Pesatnya arus globalisasi dan tersedianya wadah pendidikan untuk semua kalangan, rasanya tetap saja tak menurunkan kedigdayaan laki-laki atas golongan kaum hawa. Masyarakat secara umum tak sedikit yang masih beranggapan bahwa perempuan selalu nomer dua dari kaum adam. Parahnya, mindset semacam ini terus dirawat dan dilestarikan, yang sebenarnya hal itu bisa di sangkal dan tak selamanya benar.
Kian miris, karena pemahaman-pemahaman yang tak selamanya benar itu “bersenjatakan” dalil-dalil agama agar kian memenangkan pihak laki-laki. Makin memilukan lagi, pemahaman yang selama ini mereka rangkul, justru tak sama dengan bagaimana yang sebenarnya.
Ihwal; perempuan yang sering dibilang “kurang akal dan agama”, misalnya. Di mata mereka acapkali menempatkan perempuan sebagai makhluk tuhan yang penuh kekurangan. Kekurangan yang dimaksud adalah kurang akal dan agama. Dalil yang sering di gunakan sebagai “dalih”, biasanya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut;
“Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang agak pintar diantara mereka bertanya: wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menghuni neraka?
Rasulullah SAW menjawab: karena kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang lebih kurang akal dan agama dari pemilik pemahaman dari pada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi: wahai Rasulullah. Apakah maksud kurang akal dan agama itu?
Rasulullah SAW menjawab (lagi), pertanyaan perempuan tersebut: maksud kurang akal yaitu persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakanan kurang akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya. Kemudian tak berpuasa saat Bulan Ramadan karena Haid. Maka inilah yang dikatakan kurang agama”.
Selayang pandang, sabda nabi dalam hadis tersebut memanglah mengatakan bahwa perempuan “kurang”, perihal akal dan agamanya. Namun bila melihat yang terjadi di lapangan, tak sedikit dari kalangan perempuan yang “lebih” dari laki-laki. Semisal lebih dalam hal kedudukan, keilmuan, prestasi, karir, dan lain-lain.
Imam Hasan As-Tsaqolamy dalam karyanya Qadaya Mar’ah al-Muasirah menjalaskan; bahwa maksud perempuan sebanding dengan separuh dari laki-laki dalam hal persaksian, sehingga nabi mengatakan kurang akal tersebut, adalah karena pada sosok perempuan terdapat 2 hal yang mempengaruhi.
Pertama; karena perempuan tidak memiliki kemampuan untuk berselisih. kedua; karena perempuan tipikal makhluk yang lebih mengandalkan perasaan. Sehingga ia saat menghadapi sebuah pertikaian, hatinya mudah terenyuh. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa hadis tersebut hanya menerangkan tentang kurang akal dipandang dari segi perbandingan 1/2 dalam hal syahadah saja, bukan akal atau IQ secara umum.
Disamping itu, hadis tersebut hanyalah menggambarkan keadaan srata antara laki-laki dan perempuan di masa nabi semata. Yang mana, pada saat itu kondisi perempuan memang selalu di bawah kaum laki-laki. Karena kala itu, perempuan tak banyak mendapat kesempatan pendidikan dan perlakuan sosial sebesar para lelaki. Sehingga wajar, perempuan waktu itu terbilang kurang akal. Dan yang menjadi cacatan penting, hal ini tak bisa lantas diumumkan terhadap perempuan-perempuan lain secara absolut.
Yang juga kerap kali menjadi objek “gagal faham” yang bersumber dari perempuan, adalah; ihwal agamanya. Dalam hadis di atas, nabi menyebut dengan “perempuan kurang agama”. Selayang pandang wajar memang, karena nabi pun melanjutkan memberi alasan mengapa perempuan demikian sebagaimana yang tertera dalam bunyi hadis di atas.
Fakta menyebut, bahwa perempuan memang tak seleluasa setiap saat untuk menunaikan peribadahan. Semisal solat, puasa, dll. Hal itu karena kaum hawa di sebagian waktunya harus bertemu dengan yang namanya mani’ (penghalang) untuk menunaikan tindakan-tindakan mulia itu. Yang mana, hal ini jelas berbeda dengan kaum lelaki yang terbuka lebar untuk menyapu bersih semua kewajiban dan ibadah-ibadah tersebut.
Walau demikian, sejatinya hal ini bukanlah menjadi kekurangan pada sosok seorang perempuan. Kaum adam tak pantas terus-menerus memarjinalkan perempuan, bahwa tak seutama mereka dalam ihwal pelaksanaan peribadatan.
Bentuk mani’ atau pengahalang seorang perempuan -saat ia mengalami menstruasi misalnya-, hal itu merupakan hal alamiyah dan karekteristik yang Allah memang ciptakan untuk dirinya. Dan dalam hal itu, setiap perempuan tak bisa menyangkalnya. Sehingga salah besar kiranya saat beberapa kalangan masih saja “menindih” para kaum feminim ini dengan sifat alamiyah tersebut. Sifat yang Allah limpahkan itu bukan lantas sebagi kekurangan baginya, akan tetapi sebatas karakter dan sifat alamiyah semata.
Selaras dengan ungkapan di atas, ulama kenamaan malikiyah, Imam Ibnu Abdul Bar mengungkapkan dalam salah satu karyanya, At-Tamhid lima fil Muwatto’;
هذا الحديث يدل على أن نقصان الدين قد يقع ضرورة لا تدفع الا ترى أن الله جبلهن على ما يكون نقصا فيهن
Alhasil, dengan itu semua jelaslah bahwa laki-laki yang masih saja menganggap superior dirinya, dan selalu menempatkan perempuan sebagai nomer dua, boleh saja kita bilang dengan “gagal faham” ihwal persoalan agamanya. Fal ya’ lam. []