Santri

Belajar pada Kelebihan dan Kekurangan Inul Daratista

Belajar Pada Kelebihan dan Kekurangan Inul Daratista

Sejak pedangdut Inul Daratista menjadi fenomena di masyarakat, terdapat pesan tersirat yang saya dapatkan dari kemunculannya kala itu, bahwa kehidupan telah menuntut kita untuk berbuat agresif. Artinya memilih menjadi manusia yang hidup dengan sikap tidak agresif seumpama sedang menggali liang kuburan sendiri, hanya menunggu waktu ditalqinkan, kemudian ditahlilkan.

Inul telah mempertontonkan keagresifannya di hadapan jutaan penonton. Lalu bagaimana dengan kita para santri? Bisakah menampakkan keagresifan kita untuk menaikkan maqam sebagai ‘penggoyang biasa’ ke maqam ‘penggoyang ngebor’? Maka untuk menaikkan volume dari yang asalnya sebagai orang yang hidup biasa-biasa saja atau sekadar hidup sederhana saja memerlukan energi dari nilai yang tidak sekadar bisa bergoyang, tetapi harus mampu mengebor dan mempertontonkannya dalam rangka membangkitkan kesadaran manusia dalam menyikapi berbagai problematika hidup masing-masing. Sebab kesadaran adalah inti dari seluruh pesan atau risalah dari langit dan bumi. Kendati sebagai definisi, fenomena memanglah sebuah kesadaran (‘consciousness’).

Atas asumsi itu, manusia yang sebelumnya hanya pandai bergoyang dituntut untuk memberi warna atau dinamika (dalam bahasa kita disebut “memberikan manfaat banyak”) dalam dimensi-dimensi kehidupan lahir dan batin. Bagi yang bisanya cuma bergoyang, susah ngebor, dunia akan menghadiahi sebuah kegalauan. Kegalauan (baik lahir maupun batin) muncul karena niat dan usaha yang setengah-setengah, sedangkan perubahan (‘change’) tidak mengenal kata ‘setengah-setengah’.

Kegalauan sosial adalah efek dari benturan kelas sosial yang menghidangkan tuntutan yang tak sebatas biasa-biasa saja atau setengah-setengah belaka. Era post-milenial kontemporer adalah zaman yang mengenyampingkan sikap biasa dan setengah. Di situlah sebenarnya santri harus memunculkan maziyyah. Ngebor, itulah maziyyah.

Menjadi santri di pesantren tak lain dari mengeksplorasi diri untuk mengeluarkan kekuatan yang tidak setengah-setengah dalam menghadapi permintaan zaman. Inul Daratista, eksplorasi goyang ngebornya telah menampar kita untuk mencari kelebihan kita sendiri yang dititipkan Sang Khaliq untuk kita persembahkan kepada hidup kita sendiri, kepada hidup orang lain, dan tujuannya tentu saja untuk sa’adah fiddarain.

Demikianlah kelebihan Inul Daratista dibandingkan pedangdut lainnya yang seyogianya kita pelajari caranya berbuat agresif di dunia perdangdutan. Namun, kita juga perlu melihat bahwa fenomena Inul Daratista hanya sebatas goyang ngebor, kita juga perlu melihat kekurangan Inul sehingga hari ini kreasinya sudah tenggelam terkubur di dunia dangdut.

Baca Juga:  Syekh Yasin, Ilmu Falak dan Mimpi Seorang Santri

Di tengah jalan karirnya, Inul sempat stagnan dan mandeg namun masih terus menunjukkan kemampuan bersaing dengan para pedangdut pendatang baru yang juga tak kalah agresif. Kepuasan Inul meraup untung secara materi dan popularitas telah membuatnya mati sebelum mati beneran. Mengapa bisa demikian? Karena kreasinya tidak memiliki progres.

Oleh karena itu, kelanjutan dari sikap agresif ialah progresifitas. Kita juga perlu progress dalam memberlangsungkan maziyyah yang kita miliki. Ibarat seorang Nabi Musa AS, tidak hanya mampu mengekplorasi kerasulan dirinya dengan mukjizat (baca keagresifan) atas tongkatnya yang berubah ular, tetapi tongkat itu juga mencapai progress yang relevan pada saatnya, yaitu mampu membelah lautan.

Bedanya kita bukan Nabi dengan mukjizat, kita ini manusia normal yang harus berusaha agresif dan progress. Namun, tidak malukah kita kepada Inul Daratista? Dia juga normal seperti kita, namun keagresifannya lancar kendati tak diiringi progress atas kelebihannya menampilkan goyang ngebor.

Setidaknya hari ini kita mampu berpikir, maziyyah apa yang harus kita gali dalam diri kita? Bila sudah ketemu, lalu langkah apa yang harus diupayakan supaya progress? Setiap orang memiliki potensi dan kegemaran berbeda-beda.

Saya percaya, walikullin wijhatun huwa muwalliha. Saya pun yakin, kita semua dapat menghadiahi manusia dengan sejuta manfaat dengan cara kita sendiri. Mari memunculkannya! Tunjukkan kebolehanmu, wahai anak muda!

Raedu Basha
Penulis Buku “Hadrah Kiai”, Penyair tinggal di Madura.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri