Kemoderatan Santri sebagai Solusi terhadap Tantangan dalam Berkebangsaan

Setelah melewati 71 tahun merdeka kebangsaan atau nasionalisme kita mengalami berbagai tantangan luar biasa. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin nasionalisme bahkan kesatuan NKRI kita terancam. Apa saja tantangan dalam berkebangsaan kita, sejauh mana menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI?

Realita perkembangan sosial-ekonomi, budaya dan politik belakangan  ini, ternyata menghadirkan tantangan berat bagi nasionalisme Indonesia. Setidaknya, ada dua tantangan utama yang bila tidak diwaspadai dapat menggerogoti eksistensi nasionalisme itu sendiri. Secara sederhana, tantangan tersebut secara garis besar dapat kita bagi menjadi dua bagian, diantaranya adalah tantangan internal dan tantangan eksternal.

Pertama, pada tantangan internal, secara faktual masih adanya kelompok yang ingin melepaskan ikatan nasionalisme melalui gagasan disintegratif yang sangat tidak konstruktif. Kelompok-kelompok semacam ini terus tumbuh dan secara masif mengembangkan gagasan atau ideologinya kepada masyarakat.

Beberapa contoh yang dapat kita ungkap antara lain aliran radikalisme, liberalisme, intoleranisme. Kelompok-kelompok tersebut secara terang-terangan menolak Pancasila sebagai dasar NKRI. Mereka juga tandas hendak menggantinya dengan hukum agama sebagaimana yang mereka yakini. Menurut mereka, segala persoalan yang masih membelit bangsa dan Negara ini bisa diselesaikan jika Negara ini berlandaskan hukum agama.

Contoh lain adalah penjualan senapan api oleh oknum polisi terhadap KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) papua yang baru-baru ini terciduk oleh aparat kepolisian Polda Papua. Hal yang demikian juga menjadi tantangan terbesar bagi Negara Indonesia.

Kedua, tantangan eksternal. Secara gradual Indonesia dihadapkan pada perubahan tatanan dunia melalui arus globalisasi. Sadar atau tidak sadar, jika tidak dikelola dengan baik, globalisasi dapat mengikis semangat nasionalisme kita. Kecintaan kita pada  negeri dapat berkurang akibat terbukanya arus informasi dan teknologi yang kian sulit dihindari.

Baca Juga:  Luncurkan Laboratorium dan Layanan PCR untuk Santri, Kiai dan Warga Pesantren

Secara tidak langsung, tatanan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia mendapatkan pengaruh dari luar, yang tentu tidak semuanya bernilai positif. Sebagian dari hal tersebut tidak sesuai dengan harkat, martabat, dan karakter kita sebagai sebuah bangsa. Tantangan globalisasi semacam inilah yang harus dijawab dengan melakukan internalisasi terhadap ideologi nasionalisme beserta perangkat norma yang mengokohkan.

Kita memang tidak perlu takut dan gamang terhadap fenomena pluralisme global. Secara faktual bangsa Indonesia dengan ratusan suku, ras, budaya, bahasa, serta agama dan keyakinan, adalah bangsa yang paling pluralis di muka bumi. Globalisasi bukanlah musuh yang harus ditakuti, sebaliknya justru potensial untuk meningkatkan posisi Indonesia di pentas internasional.

Namun, ada satu yang harus kita waspadai, yakni masuknya organisasi-organisasi transnasional yang menyebarkan ideologi kebencian dan kekerasan terhadap sesama anak bangsa. Organisasi-organisasi tersebut yang sebagian besar menyokong sumber daya manusia dan finansial kepada kelompok-kelompok yang telah disebutkan di atas.

Merekalah yang kemudian terang-terangan hendak mengubah ideologi Pancasila dengan ideologi agama. Mereka juga gemar menebar kebencian pada orang atau kelompok yang berbeda dengan mereka secara ideologi, khususnya keyakinan dan cara pandang sebutan sesat, kafir, halal darahnya, dan sebagaiannya.

KEMODERATAN SANTRI

Kata SANTRI sudah tidak asing lagi terdengar. Semenjak diresmikannya hari santri oleh presiden Joko Widodo peran santri baru terlihat nyata di hadapan para rakyat. Kita dapat memperluas makna dan cakupan santri tidak hanya sebatas pada pelajar yang belajar di pesantren saja. Sebab, istilah “santri” sendiri bukan berasal dari tradisi muslim baik di Nusantara, Arab.

Istilah santri berasal dari tradisi Hindu-Budha dari bahasa Sansekerta yaitu “Sashtri” yang memiliki akar kata sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama, dan pengetahuan. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “cantrik” yang berarti para pembantu begawan atau resi, seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh para begawan atau resi tersebut. Definisi-definisi tersebut menandakan bahwa santri adalah orang yang setiap kehidupannya diisi sebuah ilmu pengetahuan.

Baca Juga:  PCINU Suriah Gelar Webinar Hari Santri: Gus Nadir Ajak Santri Indonesia Menjadi Teladan Dunia

Santri merupakan bagian dari komponen bangsa yang tidak boleh diremehkan begitu saja. Santri telah sejak lama menjadi prototype pelajar moderat yang memiliki wawasan kebangsaan yang begitu baik, sebelum dicemari oleh sebagian kecil santri yang telah diracuni oleh pemikiran-pemikiran fundamental. Belum ada dalam catatan bahwa santri itu anti-Pancasila, NKRI, serta tidak mau hormat bendera bahkan mengatakan nasionalisme tidak ada dasarnya.

Berdasarkan ilmu agama yang terasa lebih dari cukup, wawasan kebangsaan yang luas, dan latar belakang pemikiran yang moderat seorang santri bisa memberi solusi dari dua tantangan secara universal dalam berkebangsaan.

Karena semenjak di pesantren sang santri sudah merasakan tantangan yang serupa serupa dengan tantang dalam berkebangsaan, berdasarkan ilmu yang dimiliki dan iman sebagai pengokoh ilmu tersebut santri bisa menghadapi tantangan-tantangan yang serupa itu.

Hal yang sedemikian ini tidak jauh dari pondok pesantren di mana para santri berdiam diri untuk menimba ilmu agama. Pesantren merupakan tempat menempa santri untuk menjadi ulama dan kiai. Setamat dari pesantren pada umumnya para santri kembali ke daerah masing-masing dan bertanggung jawab atas agama (Islam), baik mendirikan masjid, pesantren maupun madrasah.

Pengaruh kemoderatan seorang santri tidak jauh pula dari bagaimana seorang kiai mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para santrinya. Karena tidak semua kiai memiliki pemikiran yang moderat yang nantinya akan mempengaruhi terhadap pola pikir seorang santrinya.

Kemoderatan seorang santri sudah tertanamkan semenjak santri berada di sebuah pesantren, karena di dalam pesantren tidak hanya dihuni oleh satu daerah saja melainkan dihuni oleh berbagai latar belakang suku, ras, dan budaya yang berbeda-beda. Dari latar belakang yang berbedalah seorang santri belajar untuk menanamkam sikap moderat di dalam jiwanya.

Baca Juga:  Alfiyah, Pesantren dan Kiai Kholil

Kenapa demikian?, karena pesantren adalah pondasi dari tegaknya sebuah moderasi itu. Jika di pesantren kita bisa menanamkan jiwa yang moderat maka suatu saat dengan sikap moderat yang tertanam pada jiwa seorang santri bisa menjawab berbagai persoalan dan berbagai tantangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya peran seorang santri sangatlah penting untuk bangsa ini. Karena kemerdekaan bangsa ini pula merupakan jerih payah seorang santri juga. Kemudian dengan sikap moderat yang tertanam pada jiwa seorang santri bisa memberi solusi dan jawaban dari tantangan-tantangan yang ada pada bangsa ini, guna mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju yang bisa menjadi contoh untuk bangsa-bangsa yang lain. [HW]

Muhammad Ihyaul Fikro
Mahasantri Ma'had Aly Nurul Qarnain Sukowono Jember

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini