Tiga Nikmat Berharga yang Diberikan Allah Setelah Nikmat Bernafas

Kita kerap mengira bahwa yang disebut ‘kenikmatan’ adalah kenikmatan dalam bentuk materi seperti harta, jabatan, pangkat, banyaknya pengikut, dan tahta. Namun kita masih abai dengan kenikmatan yang bersifat immateri (tidak terlihat tapi dapat dirasakan), seperti tenangnya jiwa, sikap legawa (menerima), bersemangat dalam menjalani kebaikan, ilmu yang bermanfaat dan masih banyak lagi. Seseorang yang mendapat nikmat materi dapat dikatakan sebagai orang yang sukses, tapi ia belum tentu bahagia. Sedangkan orang yang mendapat nikmat immateri, bisa dikatakan ia adalah orang yang bahagia, meski nikmat dunia (materi) yang ia dapatkan tidak sebanyak yang didapat orang-orang yang sukses.

Selain beberapa nikmat tersebut, Allah SWT memberikan kita tiga nikmat immateri yang sungguh lebih berharga dari apapun, dan andaikata ditukar dengan dunia seisinya, maka ia tidak ada bandingannya. Pertama, yaitu nikmat iman. Orang yang ada iman di hatinya, sekalipun dibebankan padanya musibah seberat gunung, tidak tampak padanya wajah muram, sedih, dan sengsara. Sebab ia beriman akan adanya balasan di akhirat, dan lipatan kebaikan bagi mereka yang bersabar. Iman dapat menguatkan hati orang-orang yang lemah, dan melembutkan hati yang terlanjur mengeras seperti batu.

Kedua, yaitu nikmat Islam. Yakni kenikmatan berupa memelajari dan menjalankan syariat Islam. Ibarat rambu-rambu lalu lintas, memberi aba-aba kapan waktu berhenti dan kapan waktu berjalan. Kapan ada jalan belokan, tanjakan, turunan, sempit, bergelombang, dan jalan yang rawan bencana. Jika tidak diatur sedemikian rupa, justru akan membawa mudhorot yang lebih besar, seperti kerusakan bagi dirinya, terambilnya hak orang lain, rusaknya kohesi (kerukunan) sosial, bahkan kecelakaan beruntun (kerugian yang tidak dirasakan secara individu saja, tapi juga orang-orang terdekat). Islam adalah agama yang inti ajarannya adalah dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih, “menghindari kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil maslahat”. Karena itu, Islam sangat mencela setiap keputusan yang semula ditujukan untuk mendatangkan maslahat, tapi potensi mencelakakan orang lain atau mudhorotnya lebih besar, sebagaimana juga dibahas dalam maqashid asy-syari’ah.

Selain itu, dengan jalan memelajari syariat dan mengamalkannya dengan baik, hal tersebut dapat menyampaikan seorang hamba pada Allah SWT. sebagaimana ucapan Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali,

Baca Juga:  Hidup Ini untuk Apa?

فنقول : أول الأمر، الواجب على سالك الطريق، اعتقاد صحيح، لايكون فيه بدعة، والثاني توبة نصوح لا ترجع بعدها إلى الزلة. الثالث إسترضاء خصوم حتى لا يبقى لأحد عليك حق، والرابع تحصيل علم الشريعة قدر ما يؤدي به أوامر الله تعالى فالزيادة على هذا القدر ليس بواجب. ، ثم من علوم الآخرة ما يكون فيه النجاة

Maka kami sampaikan: perkara pertama yang diwajibkan bagi orang yang menempuh jalan menuju Allah, yaitu keyakinan yang benar (lurus) dan tidak ada bid’ah di dalamnya. Kedua, taubat dengan sungguh-sungguh dan tidak lagi kembali pada kesalahan. Ketiga, meminta kerelaan hati para musuh sampai tidak tersisa hak orang lain padamu. Keempat, memelajari ilmu syariat, yang sekiranya bisa mencukupi untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Selebihnya tidaklah wajib. Kemudian (engkau juga perlu mendalami) ilmu akhirat yang dapat membutmu selamat.” (Ayyuhal Walad, Dar al-Minhaj, h. 53)

Ketiga, yaitu nikmat Ihsan. Yakni kenikmatan berupa merasakan keberadaan Allah, atau jika tidak mampu, yakni merasakan bahwa ia sedang diawasi oleh Allah. Ini adalah tingkat atau maqam yang tinggi yang dicapai oleh mereka-mereka yang telah berma’rifat terhadap Allah, seperti para auliya’, para orang-orang yang faqih (mendalam ilmu agamanya), dan orang-orang yang senantiasa membersihkan diri. Bagi mereka, bersama orang lain maupun sendiri bukanlah suatu masalah, sebab ia sudah merasakan kenikmatan akan kebersamaannya dengan Sang Pencipta. Ia sangat menikmati masa-masa berdialog dengan Sang Pencipta yang ia rupakan dalam khalwat (menyendiri), tafakkur, tadabbur, dan ta’ammul. Kesedihan terbesar bagi mereka adalah tatkala ia mengalami ghaflah (lupa dari mengingat Keagungan Allah SWT) meski sekejap.

Itulah ketiga nikmat yang nilainya tidak akan pernah dapat kita beli maupun kita tukar dengan apapun. Ketiga nikmat itu memang diharuskan ada usaha dari manusia untuk memperolehnya. Tapi, semua nikmat itu tetap murni karena pemberian Allah. Andaikata Allah tidak mencintai kita, niscaya anggota badan kita tidak akan digerakkan untuk mendapatkan karunia-karunia tersebut. Semoga kita, keluarga, dan orang-orang yang kita cintai senantiasa dalam lindungan kasih sayang-Nya, mendapatkan hidayah-Nya dan ridho-Nya. Wallahu musta’an, wallahua’lam bisshowab. []

Achmad Abdul Aziz
Mahasiswa Pascasarjana STAI Ma'had 'Aly al-Hikam Malang, S1 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan konsentrasi disiplin Bahasa dan Sastra Arab. Santri Pondok Pesantren al-Qur'an Nurul Huda Singosari.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah