Diskursus Sumpah Mubahalah

Akhir-akhir ini terdapat berita ironi yang penuh kesangsian bahwa Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Riau, Syafri Harto membantah tuduhan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.

Dengan bantahan tersebut, Syafri Harto bahkan mau bersumpah mubahalah seperti yang pernah dilakukan Habib Rizieq Syihab.

Penggunaan sumpah sampai pada saat ini menempati urutan teratas sebagai media yang menawarkan cara termudah dalam penyelesaian sebuah masalah. Sumpah serapah jenis ini mendapatkan porsi yang jarang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga perlu untuk mendefinisikan sumpah mubahalah secara tepat, serta mengetahui seluk beluk jenis sumpah ini.

Definisi mubahalah

Mubahalah atau yang dalam bahasa inggris disebut malediction berasal dari kata bahlah atau buhlah yang artinya kutukan atau melaknat. Secara istilah, arti mubahalah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah Swt, supaya melaknat, mengazab dan membinasakan pihak yang batil atau menyalahi kebenaran.

Sejarah mubahalah

Termaktub dalam sejarah, nabi Muhammad Saw pernah melakukan sumpah mubahalah terhadap delegasi pendeta dari Najran yang berjumlah 60 orang berkuda. Namun para ulama berbeda pandangan mengenai penetapan hari terjadi peristiwa tersebut.

Ibnu Syarashbub berpendapat peristiwa mubahalah nabi terjadi pada tanggal 24 Zhulhijjah tahun 10 Hijriah atau bertepatan dengan 631 Masehi. Pendapat yang sama disampaikan oleh Syaikh al-Mufid bahwa peristiwa mubahalah terjadi setelah fathu mekkah (8 Hijriah) dan sebelum haji wada’ (10 Hijriah). Dan dikuatkan oleh Syaikh Anshari dalam kitabnya yang berjudul Kitab al-Thaharah bahwa pendapat ini adalah masyhur.

Mubahalah dilakukan tidak ada tujuan lain kecuali menjunjung tinggi agama Islam dan ajang terakhir pembuktian suatu kebenaran yang sesungguhnya kepada pihak lain yang tidak sependapat atau bahkan menentang terhadap kebenaran tersebut. Di samping itu, terdapat tujuan lain yang menjadi dampak dari sumpah mubahalah, antara lain: pihak yang tidak mau diajak mubahalah tanpa ada alasan syar’i yang dibenarkan maka dianggap sebagai kelompok yang salah, dan terancamnya jiwa pihak yang batil baik dalam waktu yang singkat atau masih lama.

Hukum mubahalah

Hukumnya diperbolehkan senyampang dilakukan dengan beberapa ketentuan yang akan dijelaskan nanti. Dengan berlandaskan kaidah usul fikih,

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Standar (penetapan hukum) berdasarkan keumuman lafaz (nas), bukan kekhususan sebab.

Dalam arti bahwa sumpah mubahalah tidak hanya disyariatkan untuk nabi Saw (bukanlah hak prerogatif nabi), melainkan juga disyariatkan kepada seluruh umatnya yang berlaku hingga detik ini. Terbukti, beberapa dari ulama klasik hingga kontemporer masih melakukan sumpah mubahalah di kondisi tertentu. Di antaranya adalah kisah ibnu Hajar al-Atsqalani yang bermubahalah dengan seorang fanatisme terhadap sebagian aliran sesat/kekafiran, kemudian orang tersebut menderita dan mati tragis setelah dua bulan dari terjadinya peristiwa mubahalah. Hal ini sebagaimana yang diceritakan abu Tayyib al-Qinnawji.

Kisah lainnya yaitu dialami oleh seorang ahli hadis dari india yang bernama Syaikh Tsana’ullah al-Amritsari (W. 1367 H) pernah menantang Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani pada tahun 1326 H bahwa barang siapa di antara keduanya yang berdusta dan berada di atas kebatilan maka dia akan mati duluan dan terkena penyakit kolera. Akhirnya selang beberapa waktu yang tidak lama, Mirza terkena penyakit kolera kemudian meninggal dunia. Sedangkan Syaikh Tsana’ullah masih hidup setelah itu empat puluh tahun lamanya.

Syarat-syarat mubahalah

Untuk melangsungkan prosesi sumpah mubahalah haruslah memenuhi beberapa ketentuan berikut ini:

  1. Ikhlas karena Allah Swt, guna menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan.
  2. Ajakan untuk sumpah mubahalah setelah memaparkan argumentasi pasti yang menyalahkan pihak yang berbeda pendapat atau bahkan pihak yang menentang.
  3. Pihak yang bersebrangan pendapat tetap bersikukuh dan keras kepala dengan kebatilan dan menentang akan kebenaran.
  4. Sumpah mubalah hanya dilakukan dalam lingkup permasalahan agama.

Mubahalah bukanlah perbuatan yang sukar tapi jangan pernah meremehkannya. Di balik kemudahannya terdapat sejumlah dampak dan akibat yang dapat menentukan nasib kehidupan, bahkan jiwa seseorang.

Sebuah konflik memang sering kali berasal dari satu pihak yang benar dan pihak lain yang merasa dirinya benar. Alangkah bijaknya, selama problem dapat diselesaikan secara baik dan penuh kedamaian maka lakukanlah. Dan apabila sebaliknya, maka pilihlah sumpah mubahalah sebagai senjata terakhir untuk membela martabat dan kebenaran. []

As'ad Humam
Mahasantri Ma'had Aly Salafiyah Syafiiyah Situbondo Sekretaris Majalah Tanwirul Afkar (S2) dan pernah menjadi editor Majalah Gamis (S1)

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hukum