Kerajaan Islam di Tanah Jawa

Dalam tulisan yang lalu kita telah membahas tentang terjadinya proses islamisasi tanah Jawa yang sudah mulai terjadi secara massif (sosial-kultural) sejak abad ke 13 M. Salah satunya melalui ikatan perkawinan orang Persi dan Arab dengan penduduk lokal. Dari proses inilah kemudian muncul proses islamisasi penduduk lokal secara politik, dengan mulai masuknya Islam ke dalam sistem kekuasaan lokal, atau kerajaan yang saat itu dipengaruhi agama Buddha dan Hindu. Dalam catatan sejarah H.J. Degraaf dan TH. Pigeaud, proses ini di tanah Jawa terjadi dikisaran abad XV dan XVI, yang dalam “ingatan” kolektif orang Jawa dikenang sebagai era atau masa transisi terjadinya peralihan dari kerajaan Jawa yang bercorak Hindu-Budha menuju Mataram Islam (Degraaf &Pigeaud, 1974). Patut digarisbawahi bahwa kemunculan kekuatan politik Islam pertama di tanah Jawa secara simbolik terjadi di pesisir Utara Jawa, dengan berdirinya “kerajaan” Demak. Dimana kemudian secara tidak bijak dinyatakan oleh sebagian sarjana dan orang Jawa sebagai penyebab utama runtuhnya Majapahit. Kerajaan besar di tanah Jawa yang juga merepresentasikan sebuah eksponen Peradaban atau Kebudayaan Jawa yang bercorak Hindu-Budha. Dimana kemudian dihadapan secara vis avis dengan kerajaan Demak (merepresentasikan wajah politik atau eksponen utama kebudayaan Islam), yang muncul disaat Majapahit sedang mengalami kemunduran akibat permasalahan konflik internal (Meeke, 1961).

Menganggap bahwa kerajaan Demak sebagai “pusat” gerakan islamisasi tanah Jawa adalah sebuah “kekeliruan”. Meskipun pandangan ini (bahkan) sudah menjadi “keyakinan” bagi banyak kalangan yang “awam” sejarah. Sebab banyak sekali pusat-pusat pengembangan agama Islam yang tersebar di pesisir tanah Jawa. Mulai dari Surabaya, Gresik, Tuban, Jepara, Juwana, sampai Cirebon dan Banten. Semua memiliki peran penting masing-masing dalam proses islamisasi tanah Jawa. Bahkan Madura yang merupakan pulau terpisah dari daratan utama Jawa, juga memiliki peran sangat penting dalam proses islamisasi di pesisir Utara Jawa Timur, yang kemudian dikenal dengan daerah “Pandalungan”. Semua peristiwa “transisi” tersebut terjadi pada kisaran abad XV – XVI. Karena itu menjadi sangat penting mengkaji peristiwa-peristiwa sejarah di era tersebut. Karena selama ini sangat sedikit para peneliti yang mencoba fokus mengungkap “misteri” era peralihan tersebut. Bahkan begitu kaburnya era tersebut, sampai ada penulis (Agus Sunyoto) yang berani menyatakan bahwa kerajaan pertama Islam di tanah Jawa adalah “Lamajang”. Dengan hanya berdasarkan pada mitos atau cerita “rakyat” dan sedikit artefak yang “bercorak Islam”, dia sudah berani menyimpulkan bahwa kerajaan Lamajang yang ada di wilayah Pandalungan itu adalah kerajaan pertama Islam di Jawa. Meskipun banyak sekali pakar sejarah yang menolak dan tidak mengakui pendapat ini (apalagi penulis bukan seorang “sarjana sejarah”), tetapi kenyataan ini menjadi bukti akan masih kaburnya gambaran sejarah di era transisi tersebut.

Baca Juga:  Islamisasi Jawa (Seri ke-5)

Diakui atau tidak runtuhnya kerajaan semacam Padjadjaran dan Majapahit tidak terlepas dari pengaruh asing yang saat itu sangat kuat menyerbu Nusantara. Mulai dari kekuatan Eropa yang diwakili Portugis yang di era transisi tersebut sudah “mendiami” kerajaan Malaka. Belum lagi kekuatan kekaisaran China yang pada saat itu juga sedang “berkonflik” dengan Majapahit, serta kekuatan Islam sendiri yang saat itu sudah menyebar mulai dari dataran India sampai ke ujung kepulauan Nusantara. Bahkan pada masa itu Portugis adalah menjadi kekuatan asing yang paling gigih menahan laju “Islamisasi” si Nusantara. Bahkan istilah “God, Glory and Gold” itu menjadi semacam simbol bangsa “Eropa” dalam upayanya mencengkeram daerah koloninya yang tersebar mulai benua Afrika, Asia sampai Amerika. Maka menjadi sangat wajar jika mereka yang ingin menguasai Nusantara harus berhadapan dengan ummat Islam yang pada masa itu sudah menjadi agama “mayoritas’ secara politik di Malaka dan tanah Jawa. Bahkan ada yang secara ekstrim menyebut “peperangan” Portugis dan para raja Islam di Nusantara sebagai bagian dari kelanjutan perang salib. Maka tidak perlu heran jika (mereka) Portugis gagal mengambil alih Jawa karena kuatnya sentimen keagamaan tersebut.

Kegagalan Portugis dalam menghadapi resistensi ummat Islam yang saat itu sudah memiliki kerajaan Demak, yang jaringan ideologisnya sangat kuat sampai ke Jawa Barat. Menjadi bahan pelajaran bagi “Belanda” yang datang lebih akhir dari Portugis ke Nusantara untuk berdagang dan melakukan kolonisasi. Kuatnya sentimen keagamaan Islam menjadikan Belanda melakukan politik “Devide et impera” atau politik pecah belah. Atau bisa juga diistilahkan dengan politik “belah bambu”. Di mana satu kerajaan di injak dan satu lagi diangkat ke atas. Sehingga bambu (kesatuan masyarakat) menjadi terbelah. Dari proses-proses rekayasa politik sangat halus tersebut kerajaan Islam di Nusantara semakin melemah dan saling berkonflik satu sama lainnya. Akhirnya dengan mudah Belanjda menguasai Indonesia dalam waktu yang relatif lama. #SeriPaijo. [HW]

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] “Hinduisasi” tanah Jawa sangat dipengaruhi dengan narasi kegaiban atau mitos kesaktian “Aji Saka” yang berhasil […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini