Jahiliah Kontemporer, Awas Menyerang Kita

Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir yang diutus oleh Allah ke muka bumi. Ia diberikan amanah sebagai pembawa risalah kenabian. Ajaran-ajarannya sarat dengan keteladanan moral dan etika luhur. Hal itu sesuai dengan sabdanya, sesungguhnya aku diutus ke muka bumi semata-mata untuk memaripurnakan akhlak yang agung.

Nabi Muhammad Saw merupakan sosok yang revolusioner, karena doktrin Islam yang diperkenalkan olehnya yaitu Islam ramah bujan Islam yang marah-marah. Ia juga berhasil telah mampu mengubah sistem keyakinan dan tatanan kehidupan orang-orang yang berkarakter pemuja berhala menjadi insan ilahiyah yang percaya kepada Allah SWT.

Atas keberhasilan ini sehingga Sayyid Qutb menggunakan term revolusioner atas perjuangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam catatan Sayyid Qutb, ada enam langkah yang dilakukan Nabi Muhammad di dalam melakukan pembaharuan masyarakat Madinah. Pertama, revolusi menentang berhala kemunafikan terhadap ras dan warna kulit; kedua, revolusi menentang kefanatikan agama; ketiga, revolusi menentang perbedaan kemasyarakatan dan sistem ras; keempat, revolusi menentang keyakinan, penyelewengan, dan kesewenang-wenangan; kelima, revolusi dalam menentang berhala perbudakan; keenam, revolusi dalam menentang berhala laki-laki (Ahmadin, 2020: 30).

Rasulullah juga termasuk satu-satunya orang-orang yang sangat berani melakukan hal itu. Padahal yang ia hadapi ketika itu dalam melakukan pembumian agama Islam bukanlah orang-orang biasa, justru itu yang dia hadapi adalah orang-orang Quraisy yang dikenal dengan watak yang keras kepala. Karena sifatnya yang bandel dan keras kepala itulah mereka dikenal dengan sebutan masyarakat jahiliah (lihat misalnya suku Badui dan lain sebagainya).

Yang paling menarik adalah, ketika melakukan pembumian Islam, beliau melakukannya dengan cara persuasif dan penuh dengan keteladanan moral. Piagam Madinah menjadi bukti historis bahwa konstitusi politik berpadu apik dengan struktur Islam untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan sosial yang harmonis.

Dalam buku-buku sejarah, biasanya masyarakat Mekkah sering diidentikkan dengan seseorang yang berwatak keras dan suka menentang kebijakan Nabi. Watak yang demikian itu tentu sangat kontradiktif dengan ajaran-ajaran ideal agama. Selain itu, mereka juga dikategorikan sebagai masyarakat jahiliah dikarenakan mereka masih tetap pada prinsipnya (menyembah berhala) dan berani memusuhi dan menyakiti orang-orang yang ketahuan telah menyatakan beriman kepadanya (Muhammad).

Baca Juga:  Fikih Manhaji; Menggali Hukum Islam dalam Realitas Kontemporer

Memang Rasulullah Saw ketika berbicara, beliau tidak pernah berbohong. Kalau berjanji tidak pernah ia ingkari. Dalam status sebagai manusia, ia sama seperti manusia pada umumnya di dalam menjalani hubungan sosial kemasyarakatan. Dalam kaitannya dengan hubungan kemasyarakatan, Rasulullah Saw tidak pernah membuat orang lain tersakiti yang ditimbulkan oleh sikapnya. Begitu pula dengan statusnya sebagai keturunan orang tertinggi di suku Quraisy. Ayahnya bernama Abdullah anak dari Abdul Muthalib (kepala suku Quraisy yang sangat berpegaruh) dan ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Meskipun ia keturunan orang petinggi Quraisy ia tidak pernah menyombongkan diri meskipun ia sendiri sangat disegani. Hal ini yang membuat semua orang merasa nyaman bersahabat dengannya.

Menakar Makna Jahiliah

Kata “jahiliah” sering diartikan sebagai sebuah kebodohan oleh kebanyakan orang, padahal term tersebut mempunyai makna yang lebih dari itu. Jahiliah dapat pula diartikan sebagai sebuah perbuatan yang sama sekali sangat bertentangan dengan ajaran ideal Islam. Ajaran ideal yang ditekankan dalam Islam adalah tentang kehidupan yang sejahtera, damai, berkeadilan, dan kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai luhur, yaitu kontekstualisasi Akhlakul Karimah dalam kedirian setiap hamba.

Menurut Prof. Dr. Abd. A’la, M.Ag., kehidupan yang demikian itu, yang dibingkai dengan akhlak luhur adalah merupakan visi dan tujuan ajaran Islam. Sebab Islam sendiri memuat esensi moral, sebagaimana Rasulullah sendiri menegaskan kalau beliau diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.

Memang harus diakui orang-orang terdahulu sering melakukan perbuatan-perbuatan yang berpotensi memalsukan agama yang hanif, yaitu agama yang pernah dibawakan oleh ababul ambiyak (bapak para nabi), Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Hakikat ini secara tegas telah dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak empat kali, antara lain:

“Dan berjihadlah pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama (millah) orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu….” (QS. Al-Hajj (22): 78).

Baca Juga:  Ijtihad Klasik dan Kontemporer

“Katakanlah, ‘Benar (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus (hanif), dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Ali Imran (3): 95).

Penyembahan berhala dan kemusyrikan ini telah tersebar di Jazirah Arab. Mereka telah meninggalkan akidah tauhid dan mengganti agama Ibrahim juga Ismail dan juga yang lainnya. Akhirnya mereka mengalami kesesatan, meyakini berbagai keyakinan yang keliru, dan melakukan tindakan-tindakan yang buruk, sebagaimana umat-umat yang lainnya (Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy (trj.), 1999: 23).

Dalam kondisi seperti ini perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang pra-Islam dengan memalsukan agama yang hanif termasuk kategori “jahiliah”.

Orang-orang yang hidup di era kontemporer ini bisa jadi juga akan dikategorikan sebagai masyarakat jahiliah tatkala mereka tidak bisa menghidupkan ajaran ideal Islam secara paripurna. Banyak sekali orang yang kurang memperhatikan akhlak akhir-akhir ini. Parahnya lagi mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah salah. Mengaku paling benar sembari menganggap yang lain serba salah. Inilah penyakit hati yang harus dibenarkan. Sikap di atas ini bisa digolongkan sebagai “jahiliah kontemporer”.

Kalau dulu orang-orang kafir Quraisy menyembah berhala yang dibuat sendiri dari batu, misalnya, malah ada sekarang yang jauh lebih parah lagi dari itu, mereka dapat dikatakan jahiliah karena mereka lebih sibuk memberhalakan institusi agama sembari menafikan nilai-nilai Ketuhanan.

Coba kita perhatikan tulisan Prof. Abd. A’la ini, ”politik yang berkembang dewasa ini adalah politik yang belum sepenuhnya berpihak kepada rasa keadilan, belum sepenuhnya mampu mengembangkan pemerataan ekonomi, dan belum setulusnya memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi semua, terutama bagi penduduk di dunia ketiga”.

Memang benar, kerusuhan-kerusuhan di Indonesia yang terjadi selama ini adalah tanggapan terhadap ketimpangan sosial ekonomi, legitimasi politik yang menurun, dan pandangan mengenai yang mengancam terhadap identitas kelompok. Dalam sejumlah kasus di Indonesia, kerusuhan ini melibatkan keluhan yang lebih langsung atas hak-hak praktik beragama. Penggunaan identitas agama menuntut penjelasan melampaui berbagai sebab kekerasan yang bersifat langsung. Akibat kondisi yang demikian itu membuat banyak orang merasa terpinggirkan.

Baca Juga:  Bermain Saham dalam Perspektif Ulama Kontemporer

Akibatnya, banyak mereka menjadikan agama sebagai media perlindungan dan perlawanan. Karena melalui agama mereka dengan mudah menyentuh emosi untuk mengobarkan semangat dan menyatukan langkah. Dalam kondisi seperti ini agama dijadikan sekadar justifikasi untuk melindungi kepentingan sempit mereka dan membenarkan tindakannya kendati bertentangan dengan nilai-nilai substantif ajaran agama. Inilah yang menyebabkan pudarnya nilai-nilai etik-moralitas agama yang luhur tersebut (Abd. A’la, Ijtihad Islam Nusantara, 2018).

Toshihiko Izutsu memberikan sebuah definisi dari arti “jahiliah”. Menurutnya, jahiliah diartikan sebagai hamiyat al-jahiliyah (organisasi kejahilayaan) atau lebih pasnya sebagai lawan dari kata al-Hilm (kasih sayang, santun, dan murah hati). Itulah sebabnya mengapa Islam ajarannya banyak menyeru kepada kebajikan, keadilan, mengendalikan hawa nafsu, larangan berbuat sewenang-wenang, arogan, kasar, dan sombong. Ajaran-ajaran tersebut merupakan manifestasi dari sifat al-Hilm (Al-Fauzi, 2020: 26-27). Jadi, menurut Toshihiko di sini, arti dari jahiliah di sini adalah sebuah tindakan kekerasan atas nama agama, yang mana tindakan tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran ideal. Sementara agama memberikan tugas untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian, konsep Islam rahmatan lil’alamin harus terus diupayakan karena agama Islam selalu selaras dalam setiap situasi dan kondisi. Agama Islam harus bisa menjadi representasi yang baik dalam upaya mewujudkan ajaran-ajaran Islam yang ideal dengan terus memaripurnakan akhlak luhur dalam setiap ruang yang sangat beragam dan waktu yang terus berjalan tanpa harus mengedepankan simbol legalistik agama.

Sampai di sini, mari saling memberi nasehat dan mengingatkan dalam upaya meningkatkan prestasi diri sendiri dengan cara saling menghargai perbedaan, karena perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan harus dirajut demi tercapainya persatuan dan kesatuan menuju keamanan bersama yang lebih baik. Sekian. []

Ashimuddin Musa
Santri PP. Annuqayah dan Pengurus PAC. GP Ansor Pragaan

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini