Informasi dalam kehidupan ini bagaikan arah dalam perjalanan, yang berarti informasi adalah sesuatu yang sangat penting. Seseorang tidak akan bisa memperoleh apapun dengan mudah, tanpa adanya informasi yang benar.
Namun, sikap manusia dalam menyikapi sebuah informasi itu beragam. Ada yang gampang percaya hingga kelewat ceroboh, ada juga yang sangat sulit mempercayai apapun informasinya hingga kelewat bebal.
Bagi yang berada dalam dunia “yang mengharapkan perubahan manusia”, kebebalan adalah musuh yang menjengkelkan. Karena mereka yang bebal akan sangat sulit mau menerima informasi, tidak peduli benar atau salah.
Ketika menafsirkan ayat 6 sampai 7 surat Al-Baqarah dalam tafsir Al-Ibris, kiai Bisri Mustofa menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad bersedih sebab merasakan tingkah orang-orang kafir. Hingga benar-benar meratap sedih.
Lalu turunlah ayat yang artinya: “orang yang sudah tercetak kafir, itu diapa-apakan akan sama saja. Dinasehati atau tidak dinasehati sama saja, pasti tidak mau beriman. Karena hati, telinga, dan matanya telah ditutup, orang-orang yang seperti itu kelak akan menerima siksa yang agung.”
Di masa kini kita mengenal sifat yang dijelaskan tafsir ini sebagai sikap bebal, sulit mengerti, atau “angel tuturane“. Bahkan, ditingkatan bebal yang tertinggi Al-Qur’an sampai mengatakan “diapa-apakan akan sama saja”.
Obat bagi kebebalan dalam ayat di atas adalah “siksa yang agung”. Dalam dosis yang lebih kecil, obatnya adalah akibat. Dalam bahasa Jawa obat ini juga dikenal sebagai rasa “jongor“.
Dengan begitu, kebebalan bukanlah sifat yang baik untuk dimiliki. Tapi, sifat terlalu gampangan untuk mempercayai segala informasi tanpa disaring pun juga sama tidak baiknya.
Oleh karenanya, sikap di tengah-tengah lah yang paling baik, yakni objektif dalam menerima informasi. Kehati-hatian dan kritis terhadap segala informasi juga perlu, namun menolak semua informasi secara membabi buta, jangan. []