Jujur, ketika Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menghimbau agar Ramadhan tahun ini ibadah – seperti shalat tarawih, tadarus, buka bersama dan bahkah Shalat Ied dilaksanakan di rumah karena adanya pandemi Covid19 – mata saya jadi berkaca-kaca. Tak ingat lagi apakah buliran bening air mata itu jatuh atau tidak. Yang jelas, saya sedih.
Tentu saja kesedihan ini bukan karena tak setuju atas dalil yang disampaikan dalam sambutan “Doa Bersama dan Pertaubatan Global Bersatu Melawan Corona” pada Kamis (9/4) itu. Tapi ada sesuatu yang akan beda dalam benak, memori dan alam bawah sadar saya tentang atmosfer dan kesyahduan Ramadhan.
Bulan itu adalah bulan yang paling syahdu bagi saya, dan tentunya jutaan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Karena selain mulia, bulan Ramadhan juga awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari api neraka, sebagaimana hadis Nabi yang popular sampai kepada kita, meski itu dihukumi dhaif oleh Imam As-Suyuthi dan kebanyakan ulama.
Sejak kecil, tradisi, budaya dan geliat Ramadhan sudah tertanam dalam benak saya. Ini tentu bukan karena rumah saya persis bertatapan muka dengan masjid, melainkan budaya Islam Nusantara dan tentunya di berbagai belahan dunia, memiliki keunikan tersendiri dalam menyambut bulan puasa.
Sewaktu kecil dulu, menjelang Ramadhan atau di akhir Sya’ban, keluarga besar kami berziarah ke makam-makam leluhur, sebuah tradisi keagamaan yang dianggap oleh sebagian kecil kaum Wahabi saudara seiman kami sebagai tradisi bidah, musryik bahkan dituduh menyembah kuburan. Saya sendiri sudah bosan dengan itu tuduhan, di tengah orang lain sudah bisa meloncat ke bulan.
Kami kaum lelaki berangkat memakai baju rapi, berkopiah, bersarung, dengan kaum perempuan memakai jarit dan kerudung. Mobil bak pick-up adalah moda transportasi yang kami pakai berkeliling dari makam ke makam.
Saya masih sangat ingat, di hadapan makam salah satu leluhur kami, kakek pernah berpesan: “meski kelak aku sudah tiada, kamu harus tetap berziarah ke sini,” wasiatnya. Dan kini beliau benar-benar sudah tiada.
Di sela keliling itu, karena jaraknya agak jauh, saudara kami yang rumahnya dekat dengan makam akan menjamu makan kami. Ini sebuah tradisi. Tradisi yang menyenangkan dan tentunya mengenyangkan. Semoga tradisi ini tak lekang digilas roda zaman.
Ketika kemudian ikhbar Ramadhan diumumkan, hal pertama yang kami anak-anak kecil lakukan adalah berlari ke masjid. Bukan untuk shalat, i’tikaf atau merapalkan kalimah thayyibah yang sering disarankan kiai, melaikan untuk menabuh genderang Ramadhan. Kami mengambil pemukul (di tempat saya namanya jaenal), untuk menabuh bedug dan kentongan dengan irama teratur dan khas. Kami menyebutnya nidur.
Nidur kami lakukan awal bakda magrib awal Ramadhan, setiap selesai shalat tarawih, menjelang sahur dan semalaman full jelang Idul Fitri. Juga seusai Shalat Ied yang orang-orang – baik tua, muda, maupun anak-anak – berduyun-duyun datang dengan baju baru itu.
Entah siapa yang memulai dan mengapa ada tradisi nidur ini, saya tidak tahu. Apakah itu mengibaratkan medan peperangan melawan lapar dan hawa nafsu sehingga kita butuh genderang? Saya tak paham. Atau mungkin agar ada genderang kebahagiaan di hati-hati kami dalam menyambut Ramadhan? Bisa jadi demikian.
Dalam kitab Durratun Nasihin memang disebutkan, barangsiapa yang bahagia menyambut bulan Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya kecemplung api neraka.
Mungkin juga hadis ini yang ikut andil melembagakan tradisi itu. Tapi apa pun alasan dan ekspresinya, yang penting kami bahagia dengan itu semua.
Kebagagiaan lain adalah tarawih berjamaah di masjid. Yah, meski di waktu dewasa harus saya akui tarawihnya bolong-bolong bagai sarung milik perokok berat, namun jika Ramadhan tak ada tarawih berjamaah karena adanya wabah, rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang. Ini sungguh menyedihkan.
Tarawih, meski capek, kami – anak anak kecil dulu – selalu menghadirinya di masjid. Tentu kami seperti anak pada umumnya: bermain, kejar-kejaran dan bikin kegaduhan untuk publik masjid. Tak terkecuali ketika shalat: saling senggol-senggolan dengan teman sebelah, me-melotrok-kan sarung, berlarian kesana kemari, dan ikut hanya di bagian akhir shalat, duduk tahiyyat lalu salam. Nggak mau terlalu capek.
Setelah satu persatu bilal menyebut nama para sahabat nabi diselingi shalawat, sampai kemudian doa panjang dipanjatkan imam, hati kami menjadi lega: tanda tarawih segera rampung. Usai shalat dan wirid sebentar, lalu dibimbing sang imam, secara kompak kami niat puasa bersama-sama: nawaitu shauma ghadin ‘an ada-i fardhi syahri ramadhani hadzihis sanati lillaahi ta’ala; niat ingsun puoso ing dino sisuk-isuk sangking anekani fardhune puoso romadlone ikilah tahun, fardlu kerono Allah taala. Kemudian semua jamaah dan imam berdiri untuk bersalaman memutar. Sementara kami anak-anak berlarian ke serambi masjid rebutan jaenal untuk nidur. Itu adalah saat-saat yang sangat membahagiakan. Semua orang terlihat riang. Sampai kalau di akhir nidur kami tidak kompak selesainya, akan di-bully habis oleh jamaah, baik tua maupun muda.
Selanjutnya, para jamaah akan berkumpul dan ngobrol di serambi masjid. Tentu tak garingan, sebagaimana tradisi warga NU, ada makanan dan minuman. Takmir masjid punya cara sendiri dalam membagi jamaah untuk gantian berkontribusi menyumbang makanan. Alhasil, lelah dan capek tarawih seakan tertebus, berganti lega, puas dan hati yang riang.
Usai tarawih, masih ada tadarrus Al-Quran. Secara bergilir kami membaca kalam Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad di negeri Arab, yang jika dipikir makna dan artinya, bikin cerdas sekaligus merinding itu. Namun kami anak-anak waktu itu tak tahu artinya. Lagi pula tak ada terjemahnya. Kalau ingin tahu yang harus mengaji setahap demi setahap. Pokoknya tadarrus yang penting baca sampai selesai, meski ngebut secepat Valentino Rossi. Yang penting dapat pahala, soal tak tahu isinya, itu soal lain. Biasanya satu malam satu juz, sehingga di akhir Ramadan kami sudah mengkhatamkan Al-Quran.
Ketika beranjak dewasa dan mondok, saya jadi tahu tradisi tadarrus yang agak beda. Selain kiaku membaca dengan tartil, sesekali beliau juga berhenti untuk menjelaskan apa maksud dari ayat yang dibaca itu. Misalnya, usai membaca surat Al-Qari’ah, akan berhenti sejenak untuk menjelaskan isinya. Tentang kiamat. Di mana pada hari itu manusia seperti laron yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Orang-orang yang berat timbangan kebaikannya diganjar kehidupan yang bikin puas. Sedangkan orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya, akan dicemplungkan ke neraka Hawiyah, yaitu api yang sangat panas.
Di waktu sahur, kami anak-anak juga kembali ke masjid untuk nidur. Kadang malah kita tidur di masjid. Sambil rebahan, kita mereview cerita sinetron Wiro Sableng, Tutur Tinular atau Ksatria Baja Hitam. Atau cerita apa pun yang tentunya menarik bagi kami waktu itu.
Sahur adalah hal yang juga romantis, di mana kami makan bersama di suatu malam menjelang pagi. Kalau dipikir-pikir secara logika, ini memang ajaran yang aneh: malam disuruh makan dan siang disuruh puasa. Tapi memang begitulah cara mengolah diri, di mana jika kita bisa mengendalikan yang ada di dalam diri, kita bisa mengendalikan apa yang ada di luar kita. Jika kita lunak pada dunia, dunia akan keras pada kita. Jika kita keras pada diri, dunia akan lunak pada kita.
Di sela hari-hari itu, kami juga membuat mercon, petasan atau bahasa kami long, untuk menyemarakkan Ramadhan. Ada yang terbuat dari kertas, bambu, sampai kayu menggunakan bahan bakar karbit, yang suara ledakannya bisa terdengar berpuluh-kilometer. Suara ledakan ini juga salah satu penanda bulan Ramadhan dengan bulan lain. Namun sayang, beberapa tahun terakhir, petasan, mercon dan sejenisnya dilarang oleh yang berwenang.
Yang paling awet dan murah tentu bahan bari bumbung alias bambu, yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Awalnya dulu saya dibikinkan bapak. Setelah duduk di bangku SD baru bisa membikin sendiri. Caranya mudah. Ambil bambu sekitar dua meter. Lubangi semua pembatas (ros)nya kecuali yang paling belakang. Lalu lubangi punggung tengah ros paling belakang. Kemudian isi bambu itu dengan minyak tanah. Nyalakan dengan api, dan setelah panas akan berbunyi: dooorrrrrrrrrr!!! Sungguh, hal yang sangat menyenangkan. Memori indah yang takkan terlupakan.
Dan tentu, banyak tradisi dan kultur sosial lain dalam menyemarakkan Ramadhan. Seperti bagi-bagi makanan, takbir keliling, buka bersama, serta seabrek romantika bulan puasa lainnya.
Kini, ketika Ramadhan disuruh beribadah di rumah karena adanya pandemi, saya jadi sedih. Teringat Ramadhan yang sudah-sudah. Teringat bagaimana berbunga-bunganya tradisi Islam di Nusantara, sebuah ekspresi unik kaum beragama yang jauh dari tempat kemunculannya. Sebuah ekspresi umat yang mencintai Nabinya, melaksanakan anjurannya, menghindari larangannya, meski belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Dan tahun ini, hal-hal yang sekian lama kita lakukan itu akan berhenti untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa. Sebuah hal yang juga diperintah dan menjadi bagian terpenting dalam agama. Kulliyatul khams, namanya.[]