Dalam Bahasa Arab, ada istilah dhomir. Secara ringkasnya, dhomir adalah kata ganti. Jadi dhomir ini dalam penggunaannya yang ada pada Bahasa Arab, berguna sebagai peringkas kalimat. Dengan demikian tidak usah payah menulis kembali kalimat yang sebelum sudah tertulis, cukup menuliskan dhomir yang sesuai dengan marji yang dimaksud. Contohnya:
فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima taubatnya.
Dalam contoh tersebut terdapat dhomir (ه) yang mengganti kalimat أدم. Seandainya kalimat adam pada ayat ini tidak diganti dengan kata ganti (dhomir), maka tulisan ayat ini pun akan menjadi lebih panjang dan bertele-tele. Oleh karenanya kalimat adam di sini diganti dengan dhomir (هُ).
Dalam pembelajaran Bahasa Arab terdapat beberapa dhomir yang bisa dikelompokan menjadi tiga;
- Dhomir ghoib (orang ketiga) diantaranya هو، هما، هم، هن، هي
- Dhomir mukhotob (orang kedua) diantaranya أنتَ، أنتِ، أنتما، أنتم، أنتن
- Dhomir mutakalim (orang pertama) diantaranya أنا، نحن
Sudah cukup mungkin perkenalan sedikit mengenai dhomir oleh penulis. Dalam tulisan kali ini, akan membahas sedikit tentang dhomir هُ dalam surat Al-Fath ayat 10. Kenapa dhomir atau kata ganti dalam ayat kesepuluh surat Al-Fath ini perlu sedikit dibahas? Karena dalam ayat ini terdapat sedikit perbedaan mengenai dhomir هُ, yang mana tidak seperti biasanya atau tidak seperti sewajarnya yang ditemui di ayat-ayat lain.
Sebelumnya mari kita lihat surat Al-Fath ayat kesepuluh.
…وَمَنْ أَوْفى بِمَا عهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْمًا…
Jika diperhatikan secara seksama, terdapat sedikit hal yang berbeda tentang dhomir dalam ayat ini, ada yang tau dimana letak perbedaanya? Perbedaanya terdapat dalam kalimat alaihu. Di sinilah letak poin pembahasan mengenai tulisan ini. Kenapa dalam ayat ini dibaca alaihu? Sedangkan dhomir hu yang asalnya adalah huwa, apabila sebelumnya berupa ya sukun atau kasroh, maka dhomir hu tadi harus dibaca menjadi hi. Tetapi kenapa dalam ayat ini berbeda? Kenapa dalam ayat ini dibacanya hu bukan hi. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan atau tanpa rahasia.
Ada beberapa jawaban yang penulis dapat dari berbagai sumber dan yang penulis sedkit pahami, dengan beberapa alasan kenapa dalam ayat tersebut dibaca hu bukan hi.
Yang pertama, dibaca hu karena dia kembali ke asalnya. Dhomir yang dibaca alaihi, pada dasarnya berasal dari alaihu, akan tetapi berubah menjadi hi karena muroatan (menjaga kesesuain dengan ya sukun atau kasroh yang mendahuluinya, sebab kebanyakan lisan orang Arab memang akan merasa kesulitan saat mengucapkan alaihu karena dianggap berat atau aneh bagi lisan mereka). Jadi ringkasnya, asal dari alahi adalah alaihua, kemudian wawunya dibuang akhirnya menjadi alaihu. Hal ini juga di dukung dengan suatu kaidah dalam kitab induk Alfiyahnya Imam Ibnu Malik.
وكل مضمر له البنا يجب
Hukum asal dari dhomir adalah mabni (tetap)
Yang kedua, dibaca alaihu karena untuk menjaga tafkhimnya kalimat Allah. Seperti yang sudah diketahui, bahwa di dalam ilmu tajwid, lafdz al-jalalah mempunyai dua hukum bacaan; Yaitu tafkhim dan tarqiq. Berhukum tafkhim apabila sebelumnya berupa harokat fatkhah dan dhammah, sedangkan berhukum tarqiq apabila sebelumnya berharokat kasroh. Apabila lafdz al-jalalah dibaca tarqiq, maka cara bacaannya akan kembali seperti lam biasa (membaca lam secara biasa). Contohnya: بِسْمِ اللّهِ (bismillahi, dibaca seperti lam biasa).
Alasan menjaga tafkhimnya lafdz al-jalalah ini, bertujuan untuk menegaskan atau memperjelas lafadz Allah dalam pelafalannya. Jadi ketika di lafalkan atau diucapkan tidak seperti bacaan lam biasa akan tetapi dibaca tebal. Kenapa tafkhimnya lafdzu al-jalalah di sini perlu dijaga? Karena dalam ayat ini lafadz Allah berkedudukan mansub. Jadi, jika lafdzu al-jalalah ini berhukum tarqiq, maka akan terjadi pelemahan dalam pengucapannya dibandingkan dengan tafkhim. Karena dhammah lebih berat dibandingkan kasroh yang lebih ringan.
Selain menjaga tafkhimnya lafadz Allah, dibaca dhommah di sini juga diisyaratkan kedudukan dhomah sebagai paling beratnya harokat dengan paling beratnya perjanjian. Di dalam ayat ini membahas tentang perjanjian (uhud), yaitu perjanjian dengan Allah. Dan perjanjian dengan Allah ini, adalah paling berat tanggungan perjanjiannya.
Terakhir, Dr. M. Sabihin juga menyatakan bahwa lafadz alaihu ini tidak ada hubungannya dengan i’rob, akan tetapi berkaitan dengan segi kebahasaan. Jadi dalam lafadz alaihu ini memang bisa dibaca dhommah, akan tetapi lebih masyhur atau mayoritas dibaca dengan kasroh, menjadi alaihi.
Memang lafadz alaihi di sini lebih masyhur, dan mayoritas membacanya dengan alaihi. Berbeda dengan Imam Hafs riwayat dari Imam Nafi’ yang membacanya dengan alaihu. Dari sini dapat diambil kesimpulan, perbedaan alaihu dan alaihi hanyalah ikhtilaf qiroat dari Imam Nafi, salah satu imam qiroah sab’ah. Dan mayoritas di Indonesia, bacaan al-Qur’annya memang mengikuti riwayat dari Imam Nafi’. []
Ane masih penasaran guru ikhtilaf bahasa nya wkwk nnti ane cari, ane pernah dapet penjelasan itu tapi baliknya ke kaca mata tajwid ane penasaran sma kaca mata nahwu nya wkwk