Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, semua umat Islam yang tidak melaksanakan haji dianjurkan untuk merayakan hari raya Idul Adha. Pada hari itu juga mereka disunnahkan untuk menyembelih hewan kurban kemudian dibagi-bagi kepada seluruh tetangga di daerah tersebut.
Ibadah berkurban adalah ritual peribadatan yang sudah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim As kemudian disyariatkan oleh Nabi Muhammad saw kepada umatnya. Bagi muslim yang sudah balig (dewasa) berakal dan mampu, disunnahkan untuk melaksanakannya.
Namun dalam beberapa praktik dilapangan terdapat kejanggalan mengenai berkurban untuk orang lain (bukan untuk diri sendiri) atau berkurban untuk orang tuanya yang sudah meninggal. Dalam kitab Iqna’ Abi Syuja’ Juz 2 halaman 282 dijelaskan “Seseorang tidak diperkenankan berkurban untuk orang lain tanpa ada izin dari orang yang mendapatkan pahala kurban. Sebagaimana ibadah ibadah lain, terkecuali zakat.
Namun ketika kurban itu untuk ahlul bait, atau seorang wali dengan hartanya berkurban untuk muwalli-nya atau imam dari harta baitul mal untuk orang-orang Islam, semua itu diperbolehkan”
Sedangkan keabsahan berkurban untuk orang yang telah meninggal ketika mayyit (orang mati) tidak berwasiat ketika masih hidup. Dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah Para ulama berbeda pendapat. Menurut pandangan mazhab Syafi’i, berkurban yang ditujukan untuk orang yang telah meninggal ketika tidak berwasiat dianggap tidak sah dan pahala tidak sampai kepada orang yang telah meninggal tersebut. Sedangkan menurut tiga mazhab yang lain, yakni Hanafi, Maliki, dan Hanbali, berkurban untuk orang yang telah meninggal ketika tidak berwasiat dianggap sah dan pahala sampai pada mayyit, sebab kematian bukanlah penghalang bagi orang lain untuk menujukan pahala ibadah atas orang yang telah meninggal tersebut, seperti dalam permasalahan haji dan sedekah.
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
“Adapun jika orang yang meninggal tidak pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli warisnya atau orang lain berkurban untuknya dari hartanya sendiri maka mazhab hanafi, maliki, dan hanbali memperbolehkanya. Hanya saja mazhab maliki membolehkan dengan makruh. Alasanya karena kematian tidak bisa menghalangi orang meninggal dunia untuk bertaqarrub kepada Allah swt sebagaimana sedekah dan ibadah haji.”
Imam Muhammad Khotib Sirbin menjelaskan dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 4 halaman 192-193 bahwa “ Berkurban untuk mayyit dengan tanpa wasiat selama hidupnya, hukumnya ikhtilaf: Pertama, tidak boleh dengan alasan Al-Quran surat An-Najm 53 “Dan bahwasanya manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakan” Pendapat kedua, diperbolehkan karena disamakan (Qiyas) dengan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Wallahu a’lam. [HW]