Ulama

Berpulangnya Sang Guru Pecinta Al Qur’an

penulis saat saya sowan KH. Bashori Alwi tahun 2018 lalu.

Telah sepekan saya dibekap murung. Nyaris setiap hari terselip cemas dan rindu pada kedua buah hati di Malang, meski sekuat mungkin mencoba tetap wajar, optimis, dan riang. Ah, kabar duka dan peringatan dampak covid-19 memang seakan berlomba mewarnai waktu.

Dan hari ini, ada duka yang tak kalah menghujam. Guru kyai kami berpulang. Ya, KH. M. Bashori Alwi Murtadla, pendiri dan pengasuh Pesantren Ilmu Quran (PIQ) Malang.

Saya mengenal nama beliau dari Abah, bapak kandung saya. Dulu Abah sangat sering menceritakan tentang beliau terutama ketika usai bertemu dalam majlis Habib Alwi Alydrus, Tanjung. Bersama Romokyai Mannan, Yai Muslimin dan para kyai lain mengaji tiap Jumat pagi.

Sekian tahun kemudian, saat saya “dipaksa” Abah nyantri di Pondok Pesantren Quran Nurul Huda Singosari, saya mulai nderek pengajian KH. Tholhah Hasan dan beliau KH. Bashori Alwi. Menyimak saja, itupun bonggang-bonggang. Tak rutin. Dan dari jauh.

Suatu saat saya berniat mewawancarai beliau untuk salah satu rubrik di majalah NuHa, saya matur lewat Abah. Ternyata beliau tidak kersa seraya menyarankan agar saya mengajukan pertanyaan tertulis pada putranya, KH. M. Luthfi Bashori.

Ya, saya memang hanya bisa sowan beliau dengan gandholan Abah. Sangat jarang. Tapi, entah mengapa, keteladanan beliau terasa sangat dalam. Saya sering menyaksikan betapa hebatnya para santri PIQ. Para alumnusnya rata-rata mampu menjadi pengajar al-Qur’an yang fasih dan handal, apa pun profesinya. Saya bersahabat baik dengan beberapa di antaranya. Jika santri langsungnya saja seperti itu, maka bagaimana mulianya beliau yang ahli Qur’an ini. Berkat kealimannya, sangat dikagumi dan dihormati oleh banyak guru dan kyai. Beliaulah yang sangat berperan di balik ide perhelatan MTQ yang bisa kita nikmati setiap tahun hingga saat ini.

Kitab Madarijud Durus al-‘Arabiyah, panduan belajar bahasa Arab bagi pemula yang beliau tulis, sangat terkenal di kalangan santri dan pelajar madrasah. Sederhana, mudah dicerna, dan menarik. Sebelum saya mengajar Bahasa Arab sekian tahun lalu, saya sempatkan meminta ridlo dan fatihah beliau langsung. Alhamdulillah saya juga sempat ikut pelatihan membaca al-Qur’an metode Bil Qolam lewat guru PIQ di Rumah Quran Amanah yang dikelola Ning Evy dan Gus Sadat Jakarta. Meski mungkin saya tak akan pantas mendapat syahadah kelulusan, tapi saya bersyukur bisa berniat ngalap barakah pada beliau.

Kenangan terakhir, tahun 2018 lalu, saat saya sowan dan beliau berkenan menemui saya. Alhamdulillah. Seperti biasa, dari jarak jauh. Beliau menanyakan kabar, bercerita sebentar tentang kenangan bersama Abah. Yang membuat saya tercekat beliau ngendikan, “Di mana pun njenengan sekarang Ning, tetap cintai al-Quran ya. Tetap berjuang menjalankan amanah Abah dan semua guru”.

Tak lama. Beliau menutup dengan mengangkat kedua asta. Dan selalu, selalu, saya tak sanggup menahan tangis tiap mendengar lantunan doa para guru kyai.

Tiba-tiba saja ada yang terasa ambyar di dada. Menguap segala resah, menguar semua gelisah. Kalimat indah dalam rangkaian doa guru kyai selalu mengundang haru. Tiba-tiba damai menelusup pori, larut dalam aliran darah. Tiba-tiba ringan sekujur tubuh, tiba-tiba menunduk kepala, dan tiba-tiba merunduk hati. Tiba-tiba saya terisak, tanpa suara.

Isak yang sama ketika saya membaca kabar kepulangan beliau sore tadi. Duh kyai, panjenengan pasti bahagia hendak bertemu sang Kekasih. Bagaimana dengan kami yang masih di dunia ini?

Mohon ijinkan saya mengaku sebagai santri panjenengan, Kyai. Agar saya termasuk dalam ngendikan Kyai, “Kabeh muridku muga-muga dadi ahli surga kabeh”.

Selamat kembali, Kyai. Selamat berpulang. Duka melepas panjenengan, adalah duka semesta. Mautul alim, mautul alam.

Evi Ghozaly
Penulis Buku Mendidik dengan Cinta, Konsultan Pendidikan dan Pengurus Yayasan Global Madani Lampung

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama