Kehadiran Covid-19 yang tiba-tiba menjangkau ke seluruh dataran dunia sangat mengejutkan manusia seantero dunia. Karena yang diserang itu tidak pandang bulu, apapun status negaranya. Termasuk negara maju pun, bahkan negara yang memiliki teknologi medis terbaik sedunia pun terdampak. Hingga kini tanggal 1 Juni 2020 ada 2013 negara terdampak, terdapat 6.340.273 juta yang positif terkena virus Covid-19, yang sembuh 2.885.923 orang dan kurban wafat sebanyak 376.219 orang atau 5,93 %. Indonesia ada 26.940 kasus, yang sembuh 7.637 orang, dan yang wafat 1.641 atau 6,09 %. Penambahan kasus yang terus menerus terutama di Indonesia inilah yang membuat kecemasan sosial terus meningkat. Walau adanya gagasan akan dimulai kebijakan New Normal,sementara itu di tengah-tengah masyarakat kondisi dan situasinya belum established benar.

Orang-orang yang hidupnya dihadapi kecemasan sosial cenderung memiliki ketakutan terhadap perlakuan yang memalukan, penghinaan, dan penolakan dari orang-orang lain. Kondisi ini bisa mengarahkan mereka untuk menolak situasi sosial yang ada. Kita sebaiknya bisa membantu orang-orang yang cemas dalam waktu-waktu yang sulit ini, bukan malahan tambah membebani. Selama masa pandemi, orang-orang didorong untuk mengambil jarak secara fisik dengan orang-orang yang ada di sekitar rumah.

Pengambilan jarak secara fisik bisa membebaskan diri dari orang-orang yang memiliki kecemasan sosial, tetapi kurangnya interaksi dapat juga memelihara kecemasan sosial. Dengan begitu, bagaimanapun pembatasan jarak secara fisik dapat mempengaruhi kecamatan sosial. Jessica Caporuscio (2020) menjelaskan bahwa “Orang-orang yang memiliki kecemasan sosial sering menolak berinteraksi dengan orang-orang lain, karena ada rasa takut. Physical distancing cenderung mendorong banyak orang untuk menolak sosialisasi, yang mungkin hanya bisa terjadi pembebasan sesaat”. Namun, menolak interaksi sosial justru bisa memelihara kecemasan sosial. Salah satu tindakan umum untuk orang-orang yang memiliki kecemasan sosial adalah Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapi = CBT), yang meliputi penyingkapan situasi sosial secara bertahap. Suatu penyingkapan pada diri orang-orang yang mengalami kecemasan sosial untuk menantang pikiran dan keyakinan yang menyebabkan adanya rasa takut. Selanjutnya dilakukan secara berangsur angsur hingga kecemasan sosial berkurang secara terus menerus sampai terjadi recovery total.

Baca Juga:  Covid-19, Ketidakpastian dan Lahirnya Dromologi Kebohongan

Pandemi juga bisa menciptakan sumber stres yang rapat mempengaruhi setiap orang, yang meliputi (1) khawatir tentang kesehatan dan keamanan, (2) galau mencari makanan dan kebutuhan lainnya, (3) ketegangan/problem finansial, (4) merasa terisolasi dan kesepian, dan (5) selalu berkeinginan update info tentang pandemi Covid-19.

Kecemasan sosial tidak boleh dibiarkan secara berkepanjangan. Karena menurut banyak dokter bahwa jika kecemasan yang terjadi secara terus menerus hingga menjangkau 6 bulan dan seterusnya, maka kecemasan sosial akan semakin berat, cenderung menunjukkan gejala baru yang ditandai dengan phobia sosial, diantaranya : (1) bicara sangat pelan, (2) memberikan jawaban terhadap setiap pertanyaan secara minimal, (3) menolak kontak mata, dan (4) merasa cemas untuk berkomunikasi dengan telepon atau video call. Intinya bahwa mereka sangat berhati-hati dalam berinteraksi, sehingga cenderung perilakunya menjadi lebih autistik.

Physical distancing memang sangat potensial menjadikan orang semakin intens kurang interaksi. Semakin lama bisa menjadikan kecemasan sosial. Agar supaya kecemasan sosial tidak semakin berat, maka segera bisa dikompensasi dengan komunikasi virtual, baik melalui tertulis maupun media tiga dimensi, video conference atau Zoom meeting. Cara ini bisa memberikan kesempatan lebih terbuka untuk bicara dan berekspresi. Bicara dengan muatan formal akademik, maupun bicara informal yang non-akademik dengan ekspresikan perasaan dengan lebih bebas. Dengan demikian diharapkan kecemasan sosialnya bisa berkurang, optimalnya kecemasan sosialnya bisa menghilang.

Di samping dampak Pandemi Covid-19 terhadap kecemasan sosial, yang juga perlu perhatian adalah menjaga kesehatan mental. Beberapa upaya yang bisa dilakukan, di antaranya: (1) membatasi menonton dan membaca berita, (2) mengikuti dan menjalani kegiatan rutin harian, (3) memelihara gaya hidup yang sehat, (4) menjaga dengan tertib dalam mengkonsumsi obat, (5) menerapkan terapi perilaku kognitif, dan (6) menggunakan strategi psikologis lainnya.

Baca Juga:  Komorbid dan Standard Akhlak yang Baru

Akhirnya kita menyadari bahwa antara aspek fisik dan psikologis dalam tubuh kita, tidak bisa diabaikan. Walaupun semula Pandemi Covid-19 itu urusan medis yang terkait dengan patologi fisik, dalam waktu yang sama juga berpengaruh terhadap gangguan psikologis. Salah satunya adalah kecemasan sosial sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari munculnya Physical Distancing. Persoalan ini akan lebih parah dampaknya jika tidak disikapi dengan penerimaan yang baik dan solusi dengan baik, utamanya pemanfaatan komunikasi virtual yang bisa mengkompensasi kelemahan yang menempel pada physical distancing. Di samping ada upaya memanfaatkan dialog langsung untuk mentransferkan nilai-nilai penting yang tidak bisa diwakili oleh komunikasi yang bersifat formal dan akademik. [HW]

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini