Membaca Fenomena Berislam: Genealogi

Tatkala melihat judul buku yang ditulis oleh Aksin Wijaya ini, saya mencermati dua kata kunci yang penting dari karya tersebut, yakni genealogi dan orientasi. Dengan melihat asal-usul, pembaca akan melihat uraian Alqur’an di dalamnya tentang alur dan latar belakang  menjadi muslim yang murni dan dengan peng-arah-an diandaikan bahwa pemahaman terhadap kitab suci bisa jadi menyimpang dari maksud (penutur) teks sehingga pembacaan ulang perlu dilakukan untuk menangkap makna otentik dari ayat.

Genealogi, seperti ditegaskan oleh Michael Foucault, adalah gray, meticulous, and patiently documentary. It operates on a field of entangled and confused  parchments, on documents that have been scratched over and recopied many times.[2] Apa yang dilakukan oleh Aksin Wijaya menunjukkan kesabaran penulis dalam mengulik kitab suci dengan pembacaan yang mengacu pada dua tradisi keilmuan, yakni Islam dan Barat secara cemerlang.

Orientasi jelas mengandaikan sebuah sikap dari penulis untuk menghadirkan cara pembacaan yang mesti diarahkan pada penerapan dari pesan utama dari kitab suci. Secara hermeneutik, pemahaman tidak bisa dilihat secara atomistik, tetapi bergerak dari bagian pada keseluruhan dan sebaliknya. Demikian juga, dalam sejarah efektif, situasi dari teks mesti ditimbang secara saksama, sehingga kondisi sosial bisa diungkap untuk mengetahui latar belakang dari teks. Dalam bahasa tafsir maqashidi, maksud-maksud itu bisa ditelusuri melalui maqashid ayat, surat, dan Alqur’an secara umum.[3]

Sebagaimana Toshihiko Izutsu, buku ini meyakini bahwa pengertian terhadap Alqur’an bisa dilakukan dari banyak pendekatan, seperti teologi, filsafat, sosiologi, tata bahasa dan takwil (exegesis).[4] Sebagaimana kata Aksin bahwa penyingkapan makna atau pesan Tuhan dalam Alqur’an yang berasal dari  tradisi luar Islam adalah hermeneutika, semantik, analisis wacana dan retorika.[5] Jelas, keduanya sama-sama menegaskan bahwa pendekatan apa pun tidak menjadi masalah dalam mengkaji kitab suci.

Tafsir

Dalam bagian pertama dari tulisannya, Aksin menyimpulkan bahwa tafsir maqashidi sudah muncul pada era klasik. Namun, secara teoretis, ia muncul  belakangan dalam menjadi proses teori studi Alqur’an (cetak miring dari pembahas). Sebagai teori baru, ia memiliki kelebihan dan kekurangan, yang terkait dengan sumber pengetahuan dari tradisi Islam yang menjadi tafsir alternatif-moderat di antara dua kubu ekstrim tekstual dan liberal substansialis. Sementara kekurangannya adalah ia masih dalam proses menjadi sehingga tidak kokoh secara teologis, epistemologis, dan hermeneutis, terutama kemungkinan menemukan maksud Tuhan secara obyektif.

Bagaimanapun, tafsir maqashidi memadukan tiga pendekatan untuk menemukan maksud Tuhan, yakni bersifat tekstual, ideal moral, dan spirit kontekstual secara serentak. Ketiganya bisa diurai dalam dalam tafsir tahlili, tafsir nuzuli dan teori hermeneutika obyektif (cetak miring dari pembahas) serta teori hermeneutika filosofis. Dengan menggabungkan ketiganya, dimensi teks, ideal moral, dan makna spirit relevan dengan realitas kekinian.

Kesimpulan di atas tentu secara proposisional ideal, tetapi tatkala dibenturkan dengan contoh konkret ia bisa menimbulkan pertanyaan. Semisal, NKRI itu mencerminkan pesan Alqur’an sehingga tidak ada lagi ruang untuk idelogi lain. Bagaimanapun seperti dikatakan oleh Amin al-Khuli, sarjana Muslim Mesir, tafsir adalah ilmu yang belum matang dan belum final,[6] berbeda dengan ilmu cabang lain, seperti ilmu nahwu (tata bahasa) dan ushul yang dianggap matang dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sementara itu, ilmu yang matang, tetapi belum sempurna ialah ilmu fiqh dan hadits. Oleh karena itu, hal ini memungkinkan kita untuk menelaah kembali pemahaman al-Qur’an dalam konteks masa kini. Namun, secara keseluruhan, berkaitan dengan kesempurnaan ilmu, Jalaluddin as-Suyuti menandaskan:

Baca Juga:  Prinsip Syariat Islam yang Sebenarnya adalah Kemaslahatan Manusia

فإن العلوم وان كثر عددها وانتشر فى الخافقين مددها فغايتها بحر قعره لا يدرك ونهايته طود شامخ لا يستطاع الى دورته أن يسلك ولهذا لعالم بعد آخر الزمان من الابواب ما لم يتطرق اليه من المتقدمين لأسباب وان مما اهمل المتقدمون تدوينه حتى تحلى فى آخر الزمان بأحسن زينة. [7]

Menariknya, secara teologis, tafsir maqashidi dikatakan terkait dengan salah satu dari tiga aliran besar dalam Islam, yakni Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Penulis mengutamakan yang terakhir pandangannya sejalan dengan ciri-ciri dari moderatisme dari corak tafsir tersebut.[8]

Maturidiyah mengambil jalan tengah di antara keduanya terkait dengan hubungan antara sebab-sebab dan konsep etis. Sementara, Shahbir Akhtar dalam The Qur’an and The Secular Mind: A philosophy of Islam menegaskan:

Only the earlier (rationalist) school of Mu’tazilites upheld the view, more compatible with our modern moral sentiments, that all human beings are capable of discrimanating between good and evil, prior to and independently of revelation, and solely in virtue of their humanity.[9]

Terkait dengan baik dan buruk, pandangan Mu’tazilah lebih sesuai dengan sentimen moral modern karena ia melihat semua manusia mampu membedakan antara baik dan buruk.

Menyoal Hermeneutika dalam Tafsir 

Apa mungkin dimensi hermeneutis dari tafsir maqashidi? Kehendak untuk menemukan makna obyektif mendorong penulis untuk memanfaatkan hermeneutika dalam meraih arti obyektif dari teks, yang dikaitkan dengan tiga unsur penting yaitu penutur, teks ataukah konteks?[10] Bila dikaitkan dengan penutur, pemahaman obyektif dikaitkan dengan maksud-maksud penutur. Masalahnya, berbeda dengan tradisi Injil, Isa adalah kalam Tuhan itu sendiri[11], yang kehadirannya dikisahkan oleh para rasul.

Di sini, kepengarangan (authorship) mungkin dihadapkan dengan pertanyaan adakah Allah berkedudukan sebagai penutur? Untuk itu, kita bisa memeriksa pendapat Schleimarcher tentang dua bentuk metode praktik hermeneutik yang berbeda, yakni penafsiran gramatikal dan psikologis atau teknis.

Di dalam penafsiran gramatikal, sebuah teks atau mode ungkapan dianalisis berdasarkan bahasanya, yaitu di dalam pengertian dialek, struktur kalimat, bentuk sastra dan sejenisnya. Di dalam penafsiran psikologis, teks dianalisis sebagai bagian dari sejarah kehidupan penulisnya. Jadi, sementara penafsiran gramatikal berusaha untuk mengenal makna yang tepat dari istilah linguistik, penafsiran psikologis memusatkan pada Keimentschluss, keputusan  inti atau motivasi dasar yang telah “mendorong pengarang untuk berkomunikasi”.[12]

Jika demikian, bila Tuhan diposisikan sebagai penulis, secara otomatis pembaca akan menafsirkan teks dengan memeriksa sejarah kehidupan pengarang. Oleh karena itu, pada titik ini, teks dilihat dari maksud-maksud yang mendorong pengarang menyampaikan pesan pada khalayak. Lebih jauh, pembaca mungkin akan merujuk pada karya Karen Amstrong, The History of God, untuk menelusuri kehadiran Tuhan di muka bumi.[13]

Belum lagi, tidak hanya keberadaan pengarang, setiap zaman melihat teks secara khas. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan:

Every age has to understand a transmitted text in its own way, for the text is part of the whole of the tradition in which the age takes an objective interest and in which it seeks to understand itself. The real meaning of a text, as it speaks to the interpreter, does not depend on the contingencies of the author and whom he originally wrote for. It certainly is not identical with them, for it is always partly determined also by the historical situation of the interpreter and hence by the totality of the objective course of history. [14]

Baca Juga:  Sikap Islam dalam Menyikapi Peluang Bonus Demografi Indonesia Tahun 2030-2040

Namun demikian, dengan menimbang prinsip-prinsip utama maqashid dan pesan utama Alqur’an, maka penafsiran harus dibingkai dengan nilai-nilai ideal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Adakah prinsip-prinsip seperti ini hanya bisa diklaim oleh satu kelompok?

Kesimpulan

Dari penelusuran pembahas di atas, pandangan penulis tentang tafsir didasarkan pada tradisi kalam Maturidiyah dan kajian maqashidi yang mengandaikan pandangan moderat dan menempatkan liyan setara. Dari hasil ini, sejatinya tidak ada masalah, tetapi adakah kelompok-kelompok lain yang dikritiknya tidak melakukan hal serupa dengan cara yang berbeda? Dalam sejarahnya, kelompok-kelompok itu pernah menjadi ideologi resmi pemerintahan dan komunitas tertentu.

Bagaimanapun, penulis telah menegaskan bahwa tafsir maqashid berada di antara dua kecenderungan mufasir, yaitu ekstrim-tekstual dan liberal substansialis. Dengan keberpihakan ini, ada implikasi praktik tatkala pandangan-pandangan yang berseberangan, semisal HTI dan FPI disebut sebagai kelompok ekstrim.

Di tengah perbedaan tentang satu pokok persoalan, pengetahuan yang dipetakan sejatinya berada pada kerangka ideal, karena dalam analisis Jürgen Habermas, pengetahuan terkait dengan kepentingan. Sehingga, seideal apapun pandangan kelompok, ia akan dihadapkan dengan kebenaran kekuasaan, bukan semata-mata kebenaran proposisional. []

Bahan Bacaan:

al-Khuli, Amin. tt. “Tafsir”, dalam Ahmad al-Santawi, dkk., Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyyah, vol. 5, Beirut: Dar al-Fikr.

Akhtar, Shabbir. 2008.The Qur’an and The Secular Mind: A Philosophy of Mind (London and New York: Routledge.

Ahmad Sahidah. 2018. God, Man, and Nature: Perspektif Toshihiko Izutsu tentang Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam dalam Alqur’an, Yogyakarta: Ircisod.

Amstrong, karen. 1993. A History of God: The 4.000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, New York: Ballantine Books.

Baldinger, Kurt. 1980. Semantic Theory: toward a modern Semantic. Oxford: Blackwell Publishing.

Esack, Farid. 1997. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld Publications.

Gadamer, Hans-Georg. 1975. Truth and Method, New York: The Seabury Press.

Ibn Manzūr, t.t. Lisān al-‘Arab, jilid 6. Kāhirah: Dār al-Ma‘ārif.

Izutsu, Toshihiko. 2004. God and Man in the Qur’ān: Semantics of the Qur’ānic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Izutsu, Toshihiko. 2004. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Izutsu, Toshihiko. 1980. The Concepts of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of Iman and Islam, New York: Book for Libraries.

Jaspers, Karl. 1970. Philosophy, terj. E. B. Ashton. Chicago: The University of Chicago Press.

Lappin, Shalom. 1996. The Handbook of Contemporary Semantics Theory. Oxford: Blackwell Publsihing.

Mannheim, Karl. 1936. Ideology and Utopia: an Introduction to the Sociology of Knowledge, terj. Louis Wirth dan Edward Shils. New York: A Harvest Book.

Ulrika Martensson, “Revelation and Prophecy in the Qur’an” dalam The Oxford Handbook of Qur’anic Studies (Oxford: Oxford University Press, 2020

Omar, Mohd. Nasir 2003. Christian and Muslim Ethics: A Study of How to Attain Happiness as Reflected in the Works on Tahdhīb al-Akhlāq by Yahyā ibn ‘Adī (d. 974) and Miskawaih (d. 1030). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Stamenov, Maxim. 1992. Current Advances in Semantic Theory. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.

as-Suyuti, Jalaluddin. tt. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz 1, Beirut: Dar al- Fikr.

Ullman, Stephen. 1972. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell.

Wallraff, Charles F. 1970. Karl Jaspers: An Introduction to His Philosophy (Princeton: Princeton University Press.

Baca Juga:  Al Quran dan Pendidikan

Warnke, Georgia. 2021. Gadamer: Hermeneutika, Tradisi, dan Akal budi. Terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Ircisod.

Wijaya, Aksin. 2022. Fenomena Berislam: Genealogi dan Orientasi Berislam menurut Alqur’an. Yogyakarta: Ircisod.

[1] Makalah ini disampaikan dalam Temu Ilmiah UKM Penalaran dan Penelitian se-Jawa Timur (TIUPPS), UIN KHAS Jember, 28 Mei 2022

[2] Lihat dalam Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy, History” dalam Language, Counter Memory Practice, Selected Essays and Interviews, ed. D. F. Bouchard (Ithaca: Cornell Universty, 1977), hlm. 1.

[3] Lihat Aksin Wijaya, Fenomena Berislam: Genealogi dan Orientasi Berislam menurut Alqur’an (Yogyakarta: Ircisod, 2022), hlm. 41.

[4] Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’ān: Semantics of the Qur’ānic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hlm. 1 dan Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2004), hlm. 3. Bandingkan dengan Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm. 14.

[5] Aksin Wijaya, Fenomena Berislam: Genealogi dan Orientasi Berislam menurut Alqur’an (Yogyakarta: Ircisod, 2022), hlm. 75.

[6] Lihat Amin al-Khuli, “Tafsir”, dalam Ahmad al-Santawi, dkk., Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyyah, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 365.

[7] Jalaluddin as-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz 1 (Beirut: Dar al- Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 3. Terjemahan: “Meskipun ilmu itu banyak jumlahnya dan bertebaran di ujung barat dan timur, namun batasannya ialah seperti lautan dengan dasar yang tidak diketahui, dan ujungnya bagaikan gunung menjulang tinggi yang tidak dapat dicapai puncaknya. Oleh karena itu, sangat terbuka lebar bagi seorang sarjana dari masa ke masa untuk memasuki bagian-bagian yang tidak disentuh oleh ulama terdahulu.”

[8] Aksin Wijaya, Fenomena Berisilan: Genealogi dan Orientasi Berislam menurut Alqur’an (Yogyakarta: Ircisod, 2022), hlm. 48-50.

[9] Shabbir Akhtar, The Qur’an nd The Secular Mind: A Philosophy of Mind (London and New York: Routledge, 2008), hlm. 101.

[10] Aksin Wijaya, ibid., hlm. 53-55

[11] Lihat Ulrika Martensson, “Revelation and Prophecy in the Qur’an” dalam The Oxford Handbook of Qur’anic Studies (Oxford: Oxford University Press, 2020), hlm. 419.

[12] Diambil dari Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutika, Tradisi dan Akal Budi, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Ircisod, 2021), hlm. 35

[13] Lebih jauh jauh, kita bisa membaca karya karen Amstrong, A History of God: The 4.000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (New York: Ballantine Books, 1993). Mungkin, kalimat pertama pada bab 1 dari karya ini akan segera mendapatkan kritik keras karena Tuhan merupakan ciptaan manusia. In the beginnings, human beings created a God when was the First Cause of all things and Ruler of heaven earth. He was not represented by images and has no temple or priest in his service.

[14] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1975), hlm. 236. Terjemahan: “Setiap zaman harus memahami teks yang ditransmisikan dengan caranya sendiri. Sebab, teks adalah bagian dari keseluruhan tradisi ketika suatu masa mengambil sebuah kepentingan obyektif, dan ketika ia berusaha untuk memahami dirinya sendiri. Makna teks sebenarnya, sebagaimana ditunjukkan para penafsir, tidak tergantung pada kontingensi-kontingensi pengarangnya, dan untuk siapa ia menulis. Pastinya, teks tidak identik dengan maksud pengarang, karena sebagian selalu ditentukan oleh situasi sejarah penafsir. Dan, oleh karena itu, oleh totalitas perjalanan sejarah objektif.”

Ahmad Sahidah
Dosen Semantik dan Ma’anil Qur’an, Universitas Nurul Jadid, Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini