Andai 100 tahun adalah finish, maka lomba kebajikan itu dimenangkan Muhammadiyah. Tak berlebihan jika Carl Whiterington peneliti senior asal Amerika Serikat itu menyebut bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang diberkatii—
Bukan hanya diberkati—Muhammadiyah juga telah banyak menginspirasi pergerakan Islam—baik karena bersetuju atau dalam perlawanan dialektik—inilah menariknya. Kyai Dahlan adalah seorang prakmatikus agama briliant tapi saya bilang punya banyak pikiran nakal.
Prof Mitsuo Nakamura cukup simplifistik ketika menggambarkan dalam sebuah perumpamaan pada karya momumental nya: Matahari Terbit Di Atas Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhamamdiyah di Kota Gedhe Sekitar 1910-2010.
Nakamura seperti hendak mengatakan bahwa inilah model pergerakan sempurna—tak ada cacat politik apalagi cacat moral. Dari rahim Muhammadiyah lahir berbagai pikiran maju yang terbarukan. Pikiran dan ide yang melampaui dan menerabas zaman.
Tak perlu disebut berapa jumlah amal usaha telah dibangun dan tak perlu pula menakar jasanya untuk negeri—sejak awal didirikan Persyarikatan Islam ini memang spesial. Seakan sebuah antitesis dari kaumnya. Islam yang semula identik dengan jumud, kolot, beku, eksklusif tak mau berubah—seperti tesis Syaikh Muhammad Abduh—al Islamu mahjubun bil muslimin) diubah menjadi sebaliknya.
Kyai Dahlan identik dengan pikiran maju. Pikiran cemerlang yang melampaui. Gagasan-gagasannya ditiru dan dibenarkan ramai meski awalnya ditolak dan dibantah. Gus Dur menyebutnya kemenangan dialektik.
Muhammadiyah adalah organisasi maju—menghapus kelas dan sekat beragama. Kolektif kolegial adalah jawaban jitu untuk meredam cluster-cluster dalam beragama semua berkesempatan sama dan inklusif terhadap partisipasi jamaah.
Sikapnya yang moderat justru memposisikan sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar yang kokoh tidak bergantung pada rezim dan kekuatan politik partisan.
Dr Alfian Ketua LIPI menyebutkan dalam Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942 (1989), menemukan bahwa karena Muhammadiyah merupakan gerakan nonpolitik, keterlibatannya berbeda dengan organisasi lain yang menjadikan politik sebagai titik tuju. Tapi disitulah menjadi kelebihannya.
Kelahirannya selalu menampilkan kisah dramatik dan exotik—ghirah juga heroik. Dan semangat berebut bajik. 111 tahun berdiri bukan waktu yang pendek ketika organisasi sejenis malah kerdil dan tak mampu bersaing dengan perubahan. Muhammadiyah malah sebaliknya tampil semakin sexy dan menggoda—
Bersyukur ada pergerakan Islam progresif bernama Muhammadiyah—dihuni banyak orang iklas. Tidak kepikiran membawa pulang aset di Persyarikatan. Semua berkhidmad dalam kapal besar. Buya Syafi’i Maarif menyebutnya tenda besar buat semua. Prof Din mengilustrasikan sebagai federasi dari banyak pemikiran—
Apapun—Muhammadiyah telah melahirkan banyak ragam karakter tak juga Soekarno yang heroik, ibu Fatmawati yang lembut tapi kokoh pendirian, Soeharto yang cerdik, Jendral Sudirman yang tawadhu, Ki Bagus Hadikoesomo yang futuristik (Eruh sak durunge winarah) dan masih banyak lagi puluhan tokoh yang tak bisa disebut satu satu—
‘Makin lama makin tjinta’ kata Ir Soekarno santri nginthil kyai Dahlan meski ada sebagian orang Muhammadiyah yang meragukan kemuhammadiyahannya — tapi ini rumah besar, jadi tak layak sesama kader saling menilai siapa asli siapa bukan —Rahayu—Rahayu—Rahayu. []