saat ini kita krisis keteladanan dari orang-orang yang seharusnya memberikan contoh yang baik. Para elit politik, pejabatan pemerintahan, ataupun para pabulik figur tidak memberikan contoh yang baik terhadap rakyat awam. Bahkan mereka memberikan contoh-contoh yang tidak pantas. Saling menghina dan mencela menjadi bagian keharian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tidak menjunjung amanat UUD 45 bahwa “… mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Persatuan dan kedaulatan merupakan hal pokok yang semestinya kita tidak saling melontarkan ujaran kebencian.

Baca Juga:  Kenapa Bangsa Barat Seperti "Kegilaan" Ingin Mengetahui Bangsa-Bangsa Lain?

Selanjutnya, pada alinea keempat dalam pembukaan (prembule) UUD 45 dijelaskan bahwa “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,…”. Melindungi segenab bangsa demi sebuah kesejahteraan, tentu saja tidak dapat diperoleh jika para pejabat publik memberikan contoh kehidupan yang tidak baik. Maka ke depan, kita harus menjaga ucapan dan tindakan agar tidak ada lagi saling menghina, mencela, meremehkan, merendahkan, dan gelar-gelar jelek yang tidak pantas.

Sebagai warga negara yang cerdas, kita harus dapat memilih dan memilah mana ungkapan yang merupakan sebuah teladan atau sebaliknya. Dengan memahami bahwa ada ungkapan yang baik dan ada pernyataan yang jelek, kita memilih kebaikan tersebut demi kemaslahatan berbangsa dan bernegara. Kita berharap bahwa para pejabat publik dan para elit politik dapat kiranya memberikan teladan kebaikan demi kesejahteraan hidup dan kemaslahatan dalam persaudaraan. Wallahu A’lam. []

Rusdi El Umar
Rusdi El Umar, lahir dan besar di Sumenep Madura. Alumni PP Annuqayah yang suka membaca dan menulis. Beberapa karya tulisnya sudah dimuat diberbagai media baik cetak maupun elektronik. Menerbitkan beberapa buku tunggal maupun bersama. Buku tunggal terakhir yang diterbitkan berjudul “Setajam Rindu Abandira”, buku kumpulan puisi.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini