Dalam tulisan sebelumnya kita sudah menjelaskan bahwa proses masuknya Islam dan islamisasi di Nusantara adalah dua hal yang berbeda. Para sarjana ada berpendapat bahwa Islam sudah datang ke wilayah Nusantara sejak abad ke 7 M, tetapi proses Islamisasi baru mulai terjadi sekitar abad 13 M. Meskipun sangat jauh terpaut (hampir yakni sekitar 6-7 abad lamanya), namun hal ini bisa dimaklumi karena daerah Nusantara adalah wilayah yang sangat luas dan memiliki akar peradaban yang sangat kuat. Sehingga tidaklah mudah bagi agama Islam yang relatif muda saat itu untuk bisa masuk dan diterima oleh penduduk lokal Nusantara. Meskipun demikian, dua peristiwa di atas menjadi sebuah tanda tentang adanya jejaring persebaran Islam di jalur Sutera yang berujung di daratan China dan jalur rempah yang berujung di kepulauan Timur Nusantara. Teori jejaring perdagangan inilah yang paling banyak dipercaya oleh para sarjana menjadi awal masuk dan berkembangnya agama Islam, serta proses Islamisasi di Nusantara di tahapan selanjutnya (Kersten, 2019).
Fakta yang membuktikan adanya jejaring penyebaran Islam memang sulit dibantah. Catatan-catatan dari para “pelancong” dunia seperti Ibnu Batuta, It Sing, dan juga para pemburu rempah dari Portugis semacam Alfonso de Albuquerque yang terkenal dengan misinya feitoria, fortaleza dan igreja (emas, kejayaan, dan Greja) yang akhirnya bisa membuka jalan “kolonisasi” pulau-pulau di wilayah Timur Nusantara, sangat sulit untuk dibantah. Meskipun catatan kuno tersebut tidak terlalu banyak menjelaskan tentang kehidupan keagamaan. Karena mereka lebih banyak mendeskripsikan keadaan politik dan ekonomi. Maka apa yang terjadi di tanah Jawa juga tidak bisa dilepaskan dari “jejaring” Islamisasi yang terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Terutama di awal abad 13 yang terus merangsek ke pedalaman Jawa dan terus berlanjut pada abad-abad berikutnya. Hanya saja sebagaimana telah disinggung di tulisan sebelumnya, bahwa memang tidak banyak catatan tentang bagaimana Islam menjadi agama “rakyat” di tanah Jawa. Karena dalam soal kehidupan keagamaan Islam, informasi yang banyak adalah berupa cerita rakyat atau mitos yang melekat pada cerita tentang kehebatan Wali Songo yang di kenal sebagai pelaku utama Islamisasi tanah Jawa. Sehingga sulit diukur dan diterima kebenarannya atau keobjektifannya.
Menurut Carrool Kersten proses Islamisasi tanah Jawa sangat berbeda dengan yang terjadi di pesisir wilayah Malaka, termasuk di pulau Sumatera. Karakter budaya masyarakat Jawa yang agraris dan cukup kuat memegang keyakinan akan nilai budaya lokal mereka. Menjadikan proses islamisasi yang dilakukan para pendakwa agama Islam tidak berjalan cepat. Sangat sulit bagi mereka untuk meyakinkan penduduk pendalaman Jawa yang sangat ekslusif. Kondisi ini mirip dengan karakter masyarakat Thai dan Myanmar, yang bahkan sampai sekarang, Islam belum berhasil menembus dengan baik. Hipotesis Kersten soal fenomena ini sangat menarik untuk diteliti secara serius. Meskipun begitu saya tetap tidak sepakat dengan pendapat Kersten, terutama tentang argumen dia soal “kebesaran” peran Wali Songo yang hanya merupakan “mitos” belaka. Kersten berjalan bahwa catatan yang.menjelaskan “dakwah” para wali Songo tersebut , ditukis jauh setelah era Wali Songo selesai. Karena itulah dia beranggapan, bahwa cerita tersebut adalah sebuah “mitos” yang dibuat-buat, dan tidak cukup untuk dijadikan sebagai informasi sejarah.
Saya punya asumsi yang berbeda dengan Kersten mengenai kenapa susah sekali mendapatkan catatan tentang wali Songo yang bertahun sejaman dengan eranya. Pertama bisa jadi para Wali Songo yang diawali dengan kehadiran syek Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang kemudian dilanjutkan oleh “anaknya”, yaitu Sunan Ampel masih terlalu sibuk melakukan aktivitas dakwah, dimana para santri yang ada masih dari golongan rakyat biasa yang budaya literasinya rendah. Kalaupun ada yang dari kalangan pejabat kerajaan, itupun masih pejabat rendahan yang masih takut untuk menampilkan keislamannya secara terang-terangan. Apalagi saat itu Majapahit sedang dalam keadaan mulai lemah dan isu politik sekecil apapun akan mengundang kecurigaan dari pusat pemerintahan. Kedua ada kesengajaan dari para Wali Songo untuk menyembunyikan potensi kekuatan politik mereka agar tidak mengundang kecurigaan Majapahit. Hal ini menjadi niscaya, karena terbukti ketika terjadi konflik internal di Majapahit, tiba-tiba saja Islam dengan dukungan para wali Songo muncul dengan “kerajaan” Demaknya. Kemudian masuk dalam putaran konfliks elit Majapahit dan terus terlibat sampai era Mataram Islam. Kita akan mengulas hal ini lebih dalam pada tulisan di kesempatan lain.
Kemunculan “kerajaan” Demak sendiri cukup unik, karena tidak banyak merepresentasikan kekuasaan yang dikendalikan dari pusat pemerintahan atau istana. Sebaliknya kendali kekuasaan justru dipegang para wali atau semacam dewan syuro, yang pusat aktifitasnya ada di Masjid Demak. Masjid Demak sendiri memiliki latar sejarah yang “unik”. Karena dalam proses pembangunannya dipenuhi dengan mitos-mitos yang kadang tidak masuk akal, seperti keterlibatan sunan Kalijaga yang membuat salah satu pilar utama masjid tersebut dari “tatal” sisa potongan kayu. Meskipun sebenarnya ini bisa jadi adalah sebuah simbol dari keterlibatan masyarakat lokal yang beragam latar keyakinannya. Atau ini juga bisa dimaknai bahwa dakwah Islam belum selesai karena masih banyak rakyat kecil (tatal yang beserakan) yang belum sepenuhnya disatukan (menerima ajaran Islam). Atau bisa juga dimaknai sebagai ketidaksepakatan sunan Kalijaga terhadap keputusan dewan wali menjadikan masjid sebagai pusat pemerintahan. Karena dianggap akan sangat rapuh secara politik, dan berpotensi “merusak” Spiritualitas ummat. Apalagi saat itu ajaran sufisme juga sudah mulai berpengaruh di kalangan ummat Islam Jawa. Terlepas dari mitos tersebut, dijadikannya masjid Demak sebagai pusat pemerintahan seolah menandakan sebuah “Revolusi” budaya politik Jawa yang biasanya berpusat di Istana raja. “Proyek” syari’atisasi para wali Songo ini memang akhirnya gagal bertahan lama. Dalam beberapa catatan dikarenakan adanya konflik antara Sunan Giri (yang mewakili kelompok islam formalis/fiqh) dan Sunan Kalijaga (mewakili Islam substantif/tasawuf). Konflik ini konon sampai menimbulkan fatwa pembunuhan terhadap Raden Patah, karena begitu kecewanya Sunan Giri terhadap muridnya tersebut. Setelah diketahui sang murid telah menjadikan sunan Kalijaga sebagai guru spiritualnya. Konflik ini akhirnya menjadi berkepanjangan dan terus terjadi di antara para penerus “kerajaan Islam” Demak. Dan akhirnya membuat kerajaan Islam pertama ini hilang.
Kegagalan Proyek Wali Songo yang ingin mengubah sistem dan budaya politik Jawa yang berpusat di istana raja menuju ke Masjid dengan dewan syuro nya (Sebagaimana dilakukan di Masa Nabi dan terutama di era khulafaur Rasyidin). Menjadi titik balik dari kembalinya kekuatan politik Mataram (pedalaman Jawa) setelah sempat dikuasai oleh kekuatan politik Islam pesisir. Meskipun gerakan politik Islam pesisir mengalami kekalahan. Namun tidak berarti proses Islamisasi berhenti. Ajaran Sunan Kalijaga yang lebih “luwes” menjadi “penyelamat” Islam. Islam tetap menjadi agama pilihan para raja Mataram yang selanjutnya banyak memproduksi kitab-kitab keagamaan yang bernuansa sinkretis antara ajaran Jawa, Hindu-Buddha dan Islam. Sultan Agung menjadi tokoh utama dalam proyek ini dan cukup sukses. Bahkan sampai sekarang kita masih bisa melihat pengaruhnya di dalam tradisi-trasisi yang ada di keraton Jogjakarta dan Surakarta. #SeriPaijo. [HW]