Setiap detik berdetak hingga fajar Millenium Ke-3 membentang di awal abad ke-21. beberapa dekade terakhir dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia hingga banyak proporsi berubah hingga tatanan nilai yang berubah pada ruang – ruang modernitas hingga post modern. Memunculkan berbagai pandangan yang serba instan seperti yang kita ketahui saat ini.
Berbagai perubahan zaman tidak merubah pada sendi-sendi pedesaan yang masih berisi beberapa kiai nyentrik. Banyak kiai masih memiliki pandangan aneh. Acapkali saya sendiri bingung setiap bersilaturahim di beberapa kiai desa, tampilan yang sederhana dan sulit dibaca oleh generasi millenial. Tetapi yang paling sering didapati adalah sikap egosentrisme para kiai ini.
Mungkin ini adalah kompensasi sikap yang menjiwai untuk mengimbangi keharusan berpola hidup serba konformistis dengan sesama kiai dan penyederhanaan pesan untuk setiap umat pada ruang lingkupnya. Sebut saja beliau Abah Ghofur dari wilayah pedesaan di daerah Mojokerto yang masih tetap memperkuat pandangan beliau terkait kultur tradisionalnya seputar kitab kuning di pesantren sederhananya. Tanpa mengubah pandangan beliau pada dimensi ruang yang sudah berubah.
Santri abdul bertanya kepada beliau. Abah (Kiai Ghofur) apa yang dibutuhkan untuk merawat nilai-nilai santri pada era dunia maya ini kiai? Apakah kita harus berdakwah lewat sosmed dan menggerakkan konten media untuk mengisi ruang-ruang dakwah? Sebagai penanggulangan takfiri (mengkafirkan) dan gaya millenial yang lupa nilai-nilai nenek moyang. “Abah Kiai dawuh (menjawab) dengan senyum, seperti tidak kaget dengan fenomena hari ini.“Jangan terlalu terbawa suasana yang heroik pada masalah zaman. Semua sudah ada yang mengatur tanpa kecuali seperti warna cabe di depan itu.”Beliau menunjuk depan ruang tamunya yang ada tanaman cabe”.
Sang Kiai berhenti sejenak dan menyeruput secangkir kopi yang diseduhnya. Beberapa detik kemudian beliau melanjutkan pembicaraan. “Begini nak sapaan! kepada santri Abdul.
Segala sesuatu sudah ditentukan oleh qadha dan qadharnya. Tidak ada sesuatupun yang bergerak dengan sendirinya, dihidupkan dengan sendirinya hingga suatu daun yang terjatuh semua atas kehendak Gusti Allah SWT. Namun ada titik nilai yang harus kita sediakan dalam konsumsi spiritual setiap individu setiap generasi dan generasi penerus tanpa harus takut terjangkit arus zaman yang selalu berubah – ubah tetap kita memperkuat tafakkur pada Allah SWT dan jangan sekali-kali berburuk sangka karena sedetik kedepan kita tidak tahu maqasidnya Gusti Allah seperti apa?
Kiai Ghofur memperjelas mantiqnya. Pikiran seringkali tertipu oleh tampilan dhahir masalah yang hadir, kita lebih terpaku pada peliknya masalah tersebut dan mengabaikan sisi substansialnya. Jika demikian, alih-alih masalah terselesaikan, kita malah melahirkan masalah yang lebih besar lagi karena seperti tidak mempercayai adanya daya kebesaran Gusti Allah.
Namun, berbeda jika kita menyadari bahwa takdir Gusti Allah yang buruk sekalipun adalah skenario terbaik yang telah Allah gariskan untuk kita, pastilah kita akan menjadi hamba yang “laa khaufun alaihim walaa hum yahzanuun.” Tak ada rasa takut, putus asa, dan kesedihan ketika kita menghadapi masalah serumit apapun, yang ada hanya optimisme dan keberanian dalam diri.
Melatih diri supaya selau berprasangka baik memang tidak semudah membalik telapak tangan. Melatih kemampuan menjaga konsistensi dan keistiqamahan kita hingga menjadi suatu amaliah yang dapat terejawantahkan menjadi tindakan baik dan bijaksana dalam keseharian-harian.
Telah menjadi sunnatullah, bahwa setiap usaha pasti tidak luput dari hambatan yang merintangi. Abah ghofur memberikan pesan sebelum santri Abdul mengundurkan diri. Bahwa sesuatu yang kamu takuti sebenarnya dari imajinasimu bukan dari ketetapan Allah. Dan Gusti Allah tidak menyukai manusia yang ragu – ragu.
Beberapa banyak point yang sudah didapatkan oleh santri Abdul. Dan akhirnya santri abdul mengucapkan kata pamit kepada Kiai Ghofur. Terima kasih abah kiai. Dalam tradisi santri bila sehabis bertamu mereka meminta doa untuk mencari barikah tanpa adanya doa akan terasa ada sesuatu yang mengurangi kadar kesunnahan dalam dunia santri. Wallhua’llam.