Delusi Kesetaraan Gender

Di Indonesia, gerakan feminis lebih dikenal dengan kata ‘emansipasi’. Yaitu sebuah gebrakan atas pembebasan perempuan dari stigma-stigma sosial yang mengikat. Perempuan dikonstruk sosial sebagai kanca wingking dengan 3M (macak, masak, manak) yang membatasi ranah geraknya hanya di dalam rumah.

Walau dalam pengaplikasiannya, kesetaraan gender tidak bisa digunakan di seluruh aspek kehidupan karena mempertimbangkan realitas sosial dan agama, misi ini digaungkan agar perempuan mendapat keadilan dan bisa bergerak bebas dimanapun ia berada. Maraknya kasus pelecehan pada anak dan perempuan yang akhir-akhir ini viral di media sosial menunjukkan bahwa di era yang serba modern ini masih tidak ada ruang aman bagi perempuan. Kendatipun di dalam rumahnya sendiri.

Keberadaan para feminis dipertanyakan ketika kasus pelecehan mencuat. Padahal yang menjadi akar masalah dari pelecehan bukan pada tubuh korban, tapi karena pelaku yang tidak bisa menjaga syahwatnya. Dalam bab aurat, kedua belah pihak harus bekerja sama. Satu menutup auratnya, yang satu lagi menundukkan pandangannya. Jadi harus ada kesalingan antara keduanya (laki-laki dan perempuan) untuk saling menjaga satu sama lain, meliputi lahiriyah dan batiniyah.

Fitrah perempuan selain melahirkan dan menyusui adalah haid, ia juga mengalami mood swing atau biasa dikenal dengan PMS (pre-menstruation syndrome), membuat perempuan lebih labil dalam emosional. Menurut banyak riset, perempuan lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Sehingga ia menjadi sasaran empuk bagi predator untuk dijadikan objek bermain semata, membuatnya terlihat tak berdaya karena mudah dikelabuhi.

Kalau kata ning Imaz, “Perempuan, apabila bukan ilmu dan agama yang menjadi pegangannya, maka ia akan menjadi gila sebab perasaannya”.

Jadi, semuanya kembali kepada perempuan itu sendiri, jika ingin mengubah nasib maka ia harus mau (memiliki keinginan) dan berusaha untuk bangkit. Agama dan negara memberikan hak yang sama dalam menjalankan kehidupan sosial, seperti dalam frasa Bahasa Arab amar ma’ruf nahi munkar (berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjauhi kemungkaran). Juga dalam kewajiban menuntut ilmu, tidak terbatas pada manusia tertentu, setiap manusia berhak mendapat pendidikan yang layak.

Baca Juga:  Bagaimana Sebenarnya Kesetaraan dan Keadilan Perspektif Gender Itu?

Al-Ummu madrasatul ula” ibu adalah madrasah pertama, dengan begitu, kewajiban mendidik anak lebih dibebankan kepada seorang ibu. Maka sudah seharusnya perempuan mendapatkan pendidikan yang baik. Problem yang biasanya dihadapi perempuan adalah pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau menikah dan membina rumah tangga. Kebingungan ini terjadi karena ia terikat dengan stigma sosial bahwa perempuan adalah konco wingking, tidak perlu sekolah tinggi karena tugas perempuan itu yaa di rumah.

Masyarakat kita meyakini kalau perempuan berusia lebih dari 25 tahun itu terlalu tua untuk menikah. Alhasil, ia mengurungkan niatnya untuk berkarir dan mengejar impiannya. Pernikahan yang dijalani karena keterpaksaan bisa mengakibatkan resiko yang tidak diinginkan. Inilah yang kemudian mendorong tokoh perempuan untuk menyuarakan hak-haknya. Dan jika ingin didengar, mereka haruslah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat.

Bagaimana bila perempuan ini adalah orang biasa? Bukan berasal dari keluarga bangsawan, bukan pula dari keluarga kaya.. Maka perempuan harus pintar. Ia harus bisa melepas ikatan yang mengekang kakinya. Ia juga harus berusaha lebih keras untuk menonjolkan dirinya. Selain mengasah kemampuannya, ia juga harus pintar bersosialisasi dengan masyarakat yang lain. Namun ada sebagian perempuan yang sulit beradaptasi dengan lawan jenis. Maka bergabung dengan komunitas khusus perempuan adalah solusinya.

Berdirinya organisasi perempuan yang ada pada masa kini adalah produk dari perjuangan perempuan terdahulu. Salah satu contohnya adalah Muslimat, organisasi perempuan milik Nahdlatul Ulama’. Dikutip dari muslimatnu.or.id, pada tahun 1938 pada Muktamar NU yang ke-13 dua tokoh yakni Ny. R. Djuaesih dan Ny. Siti Sarah tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jamaah perempuan. Ny. R. Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki.

Baca Juga:  Iklan Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Budaya Patriarki

Pada masa itu belum tersedia ruang yang luas bagi jamaah perempuan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Ide itu pun disambut dengan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar. Terbukti setelah 8 tahun diusulkan, barulah Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) terbentuk pada 29 Maret 1946, bertepatan tanggal 26 Rabiul Akhir 1365 H. Dibutuhkan waktu yang tidak singkat hanya untuk menimbang apakah organisasi perempuan itu perlu dibentuk atau tidak.

Tidak jauh berbeda dengan latar belakang berdirinya organisasi perempuan yang lain. Mayoritas alasannya karena perempuan tidak mendapatkan ruang untuk bersuara secara bebas. Maka dibuatlah wadah perempuan di dalam tubuh sebuah organisasi. Beberapa periode setelah terbentuk organisasi perempuan pun masih banyak yang pro dan kontra.

Banyak yang menganggap perempuan men-spesialkan diri dengan tidak mau berbaur dengan laki-laki karena berada pada ruangnya sendiri. Ada pula yang menganggap dibentuknya wadah bagi perempuan di tubuh organisasi adalah untuk membatasi ruang gerak perempuan agar tetap berada dalam lingkaran itu saja. Tidak sedikit pula yang mengapresiasi wadah perempuan ini sebagai bentuk dari kebangkitan kaumnya. Begitulah manusia dalam memandang, perbedaan adalah rahmat agar manusia belajar saling menghargai pendapat satu sama lain.

Apabila kelamin itu kodrat maka gender adalah pilihan. Perempuan bebas memilih menjadi apa yang ia inginkan, asalkan bisa membuatnya lebih maju dan berkembang. Mau dibangkitkan sekeras apapun, jika perempuan itu sendiri tidak mau untuk bangkit, ia akan tetap tertindas. Sudah lingkungan tidak mendukung feminis ditambah perempuannya yang stagnan. Seolah perjuangan para perempuan terdahulu dalam meneriakkan pembebasan bagi perempuan sia-sia. Kesetaraan gender hanya akan menjadi delusi semata. []

 

Amy Fayla Sufa
Magister Pendidikan Bahasa Inggris UNISMA Guru di Pondok Tremas

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan