Kebaikan itu sifatnya universal. Ia tak mengenal batas teritorial, agama, golongan, ras, suku, jenis kelamin, ataupun strata sosial. Dalam praktisnya, seringkali kebaikan itu menembus sekat-sekat perbedaan di antara manusia. Maka tak heran dalam bila kita menemukan beberapa non muslim yang turut membantu saudaranya yang muslim, begitupun sebaliknya. Beberapa di antara mereka bahkan secara sukarela turut memberi sumbangan untuk pembangunan masjid. Dalam pandangan fikih, bolehkah kita menerima sumbangan dari non muslim untuk masjid?
Ulama mazhab Syafi’i – mazhab yang diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia – termasuk longgar dalam hal hukum menerima pemberian dari non muslim. Sebab pemberian tersebut – baik dalam hadiah, hibah, maupun wakaf- sejatinya masih tergolong sebagai akad (transaksi) muamalah. Jadi apabila rukun-rukun akadnya terpenuhi (adanya pemberi, penerima, barang pemberian, dan ucapan transaksi), maka pemberian dari non muslim hukumnya sah dan boleh. Kebolehan ini mengacu pada sikap Rasulullah yang menerima hadiah dari penguasa-penguasa non muslim waktu itu, seperi al-Muqauqis (memerintah Mesir atas nama kekaisaran Bizantium Kristen), Kisra Persia, dan Kaisar Romawi Timur.
Selanjutnya, apabila sumbangan dari non muslim ditujukan untuk masjid dengan niat wakaf, maka hukum wakaf tersebut adalah sah dan boleh, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri (2/63):
وَيَصِحُّ الوَقْفُ مِنَ الكَافِرِ وَلَوْ مَسْجِدًا وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ قُرْبَةً
“Wakaf dari nonmuslim walaupun untuk masjid hukumnya sah, meskipun ia tidak meyakininya sebagai bentuk ibadah”
Begitupula boleh menerima sumbangan non muslim untuk masjid dalam bentuk hadiah maupun hibah. Sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan agama, seperti membantu umat Islam dalam menjalankan ibadah mereka (Faidh al-Qadir, 4/453). Habib Zain bin Ibrahim Smith termasuk ulama yang memperbolehkan menerima bantuan non muslim untuk masjid, dengan syarat pemberian tersebut berasal dari harta halal serta ada iktikad baik dari pihak pemberi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fawaid al-Mukhtarah (hal.324):
قَبُوْلُ الـمُسَاعَدَةِ مِنَ الكُفَّارِ لِنَحْوِ الـمَعَاهِدِ وَالـمَدَارِسِ جَائِزٌ إِذَا كَانَ مِنْ مَالٍ حَلَالٍ، وَكَذَا قَبُوْلُ الهَدِيَّةِ مِنْهُمْ، لَكِنْ هَذَا بِشَرْطِ أَنْ لَا يَكُوْنَ هُنَاكَ أَغْرَاضٌ تَضُرُّ الـمُسْلِمِيْنَ، كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْبَلُ الهَدَايَا مِنْ مُلُوْكِ الكُفَّارِ مِثْلُ الـمُقَوْقِسْ.
“Menerima bantuan dari non muslim untuk kepentingan pesantren dan masjid hukumnya boleh, asalkan bantuan tersebut berasal dari harta halal. Juga boleh menerima hadiah dari mereka. Tapi kebolehan menerima bantuan ini dengan syarat tidak ada motif yang berakibat buruk bagi orang Islam. Nabi Muhammad sendiri pernah menerima hadiah dari penguasa-penguasa non muslim seperti al-Muqauqis”
Bagaimanapun juga, menerima sumbangan nonmuslim untuk kemaslahatan masjid tak lain merupakan pengejewantahan dari usaha kita dalam menyebarkan kebaikan antar sesama manusia, serta menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam. []