Jumat pagi, sekira jam 8 an pagi, bapak membacakan sanad dan prosesi pengijazahan kitab ihya’. Dan sebagaimana biasa dalam setiap hataman ihya’, bapak selalu mengambilkan garis besar dari sejarah dan intisari kitab ihya’ yang sangat mungkin kita tiru laku. Bukan berarti hanya ini yang terpenting, karena memang sangat buanyak dan dalam sekali pembahasan kitab ini, namun beliau punya sudut pandang pribadi yang menurut beliau sangat penting dan layak untuk kita tiru. Dan juga karena ini momennya hataman sebuah kitab, maka bapak lebih menekankan pada biografi sang mushonnif.
Bapak memulai dalam keterangan awal setelah muqoddimah:“Imam ghozali kagungan asmo kuniyah abu hamid. Nami lahiripun muhammad. Bapakipun ugi asmo muhammad. Gadah rayi nami lahiripun ahmad. Imam ghozali gadah laqob hujjatul islam, ugi zainuddin. Dugi tanah tuz. Madzhabipun asy syafii (Imam Ghozali punya nama kunniyah Abu Hamid, sedangkan nama lahirnya adalah Muhammad, sebagaimana bapaknya juga bernama Muhammad. Imam ghozali punya adik bernama Ahmad. Dan beliau juga punya nama laqob hujjatul islam, dan juga Zainuddin. Berasal dari tanah tuz, dan bermadzhab syafi’i)”.
Setelah menerangkan sedikit tentang data pribadi Imam Ghozali, bapak langsung menyinggung tentang keistimewaan orang tua beliau, terutama bapaknya. Karena memang kehebatan Imam Ghozali dan adiknya, adalah bukti kesuksesan orang tuanya. “Wong tuane kok iso nduwe anak koyok ngoten. Yugone kaleh, setunggal muhammad, setunggale ahmad. Tiang sepahe tiang ingkang soleh, ingkang sae amal dzohire ugi ingkang sae manahipun (kok bisa orang tua beliau punya anak seperti itu. Anaknya dua, satu bernama Muhammad dan yang satu bernama Ahmad. Dan orang tuanya ini adalah orang yang soleh, yaitu yang baik amal dzohirnya dan baik hatinya)”.
“Ingkang perlu ditiru, bapakipun imam ghozali mboten dahar kejobo saking hasile tangane dewe. Ingkang ditedo mesti halal. Masyaallah, lek pengen nduwe anak seng sae antara lain saking bapake ngoten niku. Gak tahu mangan seng haram, seng riba. Nopo maleh ngowehi mangan anake geh sakestu-sakestu. Mboten pareng syubhat (yang perlu ditiru, bapaknya Imam Ghozali ini tidak makan kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri. Maka yang dimakan pasti hanya yang halal. Masyaallah, kalau memang ingin punya anak yang baik, maka antara lain dari bapaknya juga harus seperti itu. Tidak pernah makan yang haram, apalagi yang riba. Apalagi untuk anak-anaknya, lebih dijaga betul. Bahkan tidak boleh dari sesuatu yang syubhat)”.
“Nyambut gawe nipun bapake ngenam wulu digae kain. Coro cah cilik-cilik niku gae bolah. Selajeng sampun dados kain dipun sade wonten tokone bapak e imam ghozali. Gadah toko cilik-cilik an (mata pencaharian bapaknya Imam Ghozali adalah mengenam bulu dijadikan kain. Kalau anak-anak kecil dulu itu membuat benang. Kalau sudah jadi kain, kemudian dijual ditokonya. Sang bapak punya toko sederhana)”.
“Terus disamping panganane halal, mboten maem kejobo saking hasil tangane kiambek. Bapake imam ghozali remen sowan-sowan, ngaji dumateng kiai-kiai kang ngalim feqih. Disamping, nek kiai wekdal ngaji geh nderek ngaji. Tapi ngajine namung ngrungokaken. Jinise pengen dadi wong ngalim, tapi keranten keadaan mboten saget (disamping makanannya halal, bahkan tidak mau makan kecuali dari hasil usahanya sendiri, sang bapak juga suka sekali sowan-sowan dan ngaji pada kiai-kiai yang alim fiqih. Jadi tidak hanya sowan, saat sang kiai ngaji pun beliau ikut ngaji. Meskipun ngajinya hanya ngaji kuping, hanya mendengarkan. Sebetulnya beliau juga ingin jadi orang alim, namun keadaannya tidak memungkinkan bagi sang bapak)”.
“Sakestu bapakipun khidmahe kalehan kiai-kiai niku sakestu. Maringi tetedan utawi natakaken sandale, khidmahe sakestu. Maringi sak mampunipun. Niku bapakipun imam ghozali (khidmah dari bapaknya Imam Ghazali ini sungguh-sungguh terhadap para kiai. Memberi makanan, menatakan sandal, dan yang lainnya. Khidmahnya sungguh-sungguh. Memberi apapun semampunya. Begitulah laku dari bapaknya Imam Ghazali)”.
“Wes gelem ngaji, disamping niku geh khidmah pisan, tur loman. Jan dipek dewe (sudah mau ngaji, khidmah juga, ditambah loman_dermawan. Masyaallah, diambil semua kebaikannya)”.
“Kadang seng gelem khidmah, arang-arang gelem ngaji (karena kadang, yang mau berkhidmah itu jarang yang mau tekun ngaji juga)”. Kalimat ini adalah sindiran sekaligus motivasi bagi kami agar mau berproses dalam semua hal. Tidak hanya ngaji, tapi juga harus mau berkhidmah untuk penyempurna. Pun bagi yang punya semangat khidmah tinggi, harus punya semangat ngaji juga. Agar barokah khidmahnya nanti juga diiringi dengan isi, berupa ilmu. []
Bersambung.
#salamKWAGEAN