wali songo dan islamisasi politik

Proses “Hinduisasi” tanah Jawa sangat dipengaruhi dengan narasi kegaiban atau mitos kesaktian “Aji Saka” yang berhasil menaklukkan tanah Jawa. Narasi “kesaktian” begitu populer menurun pada cerita tentang raja-raja tanah Jawa pada era berikutnya. Seperti era raja Airlangga di Jawa Timur yang karena begitu hebatnya, maka ia disimbolkan dalam rupa patung dewa Wishnu. Prasasti yang menjelaskan “eksistensi”nya dipenuhi dengan “narasi” kesaktian yang melampaui nalar rasional. Model “pengagungan” terhadap raja-raja Jawa ini terus berlanjut hingga era Wali Songo dan munculnya era Mataram Islam. Cerita “karomah” para wali Songo yang penuh keajaiban menjadi begitu populer di masyarakat hingga saat ini, sehingga mengaburkan fakta-fakta sosiologis, ekonomi, seni dan budaya masyarakat di Tanah Jawa saat itu. Hal ini jelas terpengaruh pola lama yakni ketika agama Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia. Catatan terbanyak yang ada hanya berkutat pada soal cerita kehebatan “raja-raja” dan para Brahmana yang sakti mandraguna (Degraaf,1974 dan Mekke 1961).

Fakta-fakta yang tersembunyi dalam naskah-naskah kuno tersebut menandakan bahwa berita-berita tentang kehidupan ekonomi, kesenian, budaya, dan kehidupan keseharian masyarakat bawah tidak banyak diungkap oleh para “penulis” naskah saat itu. Hal ini bisa dimaklumi karena saat itu tidak semua orang bisa jadi penulis, atau memiliki kemampuan menulis. Kalaupun ada yang bisa, dipastikan itu dari kalangan elit kerajaan atau para saudagar dan utusan asing yang tidak begitu memberikan perhatian kepada aspek kehidupan di luar politik. Narasi politik yang begitu dominan pun seolah merupakan “pesanan” para raja untuk kepentingan “pencitraan” di masyarakat atau di mata raja lain di luar tanah Jawa. Karena memang di era itu sudah menjadi kelumrahan bagi para raja untuk saling menukar “hadiah” sebagai tanda “kemakmuran” dan “kebesaran” sebuah dinasti. Maka dari itu diperlukan kejelian seorang peneliti sejarah atau Antropolog dan arkeolog untuk bisa mengungkapkan informasi yang tersembunyi di balik narasi besar kaum elit yang sangat mendominasi sistem pengetahuan masyarakat. Tugas mereka adalah mencari narasi tandingan yang hadir bukan dari kalangan elit penguasa. Meskipun upaya ini terkesan mustahil tetapi sebenarnya masih sangat mungkin dilakukan dengan mencermati tradisi lisan yang tersembunyi dalam cerita-cerita rakyat yang berkembang di luar keraton. Salah satu di antaranya adalah mitos yang berkembang diseputaran kisah-kisah wali songo di abad 14 dan 15.

Baca Juga:  Kerajaan Islam di Tanah Jawa (Seri ke-6)

Dalam tulisan sebelumnya, sudah disinggung bahwa proses islamisasi Nusantara atau khususnya tanah Jawa mulai terjadi sejak abad ke 13. Hal ini terlihat dari bukti-bukti arkeologis berupa batu nisan dan jejak kebudayaan lainnya yang menunjukkan ada komunitas “elit” yang berkembang di daerah pesisir pantai Utara Jawa. Salah satunya adalah makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik Jawa Timur. Temuan ini meskipun masih menimbulkan banyak perdebatan dan kontroversi. Akan tetapi jejak kebudayaan atau peradaban sosial yang ada di sekitar lokasi menguatkan bahwa memang telah ada proses islamisasi kehidupan di era tersebut. Untuk diketahui catatan nisan makam ini masih sekitaran abad 11-12.

Kisah diseputaran Nyai Fatimah Binti Maimun juga menarik simak, karena ada yang mengaitkan dengan masuknya orang Persia di sekitar abad 12. Nyai Fatimah adalah “saudagar” sekaligus “pendakwah” yang berasal dari suku “Leren” di Persia (Husein, 1959). Beliau diperkirakan penganut paham Syiah, dan ini juga menguatkan apa yang dikatakan Gus Dur bahwa Islam di Indonesia sangat dekat hubungannya dengan Syi’ah. Karena itu banyak sekali jejak tradisi Syi’ah yang ada dan menyatu dalam ritual-ritual yang menyertai “peribadatan” sosial yang dilakukan ummat Islam di Nusantara (Lain kali kita akan membahas hal ini dengan lebih rinci). Jadi semakin jelas dan nyata bahwa daerah pesisir Utara Jawa Timur; sekitar Gresik, Tuban dan Surabaya sudah mulai menjadi daerah “Kauman” atau kampung orang Islam sejak sebelum era wali Songo abad ke 14.

Kemunculan wali Songo yang kemudian menjadi sangat populer dalam narasi sejarah Islam. Juga tidak terlepas dari kisah-kisah gaib yang diislamkan dengan istilah “karamah”, karena kedekatan mereka dengan Allah. Hal Ini juga mirip kisah kesaktian raja Airlangga yang dianggap sangat dekat atau bahkan merepresentasikan “sifat” Dewa Wishnu. Sehingga memliki legitimasi kuat secara politik. Artinya ketika narasi kesaktian atau karomah para wali Songo muncul, hal itu menandakan adanya proses islamisasi politik kerajaan di tanah Jawa sedang terjadi. Karena dalam tradisi politik Jawa kemunculan mitos kesaktian tokoh-tokoh utama dalam masyarakat menjadi tanda kuatnya legitimasi mereka. Sekaligus tanda akan adanya persaingan politik di tingkat elit. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab munculnya “kesalahan” interpretasi bahwa Islam lah yang menjatuhkan “Majapahit”. Padahal saat itu kondisi politik tanah Jawa memang sedang “kacau”. Sehingga para ulama atau para wali yang merasa sudah memiliki “kekuatan” sosial dan kultural, merasa perlu untuk menampakkan daya tawar politiknya dalam dinamika persaingan politik di kerajaan Jawa. Proses inilah yang akhirnya melahirkan kerajaan Islam Demak.

Baca Juga:  Jejaring Islamisasi dan "Kerajaan" Demak (Seri Ke-9)

Kisah-kisah rakyat dimana para wali seperti sunan Bonang yang “menaklukkan” preman Lokajaya yang konon anak seorang Adipati, juga bisa di tafsirkan sebagai menguatnya pengaruh politik para ulama di pemerintahan setempat. Demikian juga ketika Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai wali yang “bertapa” di pinggir sungai, bisa dimaknai bahwa mereka sudah menguasai jalur transportasi utama saat itu. Serta kisah-kisah yang bernuansa “kesaktian” para wali lainnya adalah menandakan sebuah pengaruh politik di masyarakat yang sangat besar, yang bukan hanya bersifat formalitas hasil “pencitraan’. Tetapi konsekuensi dari proses islamisasi yang berjalan dari bawah atau kalangan rakyat jelata. Karena memang Islam sejak lahir memiliki karakter “bottom-up” atau “kerakyatan” yang luar biasa. Nabi Muhammad adalah anak yatim piatu dan dikenal sebagai pemimpin para dhuafa (rakyat jelata). Hal inilah.yang menjadikan Islam bisa bertahan lama sampai sekarang meskipun kerajaan Islam sudah tidak ada. Hal ini berbeda dengan agama Hindu dan Buddha yang lebih memilih jalur “top down” dimana ketika sang raja tidak lagi berkuasa, agama rakyat mereka pun segera ikut melemah. #SeriPaijo. [HW]

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] secara objektif jauh lebih memiliki bukti-bukti sejarah dan arkeologis dibandingkan dengan peran wali Songo yang menurut Riecklefs tidak banyak memiliki bukti konkret kecuali sebatas “mitos” […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini